Salman Sumpur.
Adakah di antara pembaca yang mengenal nama di atas? Selain warga Muhammadiyah yang berlangganan majalah Suara Muhammadiyah di tahun 1960an, mungkin sedikit saja orang yang tahu dengan nama tersebut.
Itu adalah nom de plume (nama pena) dari Ahmad Syafii Maarif. Dewasa ini, Profesor Emeritus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), Ahmad Syafii Maarif, adalah salah seorang cendekiawan Muslim dan tokoh terkemuka Indonesia yang kerap diwawancara oleh para jurnalis dari berbagai media, cetak maupun audiovisual.
Para wartawan bertanya kepada sosok yang akrab dipanggil Buya Syafii ini tentang segala rupa permasalahan bangsa, mulai dari soal agama, keadilan sosial, korupsi, toleransi, pluralisme, politik Indonesia mutakhir, hingga tentang kondisi umat Islam di dalam perspektif global. Jawaban-jawaban Buya mencerminkan keluasan pengetahuan dan pengalaman hidupnya, yang melintasi turun-naiknya kehidupan di zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan pemerintahan-pemerintahan di masa Indonesia merdeka, dari era Orde Lama, Orde Baru hingga pasca-reformasi.
Tapi, barangkali banyak yang belum tahu bahwa puluhan tahun lalu, Buya Syafii yang sama sebenarnya juga berprofesi sebagaimana profesi mereka yang kini mewawancarainya: jurnalis.
***
Di masa mudanya, Syafii Maarif pernah menjadi muballigh Muhammadiyah di Lombok. Ia lalu menyelesaikan kuliahnya di Universitas Cokroaminoto dan IKIP Yogyakarta (kini: UNY). Masa kuliahnya di IKIP ini amat krusial. Di sela waktu kuliahnya, ia bekerja sebagai korektor di majalah resmi terbitan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah. Dari korektor, ia lalu naik pangkat menjadi anggota dewan redaksi majalah yang sama.
Sementara itu, kesibukannya di dunia jurnalisme tidak menghalangi cita-citanya untuk bersekolah lebih tinggi lagi. Gelar master diperolehnya dari Departemen Sejarah Universitas Ohio sementara disertasi Ph.D.-nya ia pertahankan di Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat Universitas Chicago (1983). Kembali ke Yogyakarta, ia tetap aktif di Muhammadiyah, sibuk mengajar di IKIP Yogyakarta, plus melanjutkan posisinya sebagai redaktur Suara Muhammadiyah
Syafii mulai resmi terdaftar sebagai anggota dewan redaksi Suara Muhammadiyah sejak Juli 1966. Bersamanya ada anggota redaksi lain, yakni A. Bastari Amin dan Mohammad Diponegoro (seorang cerpenis produktif yang pada era 1960an dikenal publik seantero Jawa karena dramanya yang bertajuk Iblis). Di masa itu, ia dipanggil oleh rekan-rekan wartawan sebagai “Bung Syafii”.
***
Gaya bahasa jurnalisme Bung Syafii sangat kental dengan nuansa bahasa Minangkabau, sebagaimana tampak dalam pilihan kata-katanya. Sebagai anak muda perantau dari Minangkabau yang baru sekitar satu dekade menginjakkan kaki di tanah Jawa, tampaknya ingatannya tentang kampung halaman masih kuat.
Bagi Syafii, menjadi jurnalis tak hanya berarti menjadi perantara, sebagai pembawa berita dari narasumber ke pembaca semata. Tulisan-tulisannya tentang peristiwa mutakhir kerap dilandasinya dengan perspektif yang ia dapat dari buku-buku karangan sarjana dalam dan luar negeri.
Beberapa buku bacaan yang pernah ia pakai dalam karya jurnalistiknya mencerminkan keinginannya untuk mengetahui lapis demi lapis sejarah Indonesia dan masa lalu Islam, seperti buku Mohammad Ali, Perdjoangan Feodal Indonesia (Bandung: Ganaco, 1962), buku W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaysia Compiled from Chinese Sources (Jakarta: Bhratara, 1960), dan buku Ernest Jaeckh yang diterbitkan oleh Cornell University Press tahun 1952, Background of the Middle East.
