Perspektif

Jalan Keluar Menyelamatkan Demokrasi Indonesia

4 Mins read

Kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan genap memasuki 10 tahun mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama selama periode kedua kepemimpinannya yang dianggap merusak demokrasi Indonesia oleh sebagian pihak.

Langkah-langkah kontroversial dimulai dari revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019, yang menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah rumpun eksekutif, hingga dugaan nepotisme di jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dan perdebatan seputar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang dianggap sarat politik kepentingan. Pengesahan UU Cipta Kerja tanpa mempertimbangkan kritik publik dan berbagai aturan serta kebijakan strategis lain yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai, semakin menambah ketidakpuasan masyarakat.

Praktik tindakan represif dan despotik terhadap kelompok warga dan aktivis yang berseberangan posisi dan paham dengan program pemerintah menjadi santapan publik sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi yang berakibat pada menyusutnya ruang kebebasan sipil. Di ranah digital para pengkritik kerap mendapat serangan siber, seperti peretasan alat komunikasi, ancaman, dan penangkapan. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) – yang baru disahkan direvisi-pun masih memiliki celah untuk membungkam suara-suara lantang yang menggugat kekuasaan.

Upaya pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan melalui sikap represif, despotik, dan manipulasi terhadap demokrasi melalui proses-proses yang seolah demokratis namun bertentangan, dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Beberapa ahli bahkan menyebut bahwa pemerintahan Indonesia saat ini menuju arah pemerintahan otokrasi. Keadaan ini memicu reaksi luas dari warga negara, menghasilkan resistensi, perlawanan, atau bahkan sikap apatis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada akhirnya dapat merusak kehidupan demokrasi Indonesia.

***

Realitas di atas sejalan dengan berbagai laporan dan penelitian yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Sebagai contoh, laporan The Economist Intelligence Unit (2022) menilai Indonesia dengan skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022, yang menunjukkan stagnasi demokrasi Indonesia dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Freedom House (2023), yang mengukur status kebebasan global, menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat mencapai status bebas sepenuhnya (partly free) dalam budaya politik (partisipasi publik) dan kebebasan sipil, bahkan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Laporan lain dari CIVICUS (2023), lembaga internasional yang memonitor kebebasan sipil, menempatkan Indonesia pada status obstructed. Laporan dari KontraS (2023) menyatakan bahwa selama 4 tahun kepemimpinan Jokowi, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran terutama pada aspek partisipasi publik dan kebebasan sipil.

Baca Juga  Gerakan Revolusi adalah Titik Awal Sistem Demokrasi Mesir

Berdasarkan laporan dan penelitian tersebut, terlihat bahwa aspek kebebasan sipil dan budaya politik (partisipasi publik) Indonesia berada pada posisi yang rendah dari waktu ke waktu. Dua aspek ini perlu mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia, karena dampak buruknya dapat mempengaruhi sektor kehidupan lain secara signifikan, terutama pada aspek keadaban manusia Indonesia.

Tulisan ini menawarkan jalan keluar untuk menghidupkan kembali partisipasi warga negara dalam menjaga, merawat, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang konstitusi dan keadaban manusia (civic virtue), sehingga demokrasi Indonesia menjadi lebih substansial. Dimana semuanya bertujuan untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia.

Public Deliberation: Menghidupkan Partisipasi Publik

Public Deliberation (musyawarah) menjadi bentuk partisipasi publik yang dapat diadopsi dalam memperoleh jalan keluar dari isu masalah dan keputusan publik. Dalam kondisi Indonesia yang sudah dikuasai oleh otokrasi dan oligarki, penting untuk menciptakan ruang bagi warga negara untuk berdiskusi terbuka tentang kebijakan dan masalah yang dihadapi.

Public Deliberation memungkinkan adanya pertukaran ide dan pandangan yang sehat antarwarga negara. Proses ini harus terbuka, transparan, dan melibatkan berbagai pihak, termasuk kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Melalui dialog terbuka, masyarakat dapat menghasilkan solusi yang lebih baik dan merespons kebutuhan bersama.

