Azaki Khoirudin
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM) berhasil melakukan riset yang kemudian dipublikasikan menjadi buku yang berjudul Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi. Dari sini kemudian PSKP-UGM mengadakan Seminar Internasional bertema ‘Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara Berkemajuan untuk Dunia’ di Balai Senat UGM, 25 Januari 2019.
Berdasarkan riset ini PSKP-UGM berencana untuk menominasikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama supaya meraih penghargaan Nobel Perdamaian. Karena kedua organisasi keagamaan ini dinilai berhasil menawarkan narasi dan aksi Islam damai di tengah wajah Islam yang selama ini diidentikkan dengan terorisme dan ekstremisme di mata dunia. Akibat pemaknaan Jihad fi Sabilillah sebagai legitimasi melakukan peperangan melawan orang kafir, tanpa konteks dan kontekstualisasi.
Jika kita mengulik Keputusan Muktamar Seabad Muhammadiyah (2010), Muhammadiyah telah menegaskan pandangannya, bahwa “jihad” bukanlah perjuangan dengan kekarasan.
“Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-Muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.” (Tanfidz Muktamar Seabad, 2010: 20).
Muhammadiyah telah menjadikan sekolah menjadi benteng moderasi dan rasionalisasi ajaran agama Islam. Jihad Muhammadiyah dilaksanakan melalui kerja-kerja produktif membangun peradaban dalam bidang pendidikan, ekonomi, filantropi, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini senada dengan tesis Alwi Shihab (1995) bahwa factor-faktor utama pendorong lahirnya Muhammadiyah, bukan semata karena ide-ide reformis Islam dari Timur Tengah awal abad ke-20 atau respons pada tradisi masyarakat Jawa. Tetapi ada faktor lain yang sangat penting yaitu penetrasi terhadap misi agama Kristen di Indonesia. Muhammadiyah tidak melawan Kristenisasi, malainkan menghadapi Kristenisasi dengan peradaban tandingan. Jika Kristen memiliki sekolah dan rumah sakit serta pelayanan sosial yang berkualitas, Muhammadiyah menghadapinya dengan melakukan kerja-kerja serupa untuk berlomba-lomba dalam menebar manfaat untuk kemanusiaan.
Lebih-lebih kalau menyimak “Pernyataan Pikiran Seabad Muhammadiyah”, di situ Muhammadiyah menegaskan pandangannya tentang Islam Berkemajuan sebagai Islam yang membawa perdamaian dan kebaikan.
“Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang mengelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.” (Tanfidz Muktamar Seabad, 2010: 15).
Moderatisme Muhammadiyah: Komitmen dan Pengalaman
Salah satu aspek penting pengalaman Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat adalah sikapnya dalam ranah politik. Meski kelahirannya sudah mendahului proklamasi kebangsaan, Muhammadiyah secara konsisten tidak pernah memiliki tujuan perjuangan politik yang arahnya adalah pembentukan negara Islam (khilafah Islamiyah). Muhammadiyah lebih memilih berjuang di ranah sosial dengan jalan kooperatif dengan pemerintahan Hindia-Belanda dan jalan moderat (wasatiyyah).
Pasca-kemerdekaan, Muhammadiyah juga tetap bergerak dalam arena sosial-keagamaan dengan menjaga pola hubungannya dengan negara dalam kerangka kemitraan kritis, yang dulu dinterpretasikan sebagai “menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik”. Kini di bawah kepemimpinan Haedar Nashir di saat masyarakat seolah terbelah menjadi dua kutub ekstrem antara “cebong” vs “kampret” atau “Islamis” vs “Ultranasionalis” Muhammadiyah konsisten menjadi “jembatan berbagai kelompok”, menjaga netralitas politik dan sikap moderat, bahkan tetap menjaga “hubungan yang baik dengan pemerintah”.
Dalam Muktamar ke-47 di Makassar 2015, Muhammadiyah memperjelas pandangan fikih politiknya dengan konsep “Negara Pencasila sebagai Darul Ahdi wasy-Syahadah”. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional (dar al-‘ahdi) yang mengikat seluruh komponen bangsa sekaligus bukti sebagai kekuatan perekat, pemersatu, dan pembangun bangsa (dar al-syahadah).
