Feature

Ka’bah, Dulu Lembah Bakkah, Kini Bait Al-‘Athiiq

4 Mins read

Pernahkah anda membayangkan bahwa pada suatu masa—ribuan tahun Sebelum Masehi (SM)—kota megapolitan Makkah dan Baitullah yang bernama Ka’bah nyaris tak dikenal, tidak dianggap sebagai kota suci dengan bangunan yang mulia karena terletak di lembah sempit nan gersang? Dalam al-Qur’an, sekurang-kurangnya pada surat Ali Imran ayat 96 dan Al-Hajj ayat 29, merekam fakta historis keterasingan wilayah dan bangunan suci yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia ini dengan sebutan “Bakkah” dan “Bait al-‘Athiiq.”       

Bakkah

Dalam surat Ali Imran ayat 96 disebutkan, “Sesungguhnya rumah pertama kali dibangun untuk (tempat beribadah) adalah Baitullah di Bakkah yang diberkati dan dijadikan petunjuk bagi semua manusia.” Disebutkan secara eksplisit dalam ayat tersebut kata “Bakkah” untuk menyebutkan nama suatu tempat atau kawasan.

Dalam konteks inilah, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam (as) beserta Siti Hajar dan Ismail dari Palestina ke arah tenggara tanpa tujuan pasti. Sepanjang perjalanan, mereka melewati jalur yang oleh para sejarawan disebut sebagai “Rute Wewangian” (Incense Route)—jalur purba yang biasa digunakan oleh para kafilah dagang. Disebut Rute Wewangian karena para pedagang minyak wangi dan dupa sering melewati jalur ini dari Semenanjung Arab ke negara-negara di kawasan Laut Tengah. Setelah Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar dan Ismail menempuh perjalanan 700 mil atau sejauh 1.200 kilometer, sampailah mereka di sebuah lembah tandus, letaknya cukup sempit, di sekelilingnya diapit pegunungan (Sirat). Lembah sempit inilah yang dikenal dengan nama Bakkah (Jerald F. Dirks, 2006: 127).

Silang pendapat di antara ahli tafsir dan pakar linguistik seputar makna ”Bakkah” dan ”Makkah” yang ditujukan untuk lembah yang diapit di antara beberapa puncak pegunungan Sirat (Jabal Ajyad 410 m, Jabal Abu Qubais 375 m, Jabal Qu’ainq’an 431 m, Jabal Hira’ 640 m, dan Jabal Thair 766 m).

***

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa kata ”Bakkah” berasal dari kata kerja ”bakka-yabukku” yang berarti ”patah tulang leher akibat jatuh dari ketinggian” yang secara otomatis menyebabkan seseorang meninggal dunia. Pendapat ini berasal dari keyakinan awam (umum) bahwa di tempat tersebut terdapat bangunan suci yang diyakini telah dilindungi oleh kekuatan kasat mata, sehingga siapa saja yang berniat buruk menghancurkan bangunan tersebut akan binasa. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, orang Arab sering mengubah huruf ”ba” dengan ”mim” untuk mempermudah pengucapannya. Dalam hal ini, perubahan dalam pengucapan kata ”Bakkah” menjadi ”Makkah” sebagai tradisi linguistik bangsa Arab yang bertahan sampai sekarang (Baca ”Makkah dan Bakkah” https://ihram.republika.co.id/berita/p0frbv396/makkah-dan-bakkah, diakses 31 Mei 2023).

Baca Juga  Perkembangan Ilmu Nahwu, Era Klasik Sampai Modern

Adapun menurut pakar linguistik dan sejarawan, istilah ”Bakkah” berasal dari kata al-bakk yang berarti ”sempit” atau ”menghimpit.” Sering juga digunakan untuk menyebut gejala populasi yang padat. Sejarawan Jerald F. Dirks (2006: 128) menyebut kata “Bakkah” sebagai nama sebuah kawasan yang dinilai terlalu sempit.

Beberapa sejarawan juga berpendapat bahwa kata Bakkah lebih tepat untuk menyebut sebuah lembah yang hanya cocok ditumbuhi pohon balsam. Karena memang di lembah Bakkah, di samping letaknya sangat sempit, tanahnya hanya cocok ditumbuhi jenis pohon balsam.

Dalam konteks perubahan pengucapan ”Bakkah” menjadi ”Makkah,” memang setiap bahasa memiliki struktur dan logikanya tersendiri. Dan wilayah ini arbitrer—dalam teori linguistik disebutkan bahwa setiap bahasa itu arbitrer sesuai dengan alam pikiran pemilik bahasa—sehingga perubahan pengucapan ”Bakkah” menjadi ”Makkah” adalah sesuai dengan alam pikiran bangsa Arab sendiri (orang Arab sulit mengucapkan ”ba” pada awal kata sehingga diganti ”mim”).   

Bait al-‘Athiiq

Di lembah Bakkah, Nabi Ibrahim dan Hajar beserta putranya, Ismail, menghentikan perjalanan yang sangat melelahkan. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua bulan, Nabi Ibrahim memutuskan untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah tandus yang cukup panas tersebut.

