Bulan Puasa yang tak biasa
Rakyat kehilangan asa
Akibat kelicikan dan kecurangan penguasa….
Taraweh 25 Ramadhan 1441,
(Qosdus Sabil)
“Mengapa saya tidak diizinkan pulang [Jenderal]? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya hanya sebentar menemuimu untuk kunjungan ramah tamah, sebagaimana adat Jawa setelah bulan Puasa. Mereka yang muda pergi mendatangi rumah orang yang lebih sepuh untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang telah dilakukan [dalam tahun yang lewat]. Dalam hal ini engkau, Jenderal, adalah pihak yang lebih tua”.
“Tidak!” jawab De Kock, “tidak dimungkinkan lagi. Terserah Pangeran setuju atau tidak, saya ingin menuntaskan segala politik itu hari ini juga!” (Babad Dipanegara IV: 181).
Jauh sebelum Perundingan tersebut berlangsung, “Diponegoro pernah berkata bahwa pemerintah Belanda tidak akan mampu bertahan seperti ini terus dan jika ia dapat tetap bersembunyi barang setahun-dua tahun lagi, Belanda tidak bakal mampu membayar tentaranya” (Carey 2008:662).
Kesaksian De Kock sendiri memperkuat hal ini (De Kock, ‘Verslag’, 1830; Low dan De Klerck 1894-1909, V:14):
“Saya katakan padanya bahwa saya bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal (Van den Bosch) dan saya akan disalahkan jika tidak menyelesaikan secara cepat semua masalah penting ini. Biaya perang meningkat dan waktu memulangkan serdadu Belanda dan serdadu bantuan pribumi dari pulau-pulau lain sudah hampir lewat…”.
Ketika hal itu diterjemahkan untuk Diponegoro, Pangeran sangat menyesalkan bagaimana ia diperlakukan dengan berkata, ia datang ke Magelang dengan kehendak bebas, dan menurut hasil pembicaraan yang telah dilakukan dengan Kolonel Cleerens, ia seharusnya diberi kebebasan penuh untuk pergi dengan aman, jika tidak dicapai kesepakatan (Carey 2008:690).
***
“Anda tanya siapa pembesar [panggedhě] perang di Jawa, siapa lagi kalau bukan saya, Jenderal De Kock! Orang Islam tak pernah meninggalkan asalnya. Jika orang terlibat perang, tentu karena ada musuh. Orang tidak ribut dengan kawan sendiri. Tapi kamu, Jenderal, yang dari keinginan sendiri ingin memberikan keadilan. [Tetapi] siapa pernah mendengar ada kasus di mana salah satu pihak yang bertengkar bertindak sebagai hakim [jaksa]? Jika demikian situasinya, itu berarti Anda jahat [dursila]. Saya tidak takut mati. Dalam semua pertempuran saya selalu luput dari kematian. Sedangkan para pengikut saya, mereka sekedar melaksanakan perintah saya selama perang di Jawa dengan demikian tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Sekarang tak ada lagi yang tersisa (untuk saya) kecuali dibunuh (dan) saya tidak bermaksud menghindarinya. Tapi saya ingatkan kamu, kalau saya mati, bawalah jasadku kembali ke Jimatan (Imogiri) jadi satu dengan istriku [Raden Ayu Maduretno]. “Jenderal De Kock tak berani mengangkat matanya, sungguh sangat malu, sehingga ia hanya [duduk] menunduk.
Hendrik de Zeevarder (1820-1879), putra bungsu Raja Willem II (bertahta, 1840-1849), mengunjungi Diponegoro di Fort Rotterdam, Makassar pada 7 Maret 1837 dan mengakui bahwa Pangeran Diponegoro telah ditangkap dengan cara “dicurangi”.
—————
TAKDIR, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Peter Carey 2014.
—————
“Hari ini rakyat kita diperlakukan seperti perlakuan penjajah kepada Pangeran Diponegoro.
