‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam – Dalam tulisan Penulis sebelumnya, yang berjudul Dari Rasjidi sampai Hamka: Siapa Penerus Estafet Nahi Munkar Selanjutnya?, diuraikan perjuangan mencegah kemunkaran yang dilakukan para tokoh Indonesia.
Jika kita menyelam dalam lubuk sejarah, akan kita temukan sekian tokoh di belahan dunia lain yang spirit nahi munkar-nya tidak kalah inspiratif.
Di antara yang akan Penulis ulas dalam artikel lanjutan ini adalah seorang sarjana kelahiran Damaskus bernama ‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam al-Sulami. Nama terakhir mengindikasikan bahwa nenek moyangnya berafiliasi kepada Bani Sulaim dari Maghrib. Ibn al-Hajib, muridnya, menggelarinya Sultan al-Ulama’.
Beberapa ulama lain dilaporkan bergelar serupa. Namun, penyematannya kepada ‘Izz al-Din diakui berdasarkan fakta kegigihannya dalam mencegah kemunkaran.
Menemukan ulama yang konsisten menebar kebaikan tentu sulit. Tapi menemukan sosok yang mampu mengawinkannya dengan keberanian untuk memerangi kemaksiatan jelas jauh lebih sulit.
‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam: Konflik dengan Penguasa Damaskus
Yang istimewa dari ‘Izz al-Din adalah ketegasan prinsipnya bahkan ketika di depan seorang penguasa. Lahir pada 1181 M, ‘Izz al-Din hidup di era Perang Salib (1095-1291). Di tengah usaha umat Islam untuk memenangkan pertempuran, sang raja Ismail al-Salih ternyata justru menikam dari belakang.
Ia menjalin kerjasama dengan tentara Salib dengan membagikan beberapa daerah kecil di Damaskus kepada mereka. Tujuannya adalah agar mereka ikut membantu dalam mempertahankan dan berkonfrontasi dengan orang-orang Mesir yang nota benenya adalah saudara seagamanya sendiri.
Posisinya ‘Izz al-Din ketika itu adalah imam Masjid Damaskus. Melihat kemaksiatan yang dilakukan sang raja, ia lantas berhenti membacakan doa untuknya ketika menyampaikan Khutbah Jum’at.
Keanehan sekaligus keberanian ini akhirnya membuat Raja Isma’il murka. Tapi sang imam tidak lantas keseimbangan berfikir. Ia teguh terhadap keyakinannya.
Ia akhirnya dipenjara. Seorang penasehat kerajaan diutus untuk membujuk ‘Izz al-Din agar melunakkan pandangannya dengan mencium tangan sang raja.
Tapi ia tidak sudi. Hanya kekalahan Damaskus yang berakhir dengan kematian sang raja yang pada akhirnya membebaskannya dari tahanan tersebut. Ia lantas dielu-elukan rakyat Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam Hijrah ke Mesir
Adil Salahi menuturkan, Izz al-Din datang ke Mesir dalam umur 60 tahun. Datang dengan predikat sebagai sarjana dan mufti agung. Keagungan ini bahkan hingga menyebabkan Mufti Mesir yang sesungguhnya, al-Hafidz al-Munziri, segan untuk berfatwa lantaran kehadirannya. Tapi keagungan ini tidak menyilaukan keteguhannya untuk mencegah kemunkaran.
Sekitar 20 tahun sisa umurnya ia habiskan di Negeri Kinanah itu. Ia datang ketika Dinasti Ayyubiyyah dipegang oleh Najm al-Din Ayyub. Beragam kedudukan tinggi diberikan kepadanya seperti sebagai Imam dan Khatib di Masjid Amr Ibn Ash, termasuk juga Ketua Hakim Tinggi Mesir.
Diceritakan bahwa sang raja sedang mengadakan jamuan agung di sebuah ruangan besar. Dia duduk di singgasana kebesaran, didampingi seluruh anggota keluarga kerajaan, para pangeran, pengawal, menteri, dan tamu kehormatan. Semua tunduk memberikan salam penghormatan kepada sultan.
“Ayyub!”, terdengar tiba-tiba suara lantang memenuhi ruang pertemuan yang luas itu. Suara tersebut ternyata dari seorang ulama sekaligus penasihatnya sendiri, ‘Izz al-Din. Semua hadirin tentu merasa heran bagaimana mungkin seorang raja yang demikian agung, di depan para tamu agung, tiba-tiba dipanggil dengan hanya menyebutkan namanya.
