Tafsir

Janganlah Sok Semuci-Suci

2 Mins read

Sikap sok suci, atau lebih populer lagi sering dikatakan sok semuci-suci, meski saya tidak berani mengatakan sudah setua umur manusia, setidaknya sudah ada sejak lama sekali. Lihat saja buktinya larangan bersikap “Sok semuci-suci” itu sudah masuk dan disebutkan dalam kitab suci Al-Quran. Ini berarti, setidaknya sejak 1440-an tahun yang lalu, sikap sok semuci-suci itu telah lama ada dan dipraktikkan oleh banyak orang, atau setidaknya oleh beberapa orang. Justru karena itulah Allah SWT menyampaikan larangan-Nya melalui wahyu-Nya di dalam kitab suci Al-Quran.

Mengaku Suci

Dalam Al-Quran Surat An-Najm ayat 32, Allah melarang kaum beriman bersikap sok suci, apalagi sok semuci-suci. Fa la tuzakku anfusakum ( فلا تزكوا أنفسكم), yang artinya: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci!” Sebab, lanjutnya, هو أعلم بمن اتقى, “Dia (Allah) lebih tahu siapa yang benar-benar memelihara diri dari kejahatan.”

Allah Maha Mengetahui apa yang tersurat dan apa yang tersirat, apa yang lahir dan apa yang batin, apa yang kita tampakkan dan apa yang kita sembunyikan, dan last but not least apa yang eksoterik dan apa yang esoterik! Tidak ada tempat dan kesempatan bersembunyi dari Allah Yang Maha Mengetahui.

Ayat ini sendiri semula berbicara tentang orang-orang yang mengerjakan kebaikan dan kemudian meningkatkan lagi kebaikan-kebaikannya dengan amalan-amalan yang lebih baik lagi (الذين أحسنوا بالحسنى). Nah, ciri dari orang-orang ini adalah “Mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Tuhanmu sungguh luas memberikan ampunan, dan Dia lebih tahu tentang kamu ketika Ia mengeluarkan kamu dari bumi, dan ketika kamu masih tersembunyi dalam rahim ibumu. Karenanya, janganlah kamu menganggap diri kamu suci. Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan.”

Baca Juga  Tafsir bi’l-Ma’tsur & bi’l-Ra’y: Penggolongan yang Ideologis!

Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya The Holy Quran: Text, Translation dan Commentery (1968) menerjemahkan frase فلا تزكوا أنفسكم  tersebut dengan kalimat berikut: Therefore justify not yourselves.  Dan kemudian Ali Audah menerjemahkan ke bahasa Indonesia dengan:  “Karenanya, janganlah kamu menganggap diri kamu suci.”

Harap dan Cemas

Yusuf Ali kemudian memberikan komentar atas potongan ayat tersebut dalam catatan no 5107 sebagai berikut: As Allah knows our inmost being, it is absurd for us to justify ourselves either by pretending that we are better than we are or by finding excuses for our conduct. We must offer ourselves unreserverdly such as we are: it is His Mercy and Grace that will cleanse us. If we try, out of love for Him, to guard againts evil, our striving is all that He ask for. 

Artinya, ini terjemahan Ali Audah lagi: “Karena Allah mengetahui lubuk hati kita, maka akan menggelikan sekali jika kita mau berlagak suci, baik dengan pura-pura bahwa kita lebih baik dari keadaan kita, atau dengan mencari-cari alasan buat perilaku kita. Kita harus mempersembahkan diri kita secara terbuka, seperti apa adanya. Kasih dan karunia-Nya juga yang akan membersihkan kita. Kalau kita berusaha demi cinta kepada-Nya, untuk menjauhi dosa, maka usaha kita itulah yang diminta-Nya.” 

Dalam kitab Tafsir Al-Imam Al-Ghazali halaman 301 dikatakan, “Jika kamu melakukan amal kebaikan maka janganlah sekali-kali kamu mengatakannya telah melakukannya”:  قال ابن جريج: معناه إذا عملت خيرا فلا تقل عملت (Lihat Tafsir al-Imam al-Ghazali, Jam’u wa taustiq wa taqdim Doktor Muhammad Raihani, Daru l-Salam, Fez, Al-Maghrib, 1439 H/2018, hal. 301). Maksudnya: jangan suka pamer dengan menceritakan amal kebaikan kepada orang lain.

Baca Juga  Hermeneutika: Cara Alternatif Memahami Al-Quran

Pasalnya, manusia itu tidak bisa memastikan apakah amal ibadahnya diterima oleh Allah, demikian juga dengan tobatnya. Manusia hanya bisa berdoa mudah-mudahan ibadah dan tobatnya diterima oleh-Nya serta mendapatkan ridha-Nya. Jadi, seorang mukmin selalu penuh dengan ‘sikap harap’ (raja’) dengan disertai perasaan optimisme, tetapi juga ada tersembul ‘perasaan cemas’ (khauf), yakni khawatir tertolak. Tentu bukan berarti pesimistis atas Maha Pemurah-Nya. Makanya di situ ada dimensi raja’: harapan atau optimisme.

***

Walhasil, manusia itu nisbi belaka. Maka jangan merasa amalnya sudah banyak, dan mengklaim dirinya bersih lagi suci karena merasa dosanya sudah diampuni semuanya. Singkatnya, jangan sok semuci-suci! Wong kita itu, sekali lagi, tidak tahu dengan pasti apakah amal-amal kebaikan kita diterima oleh Allah.

Pasalnya, bisa jadi amal kebaikan kita kurang ikhlas dan karena itu tidak diterima sebagai amal kebaikan. Mungkin saja niat kita beramal sekadar untuk pamer atau biar mendapatkan pujian dari orang alias riya’! Kita hanya bisa berharap dan berdoa saja: penuh harap, penuh cemas.

Wallahu a’lam

Editor: Nabhan

Related posts
Tafsir

QS al-Mu'minun Ayat 18: Tiga Watak Hujan

4 Mins read
Ramadhan 1446 kali ini dan Idul Fitri 1446 yang akan datang, masyarakat Muslim di wilayah Indonesia masih berada di musim penghujan. Jika…
Tafsir

Ayat-Ayat Al-Qur'an tentang Kebodohan

6 Mins read
Di antara kita kadang berbuat bodoh di dunia ini. Kebodohan ini sering kali terjadi bukan karena kita tidak berilmu, namun karena karakter…
Tafsir

Makna Ummi: Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?

3 Mins read
Nabi Muhammad adalah sosok yang membawa perubahan besar dalam sejarah peradaban manusia. Sebagai seorang Rasul terakhir, beliau menyampaikan wahyu yang kemudian menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *