Setiap Muslim adalah manusia-manusia yang paling rajin membaca dan berwawasan luas. Seharusnya begitu. Tapi, kenyataan bisa berkata lain. Kalimat pertama tadi adalah gambaran ideal bagi seorang Muslim, sebab, agama Islam adalah agama yang dipenuhi dengan ajaran membaca, menuntut ilmu, melakukan penelitian, dan memperluas cakrawala.
Jika kita peduli pada nasib peradaban yang dibangun oleh umat Islam, maka pertama-tama, kita harus bisa menjelaskan mengapa ada kesenjangan antara gambaran ideal manusia Muslim, dengan kondisinya saat ini.
Islam Sebagai Peradaban Ilmu
Di antara peneliti, ada yang punya imajinasi menarik, bahwa sebenarnya, yang diidealkan dalam sebuah ajaran normatif adalah utopia yang mustahil diwujudkan. Sayangnya, Islam bukan sekadar ajaran normatif. Menurut Nurcholish Madjid, Islam juga sekaligus adalah peradaban historis. Dan, secara historis, kita pernah sukses menjadi pusat kegiatan ilmiah dunia.
Artinya, gambaran wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, bahwa orang-orang beriman adalah para penuntut ilmu yang rajin, bukan sekadar utopia. Meski begitu, tetap ada indikasi bahwa kini kita tidak cukup bertanggung jawab dalam merealisasikan apa yang wahyu inginkan.
Sepanjang sejarah, para ilmuwan Muslim berusaha mewujudkan intisari wahyu bahwa Islam adalah agama ilmu pengetahuan, kedamaian, dan persaudaraan. Tapi, usaha itu ternyata belum selesai. Hari ini, semua intisari itu masih perlu diwujudkan kembali.
Jika Anda adalah seorang Muslim, maka Anda bisa membantu melanjutkan usaha para ilmuwan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali dalam mewujudkan visi Al-Qur’an dan sunah Nabi dalam ilmu pengetahuan.
Caranya bisa beragam. Tapi, tentu ada cara atau metode yang esensial, yang berada dalam rahim semangat menuntut ilmu tersebut. Ia sangat esensial namun sederhana. Ia adalah membaca.
Mungkin salah satu alasan betapa rendahnya minat membaca di masyarakat Muslim, seperti di negeri kita misalnya, adalah karena kita terlalu sibuk untuk membaca. Tapi, nanti dulu. Seorang Muslim sangat jarang sekali mengeluh bahwa ia terlalu sibuk untuk shalat atau berdoa. Kita harus meragukan asumsi “terlalu sibuk” ini.
Tampaknya, yang perlu kita curigai adalah kita tidak merasa butuh untuk membaca, sehingga kita mau capek-capek membaca. Jika membaca saja sudah malas, kita perlu ragu bahwa kita mampu melanjutkan kiprah para ilmuwan besar tadi.
Bukan Pedang, Tapi Pena
Peradaban Islam, terutama periode formatifnya, pada abad ke-8 hingga abad ke-12 masehi, adalah masa ketika ilmu-ilmu dipelajari, disusun, dan dikodifikasi, sehingga ia mudah disebarluaskan ke seluruh dunia.
Ada jalan evolusi sehingga dua sumber pamungkas, Al-Qur’an dan hadis Nabi, kemudian dikembangkan dalam format-format ilmu sharaf, nahwu, kalam, fikih, tafsir, filsafat, dan tasawuf.
Jalan evolusi itu berlangsung tidak singkat, berabad-abad, dan melibatkan banyak ilmuwan, pengusaha, dan penguasa. Hari-hari tersebut menjadi masa paling aktif dari umat Islam, bahkan dari umat manusia, di Abad Pertengahan, dalam mengolah dan mengelola kegiatan ilmiah.
Sebagian sarjana modern keliru menangkap spirit peradaban Islam, dengan menyebutnya sebagai agama pedang. Para peneliti sejarah, harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari rasa curiga bahwa Islam adalah agama pedang.
Jika memang Anda lebih suka jika Islam itu identik dengan kekerasan, maka begitulah kenyataan yang akan Anda temukan. Dalam teori kuantum, seringkali kenyataan diciptakan oleh persepsi pengamat.
***
Dan sebaliknya, jika kita berusaha tenang, obyektif, dan sabar, maka kita bisa melihat secara lebih proporsional, bahwa alih-alih sebuah agama pedang, Islam adalah agama pena. Wahyu yang didengar Nabi Muhammad adalah seputar pena (qalam), membaca (iqra), ilmu, penelitian (tadabbur), kerja sama (ta’awun), dan persaudaraan (ukhuwwah).