“Apa yang akan Engkau katakan jika Tuhan bertanya kepadamu: Apakah Aku menganugerahimu kerajaan Mesir agar engkau berpesta dalam kemegahan ini sementara Engkau biarkan rakyatmu menikmati arak di luar sana?” ‘Izz al-Din bertanya lantang.
Sang raja keheranan. Ia lantas berargumen bahwa toko-toko arak tersebut sudah didirikan sejak pemerintahan ayahnya. “Apakah engkau sudi masuk ke dalam golongan yang dicela al-Quran semata-mata sebab mengikuti begitu saja apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang mereka [mā wajadnā ‘alayhi ābā’ana]?” lanjut sang Sultan al-Ulama.
Untungnya, Ayyub adalah termasuk raja yang mau mendengar nasihat dari ulama. Toko-toko arak pun ditutup. Andaikan pun dia tidak mendengar, ‘Izz al-Din jelas tetap pada pendiriannya. “Saya hanya ingat akan kebesaran Tuhan. Raja bagi saya tidak ubahnya seperti seekor kucing yang lemah,” jawab ‘Izz al-Din kepada muridnya ketika pulang dari jamuan.
Inspirator dalam Perang ‘Ain Jalut
Sikap tanpa kompromi seperti ini berlanjut hingga di akhir hayatnya. Pada 1259, ketika Mesir berada di awal-awal pemerintahan Dinasti Mamluk, ancaman datang dari tentara Mongol. Baghdad dan Damakus sudah dihancurkan. Target selanjutnya dari Pasukan Hulagu Khan ini adalah Kairo. Sultan Quthuz pun meminta nasihat ‘Izz al-Din.
Dalam sebuah pertemuan kerajaan, setelah menyelesaikan jamuan makan malam, Sultan menyimpulkan bahwa dalam usaha menghadapai kekuatan Mongol diperlukan dana yang besar. Para Pangeran selanjutnya mengusulkan bahwa satu-satunya jalan adalah dengan menaikkan pajak.
“Kalian menginginkan perang ini di jalan Allah Swt, dan kalian tahu juga bahwa kemenangan tidak terjadi kecuali atas pertolongan-Nya. Jika demikian, maka kalian semua pun harus bertindak dan bertingkah laku sebagaimana yang Dia perintahkan. Lalu, bagaimana mungkin kalian ingin menaikkan pajak sementara kalian sendiri hidup dalam kemewahan?”
***
“Jika kalian benar ingin menaikkan pajak, maka semua harta yang kalian miliki harus ditanggalkan kecuali apa yang sekedar dibutuhkan. Kalian semua harus hidup sebagaimana rakyat pada umumnya. Inilah keadilan yang diperintahkan Allah Swt. Untuk memenangkan pertempuran ini, kalian harus memastikan keadilan ada di tengah-tengah masyarakat.”
Beberapa pangeran mencoba menyangkal. Mereka hampir tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin seluruh anggota keluarga kerajaan akan hidup sebagaimana layaknya rakyat biasa. Tapi ‘Izz al-Din tidak bergeser sedikit pun dari prinsipnya. Sang sultan yang memang dulu menjadi murid ‘Izz al-Din ketika di Damaskus akhirnya memilih nasihat gurunya.
Pertempuran dengan Mongol inilah yang disebut Perang ‘Ain Jalut. Posisi umat Islam ketika itu, sebut Mariam Sheibani dalam disertasinya berjudul Islamic Law in an Age of Crisis and Consolidation: ‘Izz al-Dīn Ibn ‘Abd Al-Salām and the Ethical Turn in Medieval Islamic Law, dalam keadaan krisis dan kritis. Kairo adalah benteng terakhir pertahanan umat Islam.
Namun muncul ‘Izz al-Din dengan sikap tegas dan tanpa komprominya. Ia perbaiki mental juang para pasukan dan rakyat Mesir. Ia pastikan bahwa tidak ada kemunkaran terjadi di masyarakat dan inilah yang sesungguhnya menjadi kunci terbukanya pertolongan Allah Swt. Dinasti Mamluk, dengan Kairo sebagai salah satu ibukotanya, akhirnya menang.
Disebutkan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali, jika raja adalah penguasa manusia biasa, maka ulama adalah penguasa para raja. Dengan integritas kepribadian yang dimilikinya, terutama dalam memperjuangkan nahi munkar, tidak berlebihan jika ‘Izz al-Din digelari Sultan al-Ulama; raja para ulama. Sosok yang hari ini amat sulit kita temukan. Wallahu A’lam.