Bung Syafii menulis berbagai laporan jurnalistik di masa-masa kritis Indonesia, termasuk tak lama sesudah pecahnya pemberontakan Gerakan 30 September. Dalam beberapa tulisannya ia tak hanya melaporkan situasi politik terkini di Indonesia. Ia juga mengemukakan kritiknya pada kekuasaan Soekarno dan dominasi pihak luar negeri, dalam hal ini Republik Rakyat Cina (RRC), pada politik Indonesia. Artikel-artikelnya banyak menggunakan buku-buku sejarah, dan ini merefleksikan gagasannya tentang masa kini sebagai keberlanjutan masa lalu dan bahwa dari masa lalu orang bisa belajar untuk menghadapi masalah serupa di masa kini.
***
Beberapa di antara buah karangan jurnalis Syafii di Suara Muhammadiyah bisa disebut di sini. Pertama, “Kepentingan sedjarah bagi Muslim”, di Suara Muhammadiyah No. 4-5, Th. 38, Februari-Maret 1966. Di sana Bung Syafii mengkritik sikap sebagian umat Islam yang lebih memilih menangisi zaman kejayaannya di masa lalu yang kini telah hilang alih-alih menggunakan masa lalu itu sebagai contoh untuk kembali membuktikan bahwa Islam dapat membawa kemajuan pada dunia. Persoalan lain yang menurutnya harus diatasi dunia Islam di era 1960an itu (dan tampaknya masih relevan hingga kini) adalah sektarianisme dan kurangnya penghargaan pada ilmu pengetahuan.
Kedua, “Antara B.K. dan Gadjah Mada: Dua Situasi Sedjarah jg Jauh Berbeda”, yang diterbitkan di Suara Muhammadiyah No. 2 Th. 47, Januari 1967. Di sini Syafii mengkritik suatu pandangan yang muncul pada masa itu yang menyamakan kejatuhan Presiden Soekarno seperti wafatnya patih Majapahit, Gajah Mada, pada tahun 1364, yang mendorong satu demi satu daerah bawahan Majapahit memberontak dan melepaskan diri.
Ada sementara kalangan yang khawatir bila sang presiden jatuh, maka Indonesia akan runtuh. Bagi Syafii, Indonesia di tahun 1960an itu tidaklah bercorak feodal seperti halnya Majapahit ataupun hanya bisa bergantung pada satu sosok tunggal. Oleh sebab itu, Syafii percaya bahwa bila Soekarno mundur, Indonesia tidak akan binasa karena regenerasi kepemimpinan tetap akan bisa berjalan dengan banyaknya tokoh-tokoh nasional yang potensial untuk menggantikannya.
***
Laporan-laporan jurnalistik Bung Syafii yang lain memusatkan perhatian pada perkembangan persyarikatan Muhammadiyah, khususnya di Jawa dan Sumatra. Misalnya, laporan bertajuk “Masjid Raja Muhammadijah di Padang”, dalam Suara Muhammadiyah No. 23-24, Th. 46 (1966). Sang juru warta ini turun ke lapangan guna mengumpulkan informasi. Di Padang ia mewawancarai para pengurus Masjid Raya Muhammadiyah, sebuah masjid yang sedang dibangun di salah satu titik tersibuk Padang, Jl. Bundo Kanduang 1.
Syafii menarasikan tentang perkembangan pembangunan masjid ini, tipologi jamaahnya yang sebagian besar adalah pedagang di Pasar Raya Padang (yang menurut Syafii “pada umumnja berdjiwa bebas, seperti halnja kelas menengah di Eropa pada masa dulu”), ceramah Jumat di masjid ini yang “pendek2, tapi padat dan bernas” sehingga, tulis Bung Syafii dengan satire, “tidak ada djama’ah jang mendengkur karena ngantuk lantaran chotbah bertele2 sebagaimana kita temui pada banjak masdjid dilain tempat”.
Di akhir tulisannya, Bung Syafii menyerukan kepada para dermawan untuk turut membantu pembangunan masjid ini. Belakangan, masjid ini berhasil dibangun dengan arsitektur yang rupawan dan aktivitas yang senantiasa hidup; berita yang ditulis Bung Syafii di tahun 1966 itu tentu memiliki peran pula di sini. Kini masjid itu, yang sempat terkena gempa pada tahun 1975 dan 2009, dikenal sebagai Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumatra Barat.
