Islamofasisme I Setiap bangsa di dunia sejak era pra-peradaban sampai era modern yang beradab, terus menerus menghadapi fenomena konflik dan kekerasan yang memakai simbol-simbol keagamaan. Penempatan Tuhan dalam setiap tradisi keyakinan sebagai sumber kebenaran, kemutlakan, sekaligus yang kuasa, membuat setiap orang bertindak atas nama-Nya bagi kekuasaan untuk dirinya sendiri.
Sejak politik, terutama di negara-negara berkembang dipenuhi konflik dan kekerasan yang memperoleh pembenarannya melalui agama. Di Indonesia sendiri, ada beberapa kelompok yang sering menggunakan simbol agama sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadinya. Tak jarang cara-cara yang digunakan jauh dari ajaran Islam yang baik dan damai. Tuhan dan agama-Nya dipahami secara ekslusif dengan menegasikan semua tafsir lainnya (Mulkan, 2002).
Keagamaan berubah jauh dari kemanusiaan, karena Tuhan dipahami sebagai ekstrim negatif kemanusiaan. Agama dengan serampangan selalu ditafsirkan dengan kekerasan, bahkan sampai tingkat tertentu sudah diluar nalar manusia, seperti aksi-aksi terorisme. Tentu fenomena ini mengingatkan kita pada sebuah ideologi yang selalu menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuannya, yakni fasisme.
Pengertian Tentang Fasisme
Sepintas jika kita melihat memang tidak ada hubungannya antara fasisme sebagai ideologi dengan agama sebagai keyakinan. Tetapi jika dikaji lebih jauh, ternyata dalam beberapa hal terdapat sebuah kesamaan, terutama dalam praktiknya. Fasisme atau facism atau fascismo berasal dari kata latin fasses yang merupakan simbol otoritas hakim sipil pada masa Romawi kuno dengan wujud serumpun batang yang diikatkan di kapak. Secara etimologi fasis dapat diartikan sebagai kejayaan.
Selain itu, fasisme juga merupakan sikap nasionalisme yang berlebihan (ultra-nasionalis) yang merupakan paham mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Muhajir Affandi di dalam bukunya berjudul, “Komunikasi Propaganda: Suatu Pengantar” tahun 2017, mengatakan bahwa fasisme merupakan gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasisme berusaha mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi (Azizah, 2022).
Sedangkan jika ditinjau dari sejarah, fasisme ada dan sudah dimulai sejak era perang dunia I. Adapun pertumbuhan atau asal mulanya fasisme itu tumbuh karena beberapa benih, di antaranya: pertama, adalah nasionalisme dan patriotisme yang dibumbuhi dengan emosi balas dendam atas rezim terdahulu. Kedua, adalah kegagalan ekonomi, dimana pada saat ekonomi melemah dan kemiskinan merajarela, maka disitulah fasisme hadir untuk menawarkan keteraturan. Ketiga, frustasi akan demokrasi. Adapun titik frustasinya terletak pada demokrasi yang dipenuhi dengan korupsi. Selain kegagalan sistem demokrasi dalam memenuhi keperluan rakyat (Supriyansyah, 2017).
Fenomena Islamofasisme
Lantas, apakah yang dimaksud dengan islamofasisme itu? Menurut Amir Darwish di dalam artikelnya berjudul, “Islamism + Fascism = Islamofascisme, but What Does It Really Mean?”, mengatakan bahwa fasisme Islam atau yang dikenal sejak tahun 1990-an sebagai ‘Islamofasisme’, adalah istilah yang menarik perbandingan antara karakteristik ideologis gerakan Islam tertentu dan berbagai gerakan fasis Eropa sebelum dan selama era perang dunia II di Eropa (Darwis, 2022).
Sementara itu, menurut peneliti dari Universitas Koln dan Bonn, Jerman, Timo Duile, menyatakan bahwa agama bisa menjadi dasar fasisme, disebabkan karena agama dewasa ini selalu dijadikan topik publik yang diekspresikan melalui simbol-simbol di ruang publik. Hari ini, agama sudah menjadi identitas rombongan atau kelompok dan bukan lagi soal individu sebagai identitas umum.
Agama sudah bersifat ekslusif. Agama bukan lagi dijadikan dasar nilai-nilai kebaikan. Sehingga sudah kehilangan nilai spiritualitasnya. Yang menjadi penting kemudian di dalam fasisme, bukan lagi perdebatan bebas tentang Tuhan, doa, atau ibadah, tetapi mendengarkan khotbah pemimpin yang keras sekaligus menelan mentah-mentah khotbahnya tanpa berpikir secara kritis.
Jika sudah seperti itu, agama hanya menjadi ekspresi hubungan antar manusia. Bukan lagi ekspresi hubungan individu dengan Tuhan. Sebab individu menjadi hilang dalam ideologi identitas kelompok atau rombongan. Melalui identitas agama yang sempit, agama bisa diperalat oleh ideologi fasis supaya musuh atau ‘yang berbeda’ bisa diwujudkan. Gerakan fasisme mulanya bukan sebagai gerakan besar. Sebab pada mulanya fasisme merupakan kelompok kecil yang sudah patuh dengan perintah dan menjadikan kekerasan sebagai alat ukur untuk menguasai dan mengancam orang lain (Duile, 2016).
Islamofasisme di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kasus-kasus yang demikian banyak sekali terjadi. Sebagai contoh misalnya, kasus fobia-komunism, dimana dalam beberapa hal masyarakat sering dibuat panik melalui “musuh” yang diciptakan oleh propaganda Orde Baru. Sehingga mereka dengan mudah ditakuti dengan isu-isu apa yang disebut “hantu komunisme”. Kondisi panik ini sengaja diciptakan sebagai upaya untuk mempersatukan kelompok atas nama ideologi. Padahal kepanikan itu diciptakan oleh pemimpin mereka.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus fenomena beragama. Dimana dalam beberapa kasus masyarakat sengaja dibuat panik dengan isu-isu busuknya pluralisme. Pluralisme dianggap sebagai perusak keimanan, padahal wacana buruk pluralisme itu diciptakan agar masyarakat tetap bersifat ekslusif. Pun begitu dengan wacana jihad, makna jihad digembor-gemborkan sebagai wacana yang mulia. Padahal kenyataan akan hal itu diciptakan untuk membuat ketakutan. Hal ini persis seperti ideologi fasis, dimana dalam pola berpikir fasis tidak ada ruang untuk semua identitas, semua yang berbeda dengan kelompoknya harus dimusnahkan.
Ideologi fasis menganggap kondisi dunia selalu dibayangkan dalam kondisi perang. Dunia dianggap penuh dengan musuh-musuh yang diciptakan oleh pikiran atau kelompoknya sendiri. Bagi mereka yang berpikir fasis sosok musuh tidak selalu berbentuk nyata, dengan menciptakan “musuh imajiner” sudah cukup (Duile, Memikirkan Ulang Fasisme, 2016). Sebagaimana contoh ketika kita tidak pernah mengenal ajaran Ahmadiyah misalnya, tetapi hanya karena sering mendengar isu atau wacana yang sering dikotbahkan bahwa Ahmadiyah itu sesat tanpa mau mempelajarinya, kita ikut-ikutan untuk menyesatkannya.
Daftar Referensi
Azizah, N. (2022, Mei 18). Sejarah & Arti Fasisme: Ciri, Tujuan, Tokoh, Contoh Negara Penganut. Retrieved from tirto.id.
Darwis, A. (2022, Oktober 20). Islamism + Fascism = Islamofascism, but What Does It Really Mean? Retrieved from Fairobserver.com.
Duile, T. (2016, Agustus 22). Fasisme: Tak Mampu Menerima Kebhinekaan. Retrieved from dw.com.
Duile, T. (2016, Agustus 15). Memikirkan Ulang Fasisme . Retrieved from dw.com.
Mulkan, A. M. (2002). Membongkar Praktik Kekerasan, Gagasan Kultur Nir-Kekerasan. Yogyakarta: PSIF Universitas Muhammadiyah Malang.
Supriyansyah. (2017, Juli 11). Fasisme Agama. Realitas atau Bualan Belaka? Retrieved from islami.co.
Editor: Soleh