Seolah diajak berunding, bermusyawarah mencari perdamaian, tetapi kemudian justru tega mengkhianati dan berlaku licik. Pangeran Diponegoro dicurangi saat sedang “silaturahmi” dalam damai. Beliau ditangkap dan dipenjarakan dengan cara keji. Ironis sekali sekarang ini, ketika rakyat seolah dimintai pendapatnya, tetapi justru keluar UU No.1/2020 yang makin sarat dengan munculnya keserakahan khas penjajah. Ketika digugat, dengan enteng DPR menjawab silahkan ajukan gugatan ke MK. Ini adalah bentuk kepongahan mayoritas politisi Senayan. Nalar legislasi-nya benar-benar tidak jalan. Menyusun Undang-undang itu tidak boleh keburu nafsu. Proses pembahasan seharusnya dilakukan dengan transparan, sekaligus melalui standar ideal kelayakan sebuah peraturan. Mestinya cari kompromi, beraninya kok hanya melawan rakyat sendiri”, kata Qosdus menjelaskan.
“Dulu, hak-hak Pangeran Diponegoro dikebiri oleh penjajah. Tunjangan bulanan Pangeran dikorupsi. Tidak ada bedanya kini, ketika BBM yang harusnya bersubsidi untuk rakyat, tapi Rakyat harus bayar lebih mahal, bahkan dari harga internasional”.
“Dulu, hak-hak Pangeran Diponegoro sebagai Bangsawan Penggedě keraton Yogya diamputasi. Kini hak-hak rakyat untuk menerima subsidi semakin dikurangi. Sementara banyak fasilitas finansial diberikan kepada para pengusaha koneksi penguasa”.
“Dulu, penjajah Belanda tidak sanggup lagi biayai Perang Jawa melawan Diponegoro.
Kini, keuangan pemerintah tidak mampu biayai perang Covid-19″.
“MA sudah menolak kenaikan tarif BPJS. Tapi Presiden tetap memaksa tarif naik, melangkahi kewenangan Hakim MA. Ini hal yang dursila” urai Qosdus Sabil yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Bidang Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah 2010-2015.
“Pemerintah jangan berlaku seperti Penjajah. Tega terhadap rakyatnya yang makin menderita”. Ujar Qosdus, yang juga merupakan Presidium Nasional Aliansi Pencerah Indonesia (API.
———————————————————————————-
Apakah anda setuju ????
- Iuran BPJS dinaikkan lagi melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Padahal sebelumnya Mahkamah Agung ( MA) telah membatalkan kenaikan iuran lewat pembatalan Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Presiden bukannya mengindahkan keputusan MA tersebut tetapi malah membuat kembali Perpres untuk menaikkan Iuran BPJS. Perpres ini jelas semakin memberatkan dan menyengsarakan rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi.
- Di tengah penurunan harga minyak dunia yang sangat drastis, harga bbm khususnya premium, solar, dan pertalite yang semestinya disubsidi oleh negara, justru dijual di atas harga keekonomian sehingga rakyat Indonesia membeli harga bbm yang kemahalan. Hampir semua negara di dunia saat ini telah menurunkan harga bbm-nya, namun Indonesia tidak demikian. Akibatnya rakyat Indonesia justru dibebani oleh pengeluaran yang tidak selayaknya di tengah kesulitan ekonomi akibat wabah Covid-19. Rakyat bukannya disubsidi negara, malah sebaliknya diminta mensubsidi lewat pembelian bbm yang kemahalan.
- Pemerintah telah mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dan telah disetujui DPR menjadi Undang Undang. Undang-undang ini berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan keuangan negara (yang sebagian besar diperoleh melalui hutang) yang tidak terkendali dan penggunaan anggaran yang tidak sesuai tujuan dengan mengatasnamakan penanganan pandemi Covid-19.
Jika anda tidak setuju atas tiga (3) hal tersebut, mari gunakan hak anda sebagai warga negara Indonesia untuk menuntut Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA):
1. Tolak Kenaikan Iuran BPJS.
2. Turunkan Harga BBM.
3. Cabut UU No 1/2020.
melalui aksi:
KIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH SETENGAH TIANG MULAI TANGGAL 20 MEI 2020.
Silahkan sebarkan pesan ini sebagai bentuk kepedulian anda untuk Indonesia yang lebih baik.