Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Sebenarnya, di Mesir pada waktu itu telah banyak orang yang terpelajar dan ulama yang berpikiran maju. Tetapi ulama yang masih kolot jauh lebih banyak jumlahnya. Mereka tidak mau menggunakan akal untuk menganalisa dan memperkembangkan pendapat ulama yang terdahulu. Karena ruang lingkup pikiran mereka terkurung oleh dinding madzhab serta kecerdasannya terbelenggu oleh rantai taqlid.
Kebanggaan dan ukuran alim terletak pada hafalan sekian puluh ribu hadits tanpa dianalisa maksud dan penerapannya serta tidak pula diamalkan. Kepercayaan tentang aqaid tidak menjadi landasan keyakinan yang menimbulkan himmah dan kebijaksanaan, tetapi hanya menjadi buah perdebatan yang tak ada putus-putusnya. Mereka berpendirian, bahwa nasib manusia tergenggam dalam takdir yang telah disuratkan Allah terlebih dahulu dan berhenti di situ saja tanpa kelanjutan analisa dan kesimpulannya.
Sekalipun Jamaluddin juga berpaham demikian, namun dianalisa demikian rupa sehingga ajaran tentang takdir itu tidak menimbulkan apatisme sebagaimana biasanya pada waktu itu. Justru dengan cara demikian membina tawakkal dan semangat yang baru.
Bagi Jamaluddin, Takdir Ilahi adalah satu kenyataan atau satu rencana yang positif di balik pengetahuan manusia. Manusia hanya mengetahui jika telah terjadi, atau dapat mencoba mengetahuinya sedikit daripada takdir-takdir itu. Oleh karena itu, manusia wajib berusaha memperbaiki nasibnya untuk esok hari, siapa tahu Allah telah takdirkan beruntung.
Bangsa Mesir yang menerima takdir sengsara, justru karena adanya iman kepada takdir itu, harus berjuang sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasibnya. Sejarah telah membuktikan bagaimana bangsa-bangsa di dunia ini berhasil membebaskan diri dari tindakan dan kesengsaraan serta mencapai kejayaan dengan perjuangan terus-menerus.
Sebenarnya, memang tidak ada perbedaan yang esensil antara Jamaluddin dengan ulama-ulama itu tentang iman kepada takdir. Hanya saja, ulama-ulama itu tidak berani menyatakan apalagi mengajarkan, takut kalau-kalau menyimpang dari ajaran para ulama-ulama sebelum mereka. Jika mereka berbicara mengenai takdir, yang dimaksud adalah terbatas kepada takdir bagi perseorangan atau individu tentang miskin atau kaya, Muslim atau kafir dan hina atau mulia. Mereka tidak pernah berbicara tentang takdir yang mengenai sesuatu umat atau bangsa. Selain karena itu tidak lazim, juga karena takut dianggap menentang penguasa.
Memang para ulama itu tidak senang kepadanya, karena dianggap menyaingi dan merebut simpati rakyat. Mereka menentang Jamaluddin dan menyiarkan berita-berita yang tidak benar. Tetapi, kali ini Jamaluddin mampu bertahan, karena Perdana Menteri sangat baik kepadanya. Anjurannya agar bangsa Mesir berjuang untuk memperbaiki nasibnya, sosial, politik, dan ekonomi, oleh para ulama dijadikan alasan untuk menyiarkan berita bahwa tujuan perjuangan Jamaluddin adalah kehidupan dunia melulu. Satu hal yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul.
Dia dianggap akan membawa bangsa Mesir ke dunia materi dan melupakan Tasawuf yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah. Ajaran menuju ”fana” dalam Ilmu Tasawuf, yaitu meniadakan diri untuk hidup ber-zuhud yang bersih daripada segala pamrih keduniaan, telah dibuang jauh-jauh oleh Jamaluddin.
Padahal, sebenarnya Jamaluddin mempunyai pengertian lain tentang fana itu, ialah melebur kepentingan diri bagi kepentingan dan perjuangan bersama. Ber-tasawuf beginilah yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul, dan ini dibuktikan oleh Jamaluddin sampai akhir hayatnya. Lima tahun sudah dia berada di Mesir dengan tidak jemu-jemunya membina kesadaran rakyat. Ada yang pro dan banyak pula yang kontra, mendapat kawan dan lawan sebagai layaknya orang yang berjuang untuk cita-citanya.
Tahun sudah menunjukkan bilangan 1876, dan ia merasa sudah sampai saatnya membentuk organisasi. Dia sadar bahwa perjuangan tanpa organisasi tidak akan banyak artinya. Organisasi yang dibentuknya merupakan gerakan yang didukung oleh lebih kurang 300 orang pengikutnya yang setia, antara lain Saad Zaghul Pasya, Ibrahim Al-Laqani, Adib Ishaq, dan Muhammad Abduh.
Tujuan organisasi ini ialah memperbaiki nasib rakyat dalam bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan mereka serta menentang kedzaliman yang sedang memuncak di mana putra Mesir sangat dianaktirikan oleh Raja dan pejabat-pejabat tinggi yang berketurunan Turki. (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif