Meskipun kaidah demokrasi adalah tergolong baik jika berjalan sebagai mana mestinya, namun praktik demokrasi di Indonesia masih bermasalah. Akumulasi konteks historis kerajaan, penjajahan kolonial, status sosial kaum elite dan kaum awam sedikit banyak mempengaruhi berjalannya praktik demokrasi.
Belum lagi dengan pengaruh dewasa ini yang datang dari luar, seperti radikalisme dan fundamentalisme yang membuat demokrasi semakin sulit menemukan praktiknya yang pas di negeri ini.
Fenomena ini memicu banyak tokoh berlomba-lomba untuk membuat rumusan demokrasi yang relevan. Mulai dari definisi, aturan, prinsip, esensi, dan seabrek hal-hal yang berkaitan erat dengan demokrasi. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk keberlangsungan demokrasi agar tetap sehat. Kuntowijoyo, menjadi salah satu dari sekian tokoh yang berbicara tentang demokrasi.
Kaidah Demokrasi Kuntowijoyo
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta 18 September 1943 dan wafat di usianya 62 tahun di tanggal 22 Februari 2005 ini dikenal sebagai sejarawan dan sastrawan. Meski begitu, gagasannya tentang politik dan analisisnya tentang dunia sosial bisa ditemui hampir di tiap karyanya yang tersebar luas dan masih banyak dikaji oleh generasi masa kini.
Di dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam, ada lima kaidah dalam praktik demokrasi. Kelimanya harus diterapkan dalam demokrasi. Yakni saling mengenal (ta’arruf), musyawarah (syura), kerjasama (ta’awun), menguntungkan masyarakat (mashlahah), dan adil (‘adl). Kaidah-kaidah ini saling terkait. Selain itu, kelima kaidah ini penulis rasa masih relevan untuk melihat perjalanan praktik demokrasi di Indonesia. Dan mungkin bisa juga dijadikan indikasi dari pertanyaan, sehat tidak sih demokrasi kita hari ini?
Berkenalan dan Bermusyawarah
Saling mengenal (ta’arruf) menjadi kaidah awal –menurut penulis- yang tidak boleh ditinggalkan. Namun kaidah ini justru sering dilewatkan begitu saja, tanpa perlu dibahas lebih lanjut.
Misalnya begini, ada pemilihan legislatif dan eksekutif serentak yang akan digelar. Momen tersebut menjadi pesta demokrasi akbar bagi seluruh warga di negeri ini. Namun kita sering mendengar, terutama memilih calon legislatif, masyarakat kebanyakan bingung untuk menentukan pilihan. Kecuali tetangga, keluarga, teman, dan mantannya yang menjadi calon legislatif, itu beda lagi.
“Halah, DPR dan DPRD milih terserah saja. Lha wong tidak ada yang kenal. Kinerjanya di masyarakat juga belum tahu”, seronoh seseorang.
Bahwa papan reklame dipenuhi banner-banner calon legislatif, itu iya. Bahwa di sepanjang jalan di Indonesia, banyak ditemui baliho calon lagislatif, itu juga iya. Terlebih dengan penggunaan media sosial dari calon legislatif untuk berinteraksi dengan masyarakat luas, juga tidak bisa dipungkiri.
Namun kenapa masih ada ungkapan demikian? Ya penulis rasa belum saling mengenal. Warga mengenal calon legislatif dengan jarak hanya melalui rumor media dan gambar. Sedangkan calon legislatif mengenal warga pemilihnya hanya dari prediksi dan statistik. Ini misal lho ya, tapi bener tidak?
Setelah saling mengenal, maka interaksi menjadi lebih mudah dilakukan. Dalam konteks demokrasi, interaksi ini masuk wilayah musyawarah (syura). Tapi harus dengan catatan, musyawarah dilakukan dengan dasar kesetaraan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, status sosial juga harus ditinggalkan. Dengan demikian, segala aspirasi dari masing-masing pihak bisa dicari mufakatnya. Ya mentok-mentoknya menggunakan voting.
Berta’awun Untuk Umat
Nah, musyawarah saja tidak cukup untuk penerapan kaidah demokrasi, harus diwujudkan dengan laku. Konteks laku pada demokrasi berarti kerjasama (ta’awun). Sederhananya, jika musyawarah menyelaraskan wacana, gagasan, atau ide, sedangkan kerjasama mewujudkan hasil musyawarah dengan tindakan konkret.
Sama dengan musyawarah, kesetaraan harus menjadi dasarnya. Tidak perlu mempermasalahkan kecenderungan afilisiasinya. Selama mau diajak kerjasama dan tidak mementingkan diri sendiri atau golongan, selama itu juga tidak perlu memperkarakan persoalan yang bukan-bukan.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kerjasama di masyarakat kita sedang sakit, apalagi jika diseret ke gelanggang politik. Dikotomi-dikotomi muncul yang bisa membuat masyarakat terpecah belah. Akhirnya kerjasama berlaku hanya untuk sesama afiliasinya, sedangkan yang bukan afiliasinya dikritik habis-habisan. Ya kerjasamanya jadi mandek. Padahal dalam konteks negara, maju mundurnya ditentukan dengan solidnya kerjasama dari tiap pihak yang bersangkutan.
Jangan lupa juga, musyawarah dan kerjasama ini hasilnya untuk kepentingan umum (mashlahah), bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahwa Indonesia memiliki ragam suku, bahasa, tradisi, partai, dan golongan, itu memang benar adanya. Namun keputusan yang dihasilkan harusnya juga memiliki dampak untuk kepentingan umum, khususnya untuk Negara Indonesia.
Ya, tujuannya untuk menghindari hal-hal yang merugikan semua pihak. Korupsi yang mendarah daging mungkin bisa teratasi jika kepentingan umum yang diutamakan. Bukan kepentingan perut.
Berlaku Adil
Kaidah demokrasi yang terakhir adalah harus berlaku adil (‘adl). Adil pada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tidak tebang pilih. Jika bersalah, walaupun dewan atau gubernur, ya harus dihukum sesuai aturan yang berlaku. Jika wong cilik, punya hak untuk menyuarakan aspirasinya, maka jangan diintimidasi. Jika penguasa mempunyai kewajiban mensejahterakan rakyatnya, ya harus dilaksanakan. Kan begitu?
Demokrasi di Indonesia
Nah, kelima kaidah demokrasi ini belum konsisten diterapkan pada demokrasi di negeri ini. Kadang hanya musyawarah saja, kadang tidak adil, kadang kerjasama. Penerapan parsial seperti ini memang tidak membuat demokrasi hilang dari peradaban umat manusia, hanya saja tidak sehat.
Kaidah ini penulis rasa juga tidak hanya diperuntukkan untuk penguasa atau pemerintah semata. Masyarakat juga memiliki andil untuk turut berkontribusi. Mudahnya kalau pemerintah sudah membuka diri untuk kerjasama dengan masyarakat, maka masyarakat jangan terus menjadi oposisi dengan penuh kecurigaan.
Begitupun saat masyarakat mengedepankan kepentingan umum, para pemangku jabatan di birokrasi jangan malah menyelewengkan amanah dengan korupsi. Keduanya saling menerapkan dan mengevaluasi praktik demokrasi.
Praktik demokrasi di Indonesia masih perlu upaya lebih yang menguras banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Bahkan sampai generasi masa depan tidak menutup kemungkinan demokrasi yang sehat sesuai kaidah demokrasi masih terus diupayakan. Ya, mungkin obrolan soal demokrasi yang pas akan linear dengan usia manusia. Mungkin saja.
Editor: Sri/Nabhan