Wallace (1966) mendefinisikan agama sebagai a set of rituals, rationalized by myth, which mobilizes supernatural power for the purpose of achieving or preventing transformations of state of people and nature. Agama merupakan suatu perangkat ritual, dirasionalkan oleh mitos-mitos untuk menggerakkan kekuatan supranatural dengan tujuan memperoleh atau mencegah dan mengubah keadaan manusia dan alam (Alfisyah, 2009).
Kemudian menurut Brooks (2013) agama merupakan kepercayaan atas ritual yang tercipta karena keberadaan manusia yang tidak berdaya. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa agama merupakan ritual yang dilakukan atas dasar kepercayaan kepada mahkluk atau kekuatan adikodrati.
Doktrin agama samawi percaya bahwa agama bukan buatan manusia, tetapi bersumber pada kebenaran-kebenaran yang berasal dari Tuhan yang diturunkan melalui malaikat kepada nabi-nabi dan kemudian diteruskan menjadi ajaran bagi manusia.
Dalam Islam, agama didefinisikan menjadi dua unsur pokok yaitu beliefs atau kepercayaan dan patterns of begavior yang dapat di artikan sebagai ritual atau konsekuensi dari kepercayaan tersebut (Sodikin, 2003).
Dalam konsep Islam, kepercayaan adalah rukun iman dan ritual adalah rukun Islam. Allah menurunkan agama secara laten kepada setiap Nabi yang menerimanya dan pengikutnya sampai hari ini. Kebebasan beragama artinya ketidakterikatkan dan ketidakterpaksaan untuk melakukan sesuatu (the power or right to act, speak, or think as one wants).
Dalam deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), kebebasan beragama telah termaktub dan masuk dalam peraturan Internasional, everyone has the right to freedom of thought, conscience, and religions, bahwa setiap manusia memiliki hak untuk beragama dan hak-hak kebebasan lainnya (Utami, 2018).
Kepentingan dalam Beragama
Selain menjadi identitas, agama juga menjadi jaminan keamanan dan mempengaruhi kualitas hidup. Dengan agama, manusia lebih terarah hidupnya, pergaulannya, dan aktivitas spiritualnya, merasa tenang hatinya, dan kehidupan yang damai.
Secara naluriah, manusia dituntut oleh insting kepentingan dalam melakukan apa saja. Kepentingan manusia jika dilihat dari perspektif sosiologis terbagi menjadi 3 level, yaitu mikro, mezzo, dan makro. Kepentingan pribadi, golongan, dan masyarakat luas. Jenis kualitas kepentingan menunjukan gambaran mutu kepribadian dan kedewasaan berpikir, sehingga kelas kualitas kemanusiaan sangat ditentukan oleh skala prioritas kepentingan.
Manusia yang hanya sibuk memikirkan diri dan keluarganya bukanlah jenis manusia unggulan. Apa susahnya bekerja keras membangun karir, mendaki puncak jabatan, menumpuk harta, dan merawat status sosial bila itu semua diniatkan hanya untuk keabadian kepentingan diri sendiri. Apalagi nafsu kepentingannya dibungkus oleh rasa suka yang mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat.
Sekarang, jika sudut pandang ekonomi sebagai titik pijaknya, maka manusia ini berjenis manusia pasar. Manusia yang selalu mempertimbangkan untung dan rugi dari sudut pandang pribadinya. Manusia gemar bertransaksi dengan modus operandi memberi untuk menerima. Rumusnya adalah dengan modal sekecil-kecilnya dan harus memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Agama dan Kepentingan Penguasa
Politik dan agama selalu menjadi hal yang sensitif walaupun beberapa negara menolak kehadiran agama itu sendiri. Di Indonesia, agama merupakan ruh kehidupan sosial. Ia telah menjadi kebutuhan dasar yang bukan sekadar bicara ritual, tetapi juga bicara nilai-nilai yang harus dikonkretkan sehingga muncul tuntunan dalam kehidupan bernegara.
Dewasa ini, penggunaan dosis agama sebagai instrumen politik untuk memperoleh kekuasaan sangat marak sekali. Ia dijadikan senjata ampuh untuk menghancurkan melalui perbedaan keyakinan. Sebab, agama merupakan sesuatu yang sakral dan bersifat sangat privat yang menjadikan hal ini mudah untuk dipolitisir dengan isu yang sangat sensitif. Karena sensitifitasnya, menjadikan segala hal yang berkenaan dengannya terlihat menjadi lebih emosional, misal seperti kasus Ahok yang sempat viral dan menghebohkan, apakah akan terjadi lagi?
Lantas, langkah apa yang harus pemerintah ambil untuk menyikapi hal tersebut? Langkah baik yang harus diambil sebagai negara plural yaitu dengan bersikap tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan hak setiap warga negaranya dalam berpolitik. Maka dengan latar belakang ketakutan timbulnya perpecahan di lingkungan masyarakat, muncullah apa yang disebut dengan “sekularisme”, yaitu suatu prinsip untuk memisahkan antara urusan politik dan agama. Seperti halnya yang terjadi di Eropa, sekularisme digunakan untuk memisah doktrin gereja dan ilmu pengetahuan (Dolnicar et al., 1997).
Editor: Yahya