Sebelum membahas moderasi Islam, perlu dipahami bahwa Islam tidak perlu dimoderasi. Islam itu sendiri secara inheren adalah agama yang “tengahan” (washathan). Bahkan, Kanjeng Nabi Muhammad Saw, adalah suri tauladan perilaku “tengahan” bagi umat manusia.
Meskipun demikian, moderasi ini penting. Bukan Islamnya yang ditengahkan. Tapi ajaran, doktrin, pemikiran, tafsiran dan pemahaman Islam yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam.
Dengan kata lain, yang perlu dimoderasi adalah ide, argumentasi dan praktik beragama sebagian kaum Muslim yang berlawanan arah dengan perdamaian, cinta, welas asih, persaudaraan, keadilan, kemanusiaan dan sederet nilai kebajikan lainnya.
Moderasi Islam
Ketika ada sebagian saudara kita yang agak keras, kasar, sensitif, mudah marah, gemar mengkafirkan dan cenderung menutup diri dari dialog, maka kita perlu mengingatkan dengan cara yang terbaik. Menurut hemat Hashim Kamali dan Tariq Ramadan (2016) kita perlu menggunakan cara-cara yang beradab dan berkeadaban.
Katakanlah sekarang ini, kaum Muslim moderat tanah air, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sedang berikhtiar menyelesaikan masalah pengerasan sikap keberagamaan yang merebak lantaran berbagai sebab. Ikhtiar ini mesti dilakukan dengan akhlak yang mulia. Di samping itu, strategi yang digunakan mesti bermuatan tarbiyah Islamiyyah yang luhur.
Kita tahu bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sudah dibubarkan pemerintah, lantaran dianggap terlalu keras dan menjadi faktor munculnya instabilitas sosial. Masalahnya adalah para agensi mereka, anggota-anggotanya, orang-orang dan simpatisannya, tentu masih ada.
Lalu kelompok lain yang sering disebut sebagai agensi Islam garis keras, bahkan terkait dengan gerakan terorisme (Wahhabi dan Salafi), juga sudah dibekukan. Tapi tentu, para jamaah Wahhabi dan Salafi ini masih banyak.
Yang perlu menjadi catatan kita semua, individu-individu di lingkungan HTI, FPI, Wahhabi dan Salafi, tidak semuanya merupakan orang-orang yang berwatak keras, kejam dan radikal. Tentu di antara mereka ini masih banyak orang-orang yang masih bisa diajak berbicara dengan tulus.
Fastabiqul Khairat Perlu Diterapkan
Namun, apakah mungkin sebagai sesama Muslim, lantas kelompok moderat (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) berbicara dari hati ke hati dengan mereka? Sangat mungkin sekali. Selalu terbuka kemungkinan bahwa perspektif dan ideologi keagamaan setiap orang bisa berubah.
Adalah Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang patut dijadikan contoh ketika mengupayakan moderasi. Santri yang berkenan belajar dengan beliau, berasal dari berbagai golongan. Dari ateis sampai radikal, dari sekular sampai konservatif, dari para pejabat hingga buruh harian, dari para Kyai sampai preman bajingan, semuanya dengan hati yang terbuka mau belajar bersama dengannya.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, secara jujur dan obyektif harus belajar kepada Cak Nun. Terutama adalah bagaimana memoderasi ketulusan hati dan kepentingannya, sehingga orang-orang yang begitu beragam, mau diajak berdialog. Ketika sinyal “kemauan” itu sudah seirama, maka keindahan Islam yang sangat estetis bisa lebih mudah dirayakan bersama-sama.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama memang memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang melimpah. Lembaga-lembaga itu, adalah instrumen yang paling penting untuk memoderasi generasi masa depan. Baik itu sekolah, pesantren dan perguruan tinggi yang dimiliki, bisa menjadi kawah candradimuka yang mampu memproduksi pada agensi moderasi.
Tetapi itu semua tidak cukup. Harus ada sesuatu yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan umat secara lebih komprehensif. Dan yang paling penting, “cara mainnya” tidak destruktif, mau menang sendiri, bermuatan politik primordialistik yang ekstrem dan sangat serakah.
Pengkafiran tidak boleh dibalas dengan pengkafiran yang serupa. Tindak kekerasan, kekejaman dan segala hal yang menyentuh pelanggaran pidana, harus diselesaikan secara hukum (pro-justitia), bukan diselesaikan dengan kejahatan yang serupa.
Moderasi Berdasar Perlombaan untuk Kebaikan
Belakangan beredar seruan untuk memboikot lembaga-lembaga pendidikan yang cenderung mengarah ke Wahabisme dan Salafisme. Hal ini tentu kiranya tidak perlu dilakukan. Bukankah lebih baik justru berdialog dengan mereka, lalu berkonsolidasi dan bahkan mengelola lembaga pendidikan bersama-sama? Bukankah lebih asyik jika mampu saling terbuka dan mengajarkan “perbandingan Mazhab fikih” ketimbang saling menegasikan?
Juga pernah suatu ketika, pengajian tertentu di-sweeping dan dibubarkan, lantaran dikhawatirkan akan mendakwahkan sesuatu yang kontroversial (katakanlah terlalu keras dan provokatif). Apakah tidak mungkin jika digelar dialog terbuka dan bahkan debat terbuka ala pengajian Cak Nun misalnya, ketimbang mempertajam permusuhan dan dendam?
Karena itulah maka penting kiranya arah gerak moderasi Islam ini didasarkan kepada fastabiq al-khairat/fastabiqul khairat. Kita berlomba-lomba dalam kebajikan. Ingat, yang dilombakan adalah kebajikan, bukan permusuhan.
Sebagai ikhtitam, penting kiranya kita merenungkan firman Allah SWT, “Wa’tasimu bi habli-LLahi jami’an, wa la tafarraqu.” (berpegangan-erat lah dengan tali Allah bersama-sama, dan janganlah berpecah-belah). Mari kita berkonsolidasi menempa persaudaraan Islam yang mulia.
Editor: Nabhan