Di kawasan ini, suhu udara dapat mencapai 45 derajat celcius pada musim panas. Curah hujan di lembah ini juga sangat rendah, hanya sekitar 5 inci sepanjang tahun. Pada saat kedatangan Nabi Ibrahim dan Hajar beserta putranya tidak ada kampung atau permukiman penduduk di lembah ini. Artinya, tidak ada bangunan tempat tinggal satu pun yang akan ditempati oleh Hajar dan putranya, apalagi rumah ibadah jelas tidak ada sama sekali. Akan tetapi, dalam literatur-literatur keislaman tentang kisah Siti Hajar dan Nabi Ismail, setelah beberapa lama ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, muncul mukjizat ditemukan mata air Zam-zam.

Baca Juga  Dekonstruksi Islam Arkoun: Kritik Keras Atas Ortodoksi Islam

Menurut Jerald F. Dirsk, dengan ditemukannya mata air Zam-zam, Hajar dan Ismail dapat melangsungkan kehidupan di area yang gersang dan tandus ini. Arti penemuan mata air ini tidak sekedar mukjizat yang menguatkan keimanan manusia, tetapi berdampak pada kehidupan perekonomian keluarga Siti Hajar dan putranya. Sebab, tidak beberapa lama, kedatangan kafilah dari Suku Jurhum (Arab Qathan) turut meramaikan kawasan ini.

Mata air Zam-zam tidak hanya digunakan untuk kebutuhan minum, tetapi juga untuk mengolah lahan pertanian. Orang-orang dari Suku Jurhum mulai menanam pohon kurma dan beberapa tanaman yang cocok di kawasan ini.

***

Pada sekitar tahun 2067 SM, Nabi Ibrahim (kira-kira berusia 99 tahun) menjenguk putra dan istrinya untuk pertama kalinya. Pada kesempatan ini, Nabi Ibrahim mendapati lembah Bakkah sudah hampir menjadi sebuah kota kecil. Orang-orang dari Suku Jurhum sudah banyak sehingga kawasan lembah Bakkah berubah menjadi perkampungan yang ramai.

Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks, pada usia antara 108 hingga 137 tahun, Nabi Ibrahim bersama putra tertuanya, Ismail, mendapat perintah supaya membangun rumah ibadah. Berbagai persiapan telah dimulai, namun Nabi Ibrahim menunggu perintah Allah SWT untuk menentukan letak bangunan suci yang akan menjadi kiblat peribadatan seluruh umat manusia itu. Konon, Nabi Ibrahim melihat tanah yang sedikit naik di dekat sumur Zam-zam, sehingga atas petunjuk dan keyakinannya, di tempat itulah dibangun rumah peribadatan pertama di muka bumi ini (QS. Ali Imran: 96).

Bangunan suci berbentuk kubus berukuran 12 x 10 x 15 meter. Peristiwa ini tidak diketahui persis kapan terjadinya. Namun berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks, sewaktu pembangunan Ka’bah, Nabi Ibrahim berusia kira-kira 108 atau 137 tahun. Selesai membangun bangunan suci tersebut Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pun tidak memberikan nama. Karena bentuknya seperti kubus (persegi empat), alam pikiran dan tradisi bangsa Arab menyebutnya dengan istilah “Ka’bah” (bangunan persegi empat).

Baca Juga  Habiskan Makanan, Hargai Pemberian Tuhan

***

Peristiwa pembangunan Ka’bah ini, berdasarkan penelitian Jerald F. Dirsk, diperkirakan terjadi antara tahun 2070 hingga 2099 SM. Atas dasar inilah, sesungguhnya lembah Bakkah pada generasi setelah Nabi Ismail sudah menjadi sebuah kota penting bagi umat agama-agama samawi.

Dinamika zaman dan pergantian generasi mengiringi perubahan pola pikir dan budaya manusia. Nama kota Bakkah yang pada millenium kedua Sebelum Masehi sangat masyhur, lambat laun terjadi perubahan struktur dan logika dalam alam pikiran bangsa Arab. Inilah yang oleh para sejarawan dan pakar linguistik dinilai telah mempengaruhi istilah ”Bakkah” berubah menjadi ”Makkah.” Sedangkan keberadaan bangunan suci peninggalan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tetap dilestarikan oleh bangsa Arab, khususnya suku Quraisy, sampai menjelang kenabian Muhammad Saw.

Bangsa Arab meyakini bahwa bangunan suci tersebut dijaga oleh kekuatan kasat mata yang melindungi mereka dari berbagai ancaman dan bahaya. Bangunan tua yang dikeramatkan oleh bangsa Arab inilah yang dalam surat Al-Hajj ayat 33 disebutkan secara eksplisit sebagai Bait al-‘Athiiq (Rumah Pusaka).

Kini, Makkah yang dulunya bernama Bakkah—kawasan sempit, gersang, terpencil—telah menjadi kota megapolitan dengan Ka’bah—Rumah Pusaka (Bait al-’Athiiq) sebagai bangunan suci pertama di muka bumi ini—menjadi kiblat peribadatan umat Islam seluruh dunia.

Editor: Soleh

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds