Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Untuk memperbaiki keuangan negara yang dalam krisis antara lain sebagai akibat keborosannya dalam melakukan perjalanan-perjalanan yang amat mahal biayanya, Syah Iran memberikan wewenang monopoli atas penanaman dan perdagangan tembakau kepada sekelompok kaum kapitalis Barat. Untuk itu, ia mendapat imbalan pembayaran 15.000 ponds tiap tahun dan seperempat daripada keuntungan. Tindakannya itu membuat rakyat dikorbankan, di samping menjadikan iri hati pejabat-pejabat yang tidak mendapat bagian.
Fatwa Syaikh Mirza Muhammad Hasan As-Syirazi dari Samarra
Di Samarra tinggal seorang ulama besar yang amat terkenal dan fatwanya didengar oleh seluruh rakyat Iran. Dari Basrah, Jamaluddin pernah berkirim surat kepadanya mengadukan halnya Syah dan Perdana Menterinya yang dzalim itu serta keadaan rakyat yang amat menderita. Setelah membaca surat itu, hatinya tergugah dan melihat bahwa perjuangan Jamaluddin berada di pihak yang benar.
Tampaknya, ulama tersebut, yakni Syaikh Mirza Muhammad Hasan As-Syirazi, di samping ulama yang juga seorang mujtahid yang paling terkenal. Ketika sampai kepadanya berita tentang tindakan Syah tersebut di atas, gusarlah hatinya karena hak rakyat telah digadaikan rajanya kepada kapitalis. Maka, diumumkannya fatwa bahwa ”tembakau dan rokok hukumnya haram.”
Fatwa lekas tersiar luas dan seketika ditaati oleh rakyat. Mereka berhenti menghisap dan memperdagangkan rokok serta tembakau. Syah sendiri tidak dapat menikmati lezatnya tembakau karena rokok, tembakau dan pipanya telah disingkirkan oleh pegawai istana di luar pengetahuannya. Penanaman tembakau pun terhenti karena pekerjanya tidak mau lagi bekerja menanam barang yang haram.
Dampak Fatwa Haram Tembakau
Akibatnya sangat besar, perusahaan kaum kapitalis yang memegang monopoli itu menderita kerugian yang besar. Mereka mengadukan halnya kepada Syah dan menuntut ganti kerugian. Sementara itu, kerusuhan sudah mulai meletus.
Syah terpaksa membatalkan kontraknya dan mengembalikan uang yang telah diterimanya beserta ganti kerugian yang semuanya berjumlah 500.000 pond. Uang sebanyak itu dipinjamnya dari bank yang didirikannya sesuai dengan konsesinya kepada De Reuter tahun 1889.
Sekalipun demikian, rakyat masih belum puas dan bergerak terus, oleh memang kedzaliman Syah dan Perdana Menterinya tidak terbatas dalam persoalan tembakau itu saja.
Adapun Jamaluddin hanya tujuh bulan tinggal di Basrah lalu berlayar ke London. Semula ingin pergi ke Nejed, tetapi tidak mendapat perkenan dari Sultan Abdul Hamid di Istambul. Maka, dialihkan permohonannya untuk pergi ke tanah Inggris saja yang itu dikabulkan oleh Sultan.
Menerbitkan Dliyaul Khafiqain
Di ibukota negeri Inggris itu, seorang penerbit bersedia diajaknya menerbitkan majalah bulanan. Majalah itu diberi nama Dliyaul Khafiqain yang berarti ”Cahaya dari Dua Penjuru,” berbahasa Arab dan Inggris; yang dimaksud ialah ”Cahaya dari benua Barat dan Timur.”
Dengan majalah Dliyaul Khafiqain itu, dikecamnya pemerintah Iran habis-habisan. Dikritiknya kedzaliman Syah dan Perdana Menteri. Dibeberkannya kesengsaraan rakyat akibat aniaya rajanya. Diungkapkannya kebobrokan administrasi dan mis-management pemerintah serta digodoknya semangat rakyat Iran hingga meluap-luap.
Kewibawaan dan martabat Syah dan pemerintahannya semakin merosot karena majalah itu tersiar luas baik di Iran maupun di Turki. Karena tak tertahan lagi, Syah mengutus seseorang ke London menemui Jamaluddin mengajak damai. Tetapi utusan itu, yang tidak lain adalah Duta Besar Iran untuk Inggris, telah salah membuat perhitungan.
Jamaluddin Tidak Mempan Disuap
Jamaluddin yang ternyata tidak dapat dibeli dengan pangkat dan kekuasaan, mungkin dapat diluluhkannya hatinya dengan kekayaan. Duta itu mengonggok-onggokkan uang emas di atas meja Jamaluddin yang membuatnya amat murka dan merasa terhina. Ia berdiri dan disentakkannya alas meja di hadapannya. Onggokan uang mas itu jatuh berserakan ke atas lantai bergemerincing bunyinya.
Duta besar itu pucat pasi. Dengan ketakutannya dipungutinya uang yang bertaburan itu lalu terbirit-birit lari. Keesokan harinya peristiwa itu dimuat dalam majalahnya. Nama Syah Iran semakin meluncur ke bawah. Namun, dia masih belum putus asa.
Diutusnya Duta besar di Istambul menghadap Sultan, memohon agar Jamaluddin dipanggil ke Turki. Untuk melindungi Syah Iran yang bernaung di bawah kekuasaannya, Sultan Turki selaku Khalifah mengabulkan permohonannya. Dicarinya akal yang halus. Diperintahkannya kepada Mufti Kerajaan, Syaikh Abdul-Huda As-Syajadi, untuk mengirim surat kepada Jamaluddin membujuk dia agar suka pindah ke Istambul.
Benar juga, Jamaluddin terpikat oleh janji-janji Mufti itu yang katanya bersedia membantu perjuangannya menciptakan kemerdekaan dan hak asasi rakyat. Ia menutup majalahnya dan berangkat ke Istambul. Syah Iran boleh merasa lega napas untuk sementara. (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif