Oleh : Nurbani Yusuf*
Nomor baku Muhammadiyah sudah saya dapatkan sejak dari kakek buyut saya—meski saya juga tak tahu kegunaannya dari kartu ini.
^^
Masuk menjadi anggota Muhammadiyah itu berat dan penuh risiko. Apalagi buat orang kecil seperti saya. Tinggal di kampung bekerja sebagai buruh tani. Lulusan sekolah dasar tak pandai mengaji. Tingkat ekonomi pas-pasan, boleh dibilang kurang.
Kami kerap dimusuhi. Bahkan oleh kerabat sendiri. Hanya Karena saya tak ikut kumpulan di kampung semacam Yasinan atau tahlilan. Saya juga kerap dibully karena tak mengadakan selamatan ketika orang tua saya meninggal. Berbagai serangan kerap saya terima. Boleh dibilang semacam kekerasan teologis karena perbedaan tata cara ibadah.
Ketika bapak meninggal dibilang kayak mengubur sapi karena tidak pakai azan saat menutup liang lahat. Saya juga sering dibilang anak durhaka karena dianggap tidak pernah mendoakan orang tua. Hanya doyan warisan karena dianggap tak mau sedekah saat kedua orang tua meninggal.
^^
Mungkin ini naif. Tapi inilah Muhammadiyah akar rumput. Tanpa pengetahuan dan status sosial rendah. Bisa dibayangkan. Kami juga kerap ketakutan saat nanti kami meninggal sementara teman teman satu jamaah belum tentu mau takziah dan sudi merawat jenazah. Ini memang soal klasik bagi warga Muhammadiyah yang tinggal jauh dari warga Muhamamdiyah lainnya.
Di tempat tinggal kami tak ada ranting apalagi masjid atau mushala. Kami salat nunut karena masjid Muhammadiyah agak jauh dan saya tak punya motor. Berisiko kalau berpapasan dengan jamaah sebelah saat mereka pulang dari masjid, saya dan keluarga seperti jadi tontonan.
Kami warga persyarikatan dari kasta paling rendah. Mungkin tidak dihitung atau tak ada dalam daftar. Pada acara acara penting semacam milad pun saya kerap tak diundang. Meski saya punya nomor baku, tanda anggota Muhammadiyah. Mungkin karena saya bukan pegawai atau karyawan di persyarikatan. Saya hanya petani bunga jadi tak dianggap sebagai anggota. Saya hanya punya dua dokumen yang membuktikan bahwa saya adalah Muhammadiyah: pertama, nomor baku; kedua, kartu donatur dari pengurus ranting kampung sebelah yang mengambil sumbangan tiap bulan ke rumah untuk merawat gedung sekolah dan membayar guru ngaji di mushala. Selebihnya saya tiada.
^^
Setiap apapun yang dinyatakan bapak bapak yang diatas langsung berimbas kepada kami yang di bawah. Kadang kami seperti kerumunan domba buruan. Kerap kami harus sembunyikan diri dan mencoba berbaur meski itu suiit. Tinggal di kampung memang susah, apalagi menjadi Muhammadiyah –susahnya dua kali. Sebab kerap mengambil jalan berbeda: shalat kami beda, selawat kami beda, cara mati kami beda bahkan presiden kami juga… ??
*) Komunitas Padhang Makhsyar