Achmad Santoso*
Kemarin (15/4) saya iseng, tapi serius, bertanya kepada salah seorang kawan guru yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah. “Mas, apakah ada instruksi khusus bagi guru di Surabaya untuk secara masif berkampanye?” kata saya. “Kami (seluruh warga dan pengurus Muhammadiyah) dikumpulkan saja. Lalu disuruh mencoblos calon-calon tertentu. Gak sampai segitunya,” balas kawan saya.
“Gak sampai segitunya” adalah respons ketika saya menunjukkan bahwa ada sekolah yang mewajibkan seluruh penggawanya (baca: pendidik dan tenaga kependidikan) memasang foto profil media sosial dengan calon tertentu. Sebenarnya ada narasi-narasi lain di sela percakapan ringkas itu. Akan tetapi, rasanya tak perlu ditunjukkan semuanya. Lagi pula, dialog itu sudah mewakili apa yang saya maksud. Beberapa waktu kemudian saya bertanya dengan pertanyaan serupa kepada teman yang lain dan lekas saja dijawab singkat, “Nggak“.
Gairah Jihad Politik yang Berlebihan
Ya, gairah politik, atau bahasa galibnya jihad politik, Muhammadiyah di Jawa Timur sedang gencar-gencarnya dilakukan. Kebijakan jihad politik ini, menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid dalam tulisan Jihad Politik Hadang Politik Transaksional (Jawa Pos, 13/11/2018), lahir dalam konsolidasi nasional yang digelar Maret 2018. Pimpinan yang dikenal dekat dengan kader-kader Muhammadiyah, mulai tataran atas sampai akar rumput, ini melanjutkan, jihad politik dilakukan dengan mendorong kader-kadernya yang dinilai memiliki kapasitas dan integritas dalam politik untuk ikut berlaga dalam Pemilu 2018.
Ketika mengikuti pengajian Ahad pagi di Surabaya sekitar sebulan lalu, saya juga mendapati pimpinan Muhammadiyah setempat mengimbau warga persyarikatan untuk mengenalkan sekaligus memenangkan calon yang diusung Muhammadiyah, baik secara langsung maupun tidak. Yang mengikuti pengajian tersebut rata-rata warga sekolah. Calon yang diusung secara langsung itu direpresentasikan dalam diri Nadjib Hamid yang niat awalnya memang didorong banyak warga Muhammadiyah Jawa Timur untuk maju DPD. Saya cukup mengenal yang bersangkutan dan bolehlah dititeli sebagai “kader berkapasitas dan berintegritas”. Sebab, Nadjib Hamid juga sudah malang melintang di dunia Bawaslu Jatim (2003-2004) maupun KPU Jatim (2008-2014). Tulisan-tulisannya juga kerap menghiasi media-media ternama.
Secara tidak langsung berarti ikhtiar kader-kader Muhammadiyah yang nyaleg lewat partai (bukan hanya PAN, ini penting). Sebab, pimpinan pusat sudah menginstruksikan bahwa Muhammadiyah bersikap netral dan takkan berafiliasi dengan parpol mana pun. Saya hanya berpesan, dengan sedikit membaca kenyataan, jangan sampai para petinggi mendelegasikan kader-kader yang warga Muhammadiyah sendiri tak mampu mendeteksi rekam jejaknya. Mengamini orang itu sudah memiliki konsekuensi pertanggungjawaban di hadapan ilahi.
Jihad politik Muhammadiyah tak elok pula kalau sampai “berlebihan”. Yang saya maksud berlebihan itu salah satunya ya tadi: “kewajiban” berkedok instruksi dari pimpinan Muhammadiyah untuk memasang foto profil medsos dengan calon tertentu bagi warga sekolah. Fatsun-fatsun politik harus tetap dikedepankan. Sebab, tidak semua orang yang bekerja di Muhammadiyah mau “dikontrol” untuk urusan politik. Tidak sedikit di antara mereka yang ingin bekerja secara ikhlas saja, profesional, dan sebaik-baiknya untuk sekolah tempat ia mengais nafkah. Cukuplah imbauan saja, kalau perlu, tidak sampai berupa instruksi.
Saya berpendapat ini secara sadar, senantiasa hati-hati, dan tidak ditunggangi kepentingan tertentu. Jihad politik jangan sampai menenggelamkan jihad-jihad lain yang lebih fundamental dan mencerahkan: jihad ekonomi, jihad konstitusi, jihad literasi, dan jihad digital. Sebab, sejak lama saya berkeyakinan bahwa high politics tetap lebih baik dan bermartabat bagi persyarikatan ketimbang real politics. Dalam high politics, ormas Islam bersimbol matahari ini biasanya berijtihad di luar kekuasaan.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah kerap sukses memainkan peran di luar kekuasaan dengan kebijakan-kebijakannya. Itu dipertegas dalam Khitah Denpasar bahwa Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara memainkan real politics maupun high politics. Akan tetapi, seperti ditegaskan dalam buku Ideologi dan Strategi Muhammadiyah karangan Hamdan Hambali (2010), Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat (h. 153).
Mengapa Jihad Politik Lebih Heroik daripada  Jihad Literasi?
Rabu pekan lalu (10/4) saya mengikuti sebuah pertemuan penting di Yogyakarta. Acara itu merupakan launching patform Ibtimes.id dan temu penulis muda Muhammadiyah. Ibtimes, saya rasa, merupakan wadah penting bagi warga Muhammadiyah di dunia literasi, lebih tepatnya literasi digital. Menurut Mas Azaki Khoirudin, “sing mbaureksa” platform ini, kehadiran Ibtimes adalah untuk menawarkan ulasan-ulasan mendalam dan kritis tentang beragam hal, terlebih soal Islam dan Muhammadiyah. “Ingin jadi Tirto-nya Muhammadiyah,” kata Mas Azaki dalam sebuah perbincangan. Dengan begitu, menjadi semacam oase dunia literasi digital di tengah gemuruh politik yang kadang kelewat batas.
Entah kenapa, gema politik di Muhammadiyah belakangan lebih nyaring ketimbang seruan jihad literasi dan jihad lainnya. Terutama di Jawa Timur, wabilkhusus Surabaya. Di Jawa Timur, rasanya belum ada platform media yang bercita-cita mulia selayaknya Ibtimes. Memang sudah ada, misalnya, PWMU.CO atau Klikmu.co. Namun, sajiannya lebih banyak berupa kabar-kabar keseharian persyarikatan. Barangkali karena asal-usul pendiriannya memang begitu. Malah kalau ada undangan politik, semaraknya luar biasa.
Di ibu kota Provinsi Jawa Timur ini, seperti pernah saya tulis di Geotimes berjudul Jihad Politik, Muhammadiyah di Persimpangan Jalan, dalam 2–3 tahun belakangan sudah dua kali Muhammadiyah Surabaya mengundang tokoh gaek Muhammadiyah yang punya tendensi terang benderang pada politik praktis. Silakan Anda tafsirkan sendiri siapa yang saya maksud. Apakah berpolitik benar-benar amat berharga bagi Muhammadiyah selayaknya kehendak parpol-parpol itu ketimbang memasifkan jihad literasi?
Jihad literasi merupakan bagian dari keilmuan. Muhammadiyah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah juga membahas bagaimana seharusnya kehidupan warga persyarikatan dalam mengembangkan keilmuan dan teknologi. Jangankan keilmuan, seni budaya pun diatur. Pertama, setiap warga Muhammadiyah wajib untuk menguasai dan memiliki keunggulan dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana kehidupan yang penting untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kedua, setiap warga Muhammadiyah harus memiliki sifat-sifat ilmuan, yaitu kritis, terbuka menerima kebenaran dari mana pun datangnya, serta senantiasa menggunakan daya nalar.
Ketiga, kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian tidak terpisahkan dengan iman dan amal salih yang menunjukkan derajat kaum muslimin dan membentuk pribadi ulul albab. Keempat, setiap warga Muhammadiyah dengan ilmunya wajib untuk mengajarkan kepada masyarakat, memberikan peringatan, memanfaatkan untuk kemaslahatan, serta mencerahkan kehidupan sebagai wujud dakwah, jihad, dan ibadah. Kelima, menggairahkan dan menggembirakan gerakan mencari ilmu pengetahuan sebagai sarana penting untuk membangun peradaban Islam. Dalam kegiatan ini termasuk tradisi menyemarakkan tradisi membaca.
Lima pedoman di atas merupakan dasar pijakan bahwa jihad literasi dan digital di era kiwari ini merupakan hal lumrah belaka yang harus dilakukan warga Muhammadiyah. Literasi mewakili keilmuan dan digital merepresentasikan teknologi. Dengan masih rendahnya budaya literasi di Indonesia, sampai-sampai menggelar lapak buku saja diusir, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar berkewajiban untuk turut lebih mengintensifkan budaya baca tulis. Muhammadiyah sudah membudayakan itu, tetapi perlu lebih masif dan terstruktur.
Iqbal Aji Daryono, yang menjadi pembicara pada pertemuan di Yogyakarta itu, menyatakan bahwa Muhammadiyah punya peluang yang cukup besar untuk bereksistensi di dunia literasi digital. Akan tetapi, ibarat sebuah pertempuran, kita memiliki peluru yang banyak. Sayang, penembaknya kurang. Jadi, konten digitalnya melimpah ruah, tetapi pasukan medsosnya sedikit dan tidak terkontrol. Itulah pekerjaan rumah (PR) bersama yang patut direnungkan, kemudian dicarikan jalan keluar.
Terakhir, dengan segala kerendahan hati saya bersikap bahwa ketidakberhasilan (kader-kader) Muhammadiyah di bidang politik masih lebih baik daripada ketidakberdayaan kita di bidang literasi dan keilmuan!
* Editor Jawa Pos dan aktivis muda Muhammadiyah Jawa Timur