***
Ketika berada di Yogyakarta, Bung Syafii diberi tugas untuk melaporkan pengajian-pengajian Muhammadiyah di Suara Muhammadiyah. Beberapa laporan yang ditulis Syafii ialah: 1) pengajian pada malam Selasa tanggal 5 Mei 1970, yang menghadirkan Moh. Aman H. Hobohm, seorang mualaf asal Jerman yang menjabat sebagai pengurus Yayasan Goethe di Bandung dan ulama Muhammadiyah asal Minangkabau, H.A. Malik Ahmad, dan 2) pengajian pada malam Selasa tanggal 29 Maret 1971, dengan dua pembicara utama, yakni Ketua PP Muhammadiyah KH AR Fachruddin dan ahli tafsir KH Bakir Saleh.
Selama di Yogyakarta ini, jurnalis Syafii mewawancarai sejumlah tokoh penting Muhammadiyah seperti KH AR Fachruddin dan Buya Hamka. Dari wawancara dengan Hamka pada 7 Januari 1969 itu, Syafii muda belajar tentang bagaimana sebaiknya Muhammadiyah memosisikan dirinya di zaman Orde Baru yang baru saja lahir dan perihal kriteria ideal orang untuk orang yang akan memimpin Muhammadiyah (seorang yang ikhlas dan tidak dikuasai oleh ambisi, terang Hamka). Hamka mungkin tidak pernah menduga bahwa wartawan yang bertanya padanya tentang kepemimpinan dalam Muhammadiyah itu 29 tahun kemudian berhasil menjadi pemimpin tertinggi di Muhammadiyah.
Wawancara Bung Syafii dengan Buya Hamka ini tampak seperti sebuah transfer pengetahuan dan kebijaksanaan dari seorang tokoh Muhammadiyah yang telah puluhan tahun berkhidmat di Muhammadiyah pada seorang anak muda yang kelak juga dipanggil sebagai “Buya”, suatu gelar kehormatan untuk seorang ulama di Minangkabau.
Dalam sebuah tulisannya, Haedar Nashir, kini Ketua PP Muhammadiyah, menggambarkan Syafii Maarif sebagai “tokoh yang seolah jelmaan Buya Hamka tetapi dengan horizon akademik yang melampaui” dan sosok yang ”seolah perpaduan antara Mohammad Hatta dan Hamka”.
***
Sebagai wartawan Suara Muhammadiyah, Bung Syafii punya tugas lain yang jelas memberinya bekal untuk bisa ke Amerika Serikat serta untuk mengakses bahan bacaan penting dalam dunia akademik saat itu: menerjemahkan teks bahasa Inggris dan membuat ringkasannya di majalah Suara Muhammadiyah.
Pekerjaan yang membuat bahasa Inggrisnya kian lancar ini juga memudahkannya untuk membaca majalah-majalah Islam berbahasa Inggris yang terbit di luar negeri, seperti The Muslim World yang terbit di Pakistan. Di masa ketika internet belum lahir, membaca buku dan majalah dari luar negeri adalah suatu cara penting untuk mendapat informasi mutakhir tentang apa yang terjadi di belahan bumi lain. Informasi itu, misalnya tentang krisis di dunia Islam, lalu didiseminasikan Syafii ke pembaca Indonesia melalui tulisannya di Suara Muhammadiyah.
Masa-masa Syafii Maarif sebagai wartawan Suara Muhammadiyah (plus mahasiswa IKIP Yogyakarta) itu tidak diragukan lagi adalah masa yang sangat krusial dalam membentuk Syafii yang dikenal publik sekarang: Syafii sebagai seorang pemikir, penulis prolifik, sejarawan, dan intelektual publik. Sulit membayangkan ia bisa mendapatkan kesempatan untuk kuliah pascasarjana ke Amerika Serikat tanpa bacaan-bacaan berat yang ia baca serta tulisan-tulisan yang ia hasilkan selama menjadi wartawan Suara Muhammadiyah.
***
Profesi Syafii sebagai jurnalis di Suara Muhammadiyah memberinya kesempatan untuk tidak hanya melihat detail pada suatu fenomena sosial sebagaimana layaknya wartawan pada umumnya. Profesi sebagai jurnalis dilengkapinya dengan posisi sebagai intelektual dari kampus, dan ini memungkinkannya untuk juga memahami ide-ide besar yang berkaitan dengan pergerakan Islam modernis di Indonesia, persoalan mutakhir di Indonesia serta konstelasi politik global.
Dengan demikian, usaha memahami sejarah pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan perkembangan modernisme Islam di Indonesia akan lebih lengkap apabila mempertimbangkan pula kiprah dan karya Bung Syafii sebagai seorang jurnalis muda di Suara Muhammadiyah.