Secara kultural,Muhammadiyah secara institutional menawarkan pembaruan dalam menjawab dan menghadapi tantangan pluralisme. Pada tahun 2000, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) menerbitkan buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Tafsir ini penting untuk membuka cakrawala dan pemikiran warga Muhammadiyah dan umat Islam umumnya mengenai pluralisme, dialog antariman, koeksistensi damai, perkawinan antaragama, mengucapkan salam, dan murtad.
Untuk mendukung dan terus men-diseminasi-kan gagasan pluralisme di atas, Muhammadiyah pada 2002 di Bali, mulai memperkenalkan konsep “Dakwah Kultural”. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Muktamar 2005 di Malang menerima secara bulat “Dakwah Kultural” sebagai keputusan resmi organisasi. Dakwah Kultural pada hakikatnya adalah seruan universalitas Islam untuk kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh perbedaan agama, ras, suku, etnik, warna kulit, bahasa, dan gender. Melalui cara ini, lokalitas menjadi modal untuk membumikan Islam di bumi Nusantara dan bumi mana pun di dunia ini (Islam rahmatan li al-‘alamin).
Pada kepemimpinan Din Syamsuddin, selain dikenal nyaring menyuarakan “Jihad Konstitusi”, Muhammadiyah menunjukkan geliat keterlibatan dalam upaya-upaya peacebuilding, baik pada skala nasional maupun internasional. Melalui Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Muhammadiyah mengambil inisiatif dan peranan dalam proses perdamaian regional dan global. Din Syamsuddin aktif dan terpilih sebagai ketua umum Committee on Religion and Peace (IComRP), dan terlibat dalam Asian Conference on Religion and Peace (ACRP) dan World Conference on Religion and Peace (WCRP).
Pada pemerintahan Presiden Jokowi, Din Syamsuddin ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) yang kini digantikan oleh Syafiq A Mughni (Ketua PP Muhammadiyah). Lembaga ini menyelenggarakan Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasathiyyah Islam (HLS-WMS) selama tiga hari, yaitu 1-3 Mei 2018 di Bogor.
Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Islam Wasathiyah melahirkan Bogor Message. Ada tujuh poin dari Pesan Bogor tuntuk menegaskan kembali tentang makna Islam wasathiyah: 1) tawassuth, jalan tengah yang lurus, tidak ekstrem kanan dan kiri; 2) i’tidal, berlaku proporsional, adil, dan tanggung jawab; 3) tasamuh, toleran, mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan; 4) syuro, bersandar pada musyawarah untuk mencapai konsensus; 5) islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif untuk kebaikan bersama; 6) qudwah, melahirkan inisiatif yang mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia; dan terahir 7) muwathonah, mengakui Negara-bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Inilah watak Islam Indonesia yang sejati, yaitu Islam yang moderat, ramah, toleran, dan damai, bukan Islam radikal, konservatif dan ekstrem. Indonesia adalah Negara mayoritas muslim yang hidup di alam kelautan. Kebudayaan bahari malahirkan corak keislaman yang unik, yang tidak cocok dengan karakter Islam konservatif dan radikal. Gerakan radikal dan terorisme bukan dikembangkan oleh indigenous Muslim (muslim lokal).
Di sini Saya sependepat dengan artikel Ahmad Rizky M. Umar yang berjudul “Menggagas Fikih Perdamaian Muhammadiyah”. Tetapi saya lebih cenderung perlunya Muhammadiyah supaya merumuskan “Tafsir Tematik” tentang “Jihad”, bukan tentang “Terorisme”, sebagai wawasan keislaman yang menyatu dengan keindonesiaan dan kemanusiaan. Bila ulama klasik memaknai jihad sebagaimemerangi non-Muslim, maka jihad dalam konteks keindonesiaan adalah hidup berdampingan dengan penuh toleransi dan persahabatan.
Selain itu juga jihad-jihad produktif seperti Jihad Kedaulatan Pangan, Jihad Konstitusi, Jihad Literasi, Jihad Anti-Korupsi dll. Inilah yang disebut dengan Jihad Muhammadiyah: Dari Jihad Lil Muaradhah ke Jihad Lil Muwajahah .