Dengan meneliti abad formatif Islam, Anda bisa menemukan satu bukti betapa serius dan majunya dunia Islam dalam ilmu pengetahuan. Bukti itu adalah kemunculan prinsip integrasi ilmu. Artinya, semua ilmu yang ada dipelajari, disusun, dan diintegrasikan. Untuk apa? Untuk membuatnya mampu menciptakan pemahaman menyeluruh dari realitas yang ada.
Al-Farabi adalah yang pertama menyusun integrasi ilmu pengetahuan tersebut. Dalam Ihsha al-Ulum, Al-Farabi menjabarkan susunan dan klasifikasi ilmu-ilmu, epistemologinya, serta bagaimana ia bisa menciptakan seorang manusia paripurna.
Menurut dia, logika, matematika, bahasa, fisika, biologi, kedokteran, kosmologi, metafisika, fikih, kalam, ekonomi, dan politik, adalah rangkaian ilmu yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh sebuah peradaban untuk mencapai tujuannya. Itu adalah pemikiran Al-Farabi pada abad ke-9 masehi, dan berhasil mengantar peradaban Islam kepada puncaknya.
Tujuan Menuntut Ilmu
Orientasi seorang Muslim dalam menuntut ilmu adalah memperoleh kebahagiaan dan menciptakan maslahat dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Menurut Ibn Sina, dalam kitab Danisyname-i Ala’i, dalam Islam ilmu dicari dan dipelajari agar kita mampu memperoleh kebahagiaan dan keselamatan tersebut (al-sa’adat wa al-najat fi al-darayn).
Tapi, jangan Anda kira itu semua gampang dan mudah. Menurut Nabi Muhammad, jihad sebenarnya bukan di medan perang, tapi menguasai hawa nafsu. Dan sifat bebal nafsu yang harus ditaklukkan adalah kebodohannya, kata Al-Ghazali dalam Kimya-i Sa’adat.
Sebagai seorang lulusan pesantren, Anda dan saya pasti sangat mengerti, bahwa yang Ibn Sina katakan mengenai tujuan menuntut ilmu tersebut telah menjadi tradisi yang sangat hidup di dunia pesantren.
Kita, di pesantren, terbiasa memulai sebuah kitab, dengan terlebih dahulu mencatat, merenungkan, dan memahami tujuan (ghayah) dari disiplin ilmu (mawdhu) yang dikandung semua kitab kuning.
Misalnya, kitab Taqrib yang mawdhu-nya adalah ilmu fikih, atau kitab Isaguji yang mawdhu-nya adalah ilmu logika. Semua disiplin ilmu tersebut, pada akhirnya, bermuara pada satu ghayah, yaitu, al-sa’adah wa al-najat fi al-darayn.
Sudahkah Kita Mengerti?
Pertanyaannya sekarang adalah: Sudahkan kita mengerti bahwa Islam adalah agama ilmu, agama pena, agama buku, yang mendorong umatnya untuk menjadi pembaca yang lahap?
Tanpa etos ilmu, tidak ada peradaban Islam, begitulah sejarah merekamnya. Atau, apakah Anda lebih senang jika Islam memang dianggap agama pedang? Semoga tidak.
Salah satu yang hilang dari dunia Islam hari ini adalah etos menuntut ilmunya. Peneliti peradaban Islam seperti Ali Allawi, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif, jika Anda membaca buku-buku mereka, sampai pada kesimpulan bahwa tanpa revitalisasi etos keilmuan di tubuh umat Islam, maka kita masih akan berhadapan dengan ekspresi intoleransi, antikemajuan, dan eksklusivitas masyarakat Muslim.
Tesis mereka bukan tanpa alasan. Tom Nicholson, dalam bukunya The Death of Expertise (2017), menemukan adanya hubungan antara melemahnya penghargaan pada dunia ilmu, dengan memudarnya ikatan-ikatan sosial dan kebangsaan.
Dunia hari ini cenderung dipenuhi orang-orang kurang pandai, tapi merasa setara dengan para pakar, dan karenanya merasa berhak untuk melawan argumentasi mereka.
Kita seharusnya tidak begitu. Kita tidak akan berhenti belajar, membaca, meneliti, dan tetap rendah hati. Menurut Nicholson, hari ini, kita bukan hanya kurang membaca dan berwawasan; tapi justru bangga dengan itu semua.
Editor: Yahya FR