Para perwakilan rakyat yang telah diberikan rakyat mandat melalui pemilu untuk menyuarakan kepentingan rakyat kurang atau bahkan gagal dalam menyuarakan rakyat. Misal DPR lebih mematuhi suara pemilik partai politik dibanding suara rakyat. Para wakil rakyat baru berhubungan dengan rakyat saat pemilu saja, itupun tanpa gagasan yang membangun, cenderung mengkotak-kotakkan rakyat demi berebut kursi kekuasaan.

Ruang partisipasi warga negara lainnya yang sering digunakan di Indonesia misal konsultasi publik terhadap aturan atau kebijakan baru, yang terjadi cenderung hanya formalitas dan sekedar memenuhi syarat legitimasi partisipasi warga negara. Ini terlihat dari adanya peserta yang dipilih dan diatur sehingga unsur inklusif dan terbuka yang mengedepankan dialog dan perdebatan antar warga negara atau kelompok kepentingan secara terus menerus tidak terjadi. Sehingga warga negara seperti terlepas dari kebijakan atau aturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa.

Baca Juga  Apakah Demokrasi Kita Mengalami Regresi?

Civil Disobedience: Gerakan Pembangkangan Publik

Dalam upaya mengembalikan daulat warga negara dalam kehidupan demokrasi, perlu adanya gerakan pembangkangan publik atau Civil Disobedience. Hal ini melibatkan penolakan terhadap kebijakan atau undang-undang yang dianggap tidak adil atau merugikan masyarakat. Melalui gerakan sipil yang damai namun tegas, warga negara dapat menyuarakan ketidaksetujuan terhadap langkah-langkah pemerintah.

Civil Disobedience dapat berupa unjuk rasa, mogok kerja, atau tindakan lain yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi. Gerakan ini membangkitkan kesadaran masyarakat dan menunjukkan bahwa kepatuhan bukanlah satu-satunya pilihan dalam menghadapi kebijakan kontroversial.

Pada era Presiden Jokowi, gerakan pembangkangan sipil pernah terjadi yaitu dikenal sebagai aksi nasional #ReformasiDikorupsi yang dibalas aparat negara secara brutal dan repesif yang menyebabkan korban jiwa. Aksi #ReformasiDikorupsi meredup seiring pembungkaman, penagkapan, dan intimidasi pemerintah terhadap massa aksi dan penggembosan dari berbagai pihak. Namun semangat pembangkangan sipil perlu terus dipelihara sebagai sarana warga negara dalam check and balance terhadap penguasanya.

Kita mungkin perlu belajar gerakan pembangkangan sipil di Taiwan yang dikenal dengan Gerakan Bunga Matahari (the Sunflower Movement) yang  sukses menekan pemerintah untuk mendengarkan suara warga negara. Yang oleh Yeh, J. R. (2015) Gerakan Bunga Matahari dianggap sebagai model pergerakan menuju konstitusionalisme sipil (Civic Constitutionalism), di mana kelompok-kelompok sipil bersaing dengan para wakil rakyat dan pengadilan dalam membentuk dan mendefinisikan tatanan konstitusional.

Civic Constitutionalism: Memasyarakatkan Keadaban Manusia

Penting untuk memasyarakatkan konstitusionalisme kewarganegaraan (civic constitutionalism) sebagai upaya mencapai keadaban manusia (civic virtues) di Indonesia. Hal ini melibatkan pemahaman mendalam dan kesadaran akan nilai-nilai konstitusi dan hak asasi manusia. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pendidikan kewarganegaraan yang mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak mereka dan tanggung jawab terhadap demokrasi.

Baca Juga  Covid-19 Ubah Lanskap Pendidikan, Munculkan Trend Baru

Civic Constitutionalism juga mencakup kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan dan mengawasi tindakan pemerintah. Melalui pendidikan dan advokasi, masyarakat dapat menjadi penjaga demokrasi yang aktif dan bertanggung jawab.

Dengan mengadopsi deliberasi publik, pembangkangan sipil, dan konstitusionalisme kewarganegaraan, diharapkan segenap elemen masyarakat Indonesia dapat bersama-sama menyelamatkan demokrasi dari kemunduran yang terjadi. Partisipasi aktif warga negara dan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi adalah kunci untuk membangun fondasi demokrasi yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia.

Editor: Soleh

6 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds