Feature

Kacang Memang Harus Lupa Sama Kulitnya

2 Mins read

Banyak yang sukanya nyinyir jika ada seseorang yang sukses, lantaran berpindah dari suatu grup, tempat kerja, café nongkrong ke tempat lainnya. Seringkali, mereka langsung dijudge dengan dalih kacang lupa sama kulitnya. Yaiyalahh, kalau kacang nggak lupa sama kulitnya mana bisa dimakan. Heu heu.

Siang itu, saya diberi kacang oleh tetangga. Akan tetapi, kacang tersebut masih terbungkus kulitnya yang keras itu lho. Bahkan lengkap dengan lendutnya yang agak bau-bau injakan kaki. Hahaha

Saya memandangi saja kacang-kacang ini, sembari bergumam “kacang kenapa kau sangat bau? Aaihh kacang aku bingung mau aku apakan kau?” tak lama kemudian, ibu saya langsung mengambil kacang-kacang yang ada ditimba tadi, dan digrojok dengan air kran yang sangat keras.

Saya sangat spontan bertanya “lho kacange kate diapakne?” terdengar jawaban yang agak kesel karena saya dari tadi hanya diam, “Ya dibersihkan to, terus dimasak ben iso digawe rujak, sambel pecel, digoreng tok yo enak.”

Dari kejadian siang itu saya teringat suatu kisah beberapa orang yang dibuli karena dia lebih sukses ketika meninggalkan tempat lamanya. Karena merasa bahwa orang yang meninggalkan tempat semulanya itu, dinilai sombong banget. Udah nggak mau kumpul dengan grup yang dulu. Iri bilang boss, aseekk.

Sehingga, langsung dijudge dengan kacang lupa sama kulitnya. Yaiyalahh, kalau kacang nggak lupa sama kulitnya mana bisa dimakan. Padahal, stigma pemikiran seperti itu, adalah omongan-omongan orang yang iri, gaiss. Kacang itu, sebenarnya memiliki filosofi yang sangat indah, apalagi bisa diterapkan pada kehidupan.

Coba bayangkan saja, ketika kacang masih menetap dan tidak bisa mengelupas dari kulitnya. Apa yang akan terjadi? Yapss, kacang akan membusuk dan tidak ada artinya sama sekali. Hikss.

Baca Juga  Puasa Ikut NU, Lebaran Ikut Muhammadiyah

Sekarang, kita selaraskan saja kacang dengan kehidupan manusia. Perjalanan hidup manusia dari ketika lahir sampai dia tumbuh dewasa, akan mengalami perpindahan tempat, mungkin juga silih bergantinya pertemanan juga.

Antara Kacang dan Sekolah

Semisal saja begini, seorang anak yang sudah menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun dan dirasa sudah memenuhi kriteria penilaian kelulusan, pastinya dia akan berpindah dari SD ke SMP.

Namun, bukannya dia lupa akan sekolahnya, akan tetapi itu untuk kebaikannya pribadi dan pastinya sekolah itu dong. Bayangkan saja, jika seorang anak tadi tidak diberi kesempatan meneruskan ke SMP dan harus menetap di SD. Pastinya, nasib anak tadi akan seperti kacang yang tidak keluar dari kulitnya. Ngeri banget gaiss.

Hal yang menarik dari manusia sebenarnya, ya dari analogi kacang tersebut. Ketika seseorang berpindah sekolah, seolah-olah itu hal yang sudah seharusnya dijalaninya. Akan tetapi, ketika seseorang sudah bergabung di dalam relasi grup pertemanan, mungkin. Ketika dia ingin menjajaki petualangan hidup yang baru, seringkali akan dicap sebagai orang yang tidak tau diri.

Padahal sudah jelas dan memahami, kalau di dalam kehidupan itu, tidak ada yang pernah abadi di dunia. Kok masih saja ya, suka banget nyinyirin orang. Aihh sayang waktunya.

Antara Kacang dan Air

Mungkin, perihal kacang dan menempuh pendidikan itu bisa lagi kita analogikan dengan air. Seumpama saja, kita mencoba mengamati dua air, yang satu kita tuangkan ke dalam ember dan dibiarkan saja beberapa minggu.

Sedangkan, air yang satunya lagi berasal dari air kran yang sering kita gunakan, dan air itu setiap harinya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan manusia. Pastinya, dia akan selalu jernih, karena tidak menggenang.

Baca Juga  Ternyata, Tarawih di Masjid Imam Syafi'i Pakai 11 Rakaat

Bayangkan, bayangkan! Ketika semua air didiamkan saja di tempat sejenis ember tadi. Apa yang akan tejadi? Jelas to, lambat laun air yang di ember tadi akan menjadi tempat berkembang biak jentik-jentik. Ihhh, rugi lagi kan.Dari kedua air itu, kita bisa megambil kesimpulan. Bahwasanya, air yang lebih memiliki manfaat banyak adalah air yang terus mengalir.

Hal ini sama dengan kacang, anak SD, dan air yang mengalir tadi. Ketika, seseorang tidak berpindah atau tidak bisa move on dari tempat terdahulunya, maka yang terjadi adalah stagnansi kehidupan.

Maka dari itu, jangan suka menyalahkan seseorang yang mencoba keluar dari suatu perkumpulan, yang mungkin sudah membawannya terkenal. Bisa saja kan, dia memang lebih pantas untuk pindah dari suatu grup tersebut. Eitss, broo, sist, saat ini nggak usah takut lagi untuk kembali berproses sesuai dengan keinginan diri sendiri. Uyeeahh.

Editor: Wulan

Avatar
3 posts

About author
Esais dan Kader di Intellectual Movement Community
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds