Cak Nur dan Jejak Islam Pembaruan
Nurcholish Madjid namanya, Cak Nur panggilannya. Hidupnya didedikasikan bagi pembaruan pemikiran Islam. Dia salah satu dari sedikit orang Indonesia yang sadar akan besarnya peran yang bisa dimainkan elemen umat Islam di negeri ini. Tapi, dengan catatan umat Islam itu sendiri punya kualitas, sehingga tidak seperti buih di lautan; banyak, namun terombang-ambing oleh ombak.
Sebenarnya ini isu yang mendunia; bukan hanya untuk lanskap Indonesia. Maju atau mundurnya kualitas peradaban suatu bangsa, ditentukan oleh kualitas pemikiran yang menjiwai bangsa bersangkutan. Cak Nur mengerti itu. Mungkin dialah yang paling mengerti soal itu.
Maka, misalnya, gagasan Islam, Yes; Partai Islam, No, miliknya bukan gagasan yang hampa makna. Waktu itu, dia melihat umat sudah cenderung menganggap partai Islam itu suci. Sebagaimana sucinya Islam. Padahal, partai hanya sebentuk lembaga duniawi, yang tak bisa lepas dari kerusakan.
Itu satu contoh saja dari cara berpikir yang Cak Nur hendak perbarui. Dia ingin kita melakukan sekularisasi. Bukan berarti kita harus menjadi sekularis seperti di Barat. Justru, dengan lugas Cak Nur menunjukkan kualitasnya sebagai intelektual sejati dengan menunjukkan makna serta relevansi dari sekularisasi bagi umat beragama.
Ia melakukan interpretasi dan hermeneutika dari gagasan sekularisasi. Bagi sang begawan rendah hati ini, sekularisasi adalah menduniawikan segala hal yang duniawi, dan melepaskan diri dari kecenderungan menganggapnya ukhrawi dan sakral. Jika Anda telaah, ide ini bukan hanya bagi umat Islam saja, tapi bagi seluruh umat beragama.
***
Itu di tahun 1970. Dan pemikiran itu abadi hingga kini. Hari ini siapa di antara kita yang tidak memerlukan sekularisasi. Di masyarakat religius seperti Indonesia, sekularisasi ini dibutuhkan supaya kita paham bahwa tidak semua yang agama katakan itu bernilai sakral. Apalagi sekadar hal-hal yang dikatakan oleh mereka yang mengaku agamawan.
Ada di antara ajaran agama itu yang sakral, suci, dan mulia. Ada pula yang produk kreasi zaman dan tempat tertentu saja. Pembaruan Cak Nur itu ibarat mercusuar. Ia memberi sinar terang bagi kita, supaya mengerti mana daratan dan mana lautan. Begitulah watak Islam Pembaruan. Ia berusaha menuntun Anda agar tidak salah alamat dalam menjalankan agama.
Beranjak ke tahun 1992. Cak Nur berorasi lagi. Begawan rendah hati ini selalu menyampaikan ceramah yang berisi nasihat bagi bangsanya. Itulah mengapa ia mengutip sabda Nabi di naskah orasinya itu, bahwa al-din al-nashihah (agama adalah nasihat).
Kali ini ia berpesan bahwa agama bagi dunia modern bukan agama ideologis dan politis yang berorientasi pada kekuasaan. Agama bagi millennium baru adalah agama spiritual. Jika dulu ia bilang sekularisasi; kali ini ia mengajak kita melihat agama sebagai sumber inspirasi spiritual. Cak Nur sangat mengerti, bahwa jika spiritualitas ini dipinggirkan, dan ideologi politik diutamakan, maka tak akan ada masa depan cerah bagi agama dalam peradaban baru dunia.
Bahaya Politisasi Agama
Gagasan Cak Nur adalah warisannya. Itu semua juga merupakan bukti bahwa selama hidupnya, Cak Nur berjihad dan berijtihad untuk dunia Islam. Sebab, Islam di negeri ini punya peran penting yang harus dimainkan. Jika tidak sadar akan peran tersebut, maka Islam itu sendiri yang akan dipermainkan orang. Politisasi agama adalah buktinya yang paling gamblang.
Politisasi agama itu nyata. Menurut Ali Allawi, dalam The Crisis of Islamic Civilization (2009). Yang merusak peradaban Islam modern adalah para pejuang Islam politik. Sebab, belum lagi mereka mengerti apa itu Islam dan ajaran akhlaknya yang universal, mereka malah mendaku paling mewakili Islam untuk duduk di kekuasaan.
Akhirnya, seperti Allawi saksikan sendiri selama pengalamannya menjadi menteri di Irak, para pejuang Islam politik itu, ketika berkuasa, runtuh juga seluruh klaim mereka selama ini, bahwa mereka memperjuangkan Islam. Bukan Islam, mereka hanya mementingkan kelompoknya saja. Tidakkah Anda sudah mendengar suara Islam Pembaruan tentang Islam, Yes; Partai Islam, Oo? Nyatanya, partai Islam tak lebih dari sekadar menjadi rumah bagi sektarianisme modern.
Dan Cak Nur hadir menantang pemikiran sektarian seperti itu. Kalau bukan karena pemikiran yang baru dan cerdas, maka umat Islam di negeri ini akan selamanya terjebak dalam sektarianisme keagamaan. Seolah-olah Islam adalah suku dan etnis yang tertutup.
Inilah makna eksklusivisme yang ditantang Cak Nur dengan inklusivisme dan pluralisme. Jika bukan karena ide pluralisme agama; bagaimana caranya kita bisa menerima eksistensi dan kehormatan pemeluk agama lain selain Islam. Tak cukup hanya menerima bahwa umat beragama lain itu ada dan eksis. Kita juga harus menghormati mereka. Itulah tanda dari jiwa dan hati yang lapang.
Islam yang Cerdas dan Mengerti Persoalan
Islam Pembaruan yang Cak Nur bawa adalah Islam yang cerdas dan mengerti kondisi sosial-empiris di level dunia maupun Indonesia. Oleh sebab itu, Cak Nur mengatakan bahwa Islam adalah ajaran universal. Artinya, maslahat Islam adalah untuk semua golongan.
Itulah juga makna tauhid. Bahwa hanya ada satu Tuhan pada kenyataanya. Semua agama itu pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan yang satu tersebut. Itulah mengapa tauhid berimplikasi pada pluralisme.
Dan bagi Cak Nur juga, tauhid adalah alasan mengapa kita harus melakukan sekularisasi. Sebab, hanya Dia yang suci dan sakral. Selebihnya adalah profane (kullu man ‘alayha fanin, wa yabqa wajhu rabbika dzil jalali wal ikram).
Selama ini sektarianisme, ekslusivisme, dan absolutisme itulah yang menghambat umat Islam Indonesia mengeluarkan performa terbaiknya sebagai elemen penting bangsa. Cak Nur hendak menarik kita dari ilusi yang selama ini kita buat sendiri. Ilusi apa itu? Ilusi bahwa kita ini sudah baik, sudah benar, dan umat yang terbaik. Padahal secara empiris, kita sedang terpuruk.
Dunia semakin dikuasai kekuatan modal, dan kita terlena menjadi konsumen mereka. Bukan hanya uang kita yang kita berikan; harga diri pun kita sudah tidak punya. Bagaimana kita mau punya harga diri, jika dunia lebih mengenal Islam sebagai agama tertutup dan terbelakang.
Bagaimana dunia tak melihat kita seperti itu, jika kita lebih senang ribut urusan politik, hiburan, dan kekuasaan; dibandingkan berjuang menuntut ilmu, mencerdaskan generasi muda, dan menunjukkan akhlak mulia.
***
Islam direduksi menjadi agenda-agenda memenangkan pemilu, pilkada, dan pilpres. Umat awam silau dengan orasi berapi-api yang menyuarakan perlawanan Islam atas penguasa. Tapi, tak ada orasi serupa yang mengajak umat menuntut ilmu, berendah hati, dan menyantuni yang miskin.
Tak ada ajakan untuk memperbaiki mutu pengetahuan umat, baik tingkat dasar, menengah, ataupun perguruan tinggi. Islam dipermainkan oleh hasrat berkuasa kelompok tertentu; sementara ajaran dan etos ilmiah Islam hilang, tenggelam.
Apa prestasi ilmu pengetahuan yang bisa kita banggakan hari ini? Jangankan bicara soal prestasi ilmiah, budaya literasi kita saja menjadi bahan tertawaan negara-negara tetangga. Berkali-kali kita mengaku sangat erat memeluk Islam, kenyataannya pesan dan perintah wahyu yang pertama, yakni membaca, tak kunjung kita laksanakan secara serius.
Berjilid-jilid demo membela umat dan ulama dilakukan, tapi berapa jilid sudah buku dibaca dan karya tulis dihasilkan? Apa yang Cak Nur bilang itu benar, bahwa kita keliru memahami Islam. Inilah semangat dari Islam Pembaruan. Semangat untuk mengoreksi pemahaman kita akan Islam.
Islam yang Tumbuh dari Kesadaran Individu
Islam Pembaruan berusaha mengetuk kesadaran hati nurani dari setiap individu Muslim, supaya tidak gampang dijadikan komoditas politik bagi orang-orang kaya namun masih haus akan kekuasaan. Pemahaman adalah kata kunci dalam gerakan Islam Pembaruan.
Semangat membenahi pemahaman Islam itulah yang dibawa oleh Islam Pembaruan. Islam Pembaruan berusaha membuka mata kita semua bahwa menjadi Muslim bukan berarti bahwa tiket surga sudah di tangan.
Islam Pembaruan ingin kita memperbaiki cara pandang kita terhadap dunia dan kehidupan dunia. Inilah yang disebut worldview atau weltanschauung. Salah sedikit saja kita dalam memahami hakikat dunia ini, maka dampaknya sangat besar bagi kenyataan hidup secara empiris.
Banyak dari kita, umat Islam, memandang dunia sebagai medan perang antara kebaikan dengan kejahatan. Kita menafsirkan ayat-ayat tentang haq, bathil, nur, zhulumat, mu’min, kafir, sebagai ajaran untuk memusuhi seseorang, sesuatu, atau agama tertentu.
Akhirnya, semua dijadikan serba politis. “Dunia harus dikuasai oleh golongan kita, kalau tidak, maka golongan kafir, sesat, dan bid’ah yang akan berkuasa,” begitulah worldview-nya. Islam pun menjadi tertutup.
***
Eksklusivisme dan absolutisme ditegakkan. Ajaran moral, akhlak, etika, dan ilmu pengetahuan disisihkan; dianggap tidak lebih penting dari akidah dan mazhab. Akhirnya, Islam tampak lebih mendahulukan akidah dan dogma, dibandingkan akhlak dan ilmu.
Itulah sebabnya dunia Islam terpuruk hingga hari ini. Kita tidak benar-benar mengenal dan mewarisi Al-Farabi dan Ibnu Sina, misalnya, sebagai pelopor Islam yang berorientasi kemajuan. Sialnya, otak secerdas Ibnu Sina justru dicurigai sebagai ahli bid’ah, bahkan kafir, hanya karena ia berfilsafat, menjadi ahli filsafat, dan menelurkan ide-ide yang tidak sejalan dengan aliran Asy’ariyyah.
Inilah contoh pemikiran yang eksklusif itu. Kita sibuk memfilter mana yang sesuai akidah dan mana yang menyimpang. Mana yang sesuai sunnah, dan mana yang bid’ah. Frame eksklusivisme dan absolutisme inilah yang coba diubah oleh Cak Nur dalam Islam Pembaruan.
Jika tidak diubah, maka sejarah yang sama akan terus berulang, dan umat ini hanya akan terus jalan di tempat. Masih untung jika begitu. Semakin hari kita justru makin mundur dan tertinggal.
Nasib Islam Pembaruan
Indikator ketertinggalan umat itu sederhana saja, meski bisa juga dilengkapi dengan data-data angka dari kondisi empiris di lapangan. Namun intinya, selama agama masih dijadikan alat bermain politik, bukan untuk menumbuhkan etos ilmiah dan persaudaraan, maka ketika itu pula umat beragama masih hidup dalam suasana Abad Pertengahan; ketika agama memang menjadi alat yang dimainkan penguasa dan oposisi untuk saling menjelekkan dan menjatuhkan. Bukankah hari ini masih seperti itu?
Jika keadaan masih jauh dari memuaskan, sebenarnya sangat menarik untuk bertanya begini: Mengapa umat ini masih terlena dalam suasana demikian? Mengapa suara Islam Pembaruan seperti dari Cak Nur tak juga disadari kebenarannya. Gajah sudah tidak lagi di seberang pulau. Gajah sudah di depan pelupuk mata.
Tapi, tampaknya pertanyaan harus kita arahkan kepada pewaris dari Islam Pembaruan itu sendiri; bukan hanya kepada masyarakat awam. Seharusnya kita bertanya begini: Ke mana (quo vadis) Islam Pembaruan yang dulu Cak Nur perjuangkan? Di mana anak-anak muda yang diharapkan melanjutkan estafet perjuangan tersebut? Di mana kelompok-kelompok intelektual yang seharusnya menjaga agar gerbong pembaruan bisa tetap berjalan? Tidak bisakah kita meniru Cak Nur, untuk menjadi lokomotif Islam Pembaruan?