Rajab, dalam terminologi Al-Khubawi sebagaimana tersurat dalam kitabnya Dzurratun Nasihin disalin dari salah satu hadis Nabi Saw, yaitu nama sebuah telaga yang terdapat dalam surga. Airnya berwarna putih, lebih putih dibanding susu dan jauh lebih manis melebihi madu. Ajaibnya, tidak ada satupun yang bisa meminumnya, kecuali dia yang berpuasa di bulan Rajab.
Keistimewaan teragung di bulan Rajab yang terjadi dalam diri Nabi Saw adalah peristiwa perjalanan Nabi dari masjid Haram, Makkah, menuju masjid al-Aqsha, Palestina. Perjalanan itu dikenal dengan sebutan Isra’. Dan juga naiknya Nabi Saw dari al-Aqsha, Baitu al-Maqdis menuju langit ke tujuh, Sidratu al-Muntaha. Demikian itu dikenal dengan istilah Mi’raj.
Peristiwa Isra’ Mi’raj diabadikan dalam Al-Qur’an di dalam potongan ayat surat al-Isra’, “Subhana al-ladzi asra bi’abdihi lailan mina al-masjidi al-harami ila al-masjidi al-aqsha al-ladzi barakna haulahu linuriyahu min ayatina innahu huwa al-sami’u al-bashir.” (Mahasuci [Allah] yang memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) di malam hari dari masjid Haram menuju masjid Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagian bukti-bukti (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Melihat).
Pasca perjalanan singkat di tengah malam itu, Nabi menyebarkan informasi semua peristiwa yang Nabi alami selama perjalanan itu, termasuk juga menyebarkan perintah wajib shalat lima waktu, sebagai sesuatu yang paling esensial dari peristiwa Isra’ Mi’raj.
Peristiwa Isra’ Mi’raj mendapatkan respons yang beragam di tengah-tengah umat yang masih dibayang-bayangi kejahilan. Sedikit sekali yang mempercayainya, mayoritas menolaknya dan menganggap peristiwa yang Nabi alami itu sebuah informasi yang irasional. Dampaknya, alih-alih mendapatkan simpati dan ketakjuban dari umat, Nabi Saw malah dituduh sebagai manusia yang paling berhalusinasi (majnun).
Beruntungnya, penolakan yang disertai cemoohan itu diimbangi dengan satu kalimat terkenal dari sahabat Nabi, Abu Bakar al-Shidiq, “Apapun yang datang dari Muhammad Saw pasti benar…” Kalimat pendek itu membesarkan hati Nabi, sekaligus membuat keraguan umat menjadi buyar. Sebab, keyakinan Abu Bakar seolah menjadi perwakilan dari mayoritas umat kala itu. Seseorang yang dikenal jujur, seseorang yang dikenal selalu benar dalam perkataannya, tak mungkin memberikan kesaksian palsu. Begitu kiranya gumam batin kaum Quraisy saat itu.
Peristiwa Isra’ Mi’raj memang menyisahkan banyak misteri sekaligus perdebatan tidak hanya di zaman lalu, tapi juga di zaman ini. Ilmuwan memberikan banyak komentar yang beragam. Salah satunya sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Mustofa dalam bukunya, “Terpesona di Sidratul Muntaha”. Dirinya berkesimpulan, bahwa tubuh Nabi Saw diubah menjadi cahaya ketika melakukan perjalan Isra’ Mi’raj. Padahal kesimpulan semacam ini tidak pernah diungkapkan oleh satupun ulama salaf.
Dalam Tafsir al-Kabir, Fakhruddin al-Razi menyatakan bahwa Nabi Saw melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan raga dan sukmanya. Kesimpulan ini diambil dari frasa “abdihi” dalam ayat tersebut. Razi melanjutkan, kata ‘abdihi’ adalah ungkapan lain dari manusia (Rasulullah). Hamba (abdihi) bukan sekedar raga juga tak sekedar sukma, melainkan raga sekaligus sukmanya. Pernyataan al-Razi ini sejalan dengan pendapat Ibnu Katsir dalam karya monumentalnya, Bidayah wa al-Nihayah dan Tafsir Ibnu Katsir.
Perjalanan agung Nabi di malam tanggal 27 Rajab itu sebuah perjalanan teologis. Ia hanya bisa dicerna dengan bahasa teologis pula. Cerita Isra’ Mi’raj hanya bisa dicerna dengan keimanan. Dengan kata lain, cerita Isra’ Mi’raj hadir di tengah-tengah kita untuk menguji keimanan kita terhadap kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Isra’ Mi’raj sebuah peristiwa dahsyat yang memang sulit untuk dinalar. Nalar normal manusia sulit untuk menjangkaunya. Ia adalah mukjizat. Bukan sebuah peristiwa spiritual biasa seorang hamba dengan Tuhannya. Allah mengawali firman-Nya dalam menjelaskan peristiwa ini dengan kalimat “subhana (mahasuci)”, bukti akan peristiwa yang Nabi alami itu bukanlah sebuah peristiwa yang sederhana. Kemudian Allah lanjutkan dengan kalimat-Nya, “linuriyahu min ayatina (supaya Kami perlihatkan sebagian tanda-tanda keagungan Kami)”, ini sebuah indikasi bahwa Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa besar dan luarbiasa.
Al-hasil, Isra’ Mi’raj tidak hanya peristiwa historis, ia adalah peristiwa teologis. Ia berkedudukan sama dengan peristiwa yang nanti terjadi, semacam huru-hara kiamat dan sekelebat alam ukhrawi seperti surga dan neraka. Kita wajib mengimaninya.
Editor: Soleh