Riset

Kalender Muhammadiyah: Memadukan Tuntutan Syar’i dan Sains

5 Mins read

Akhir-akhir ini di kalangan masyarakat muncul pendapat bahwa metode yang digunakan Muhammadiyah dalam pembuatan kalender Islam bersifat statis dan kurang responsif terhadap isu-isu kontemporer, bahkan global. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa metode hisab yang digunakan Muhammadiyah dalam pembuatan kalender Islam merupakan antitesis terhadap pemikiran rukyat yang berkembang saat itu.

Bahkan juga dinyatakan bahwa pemikiran hisab Muhammadiyah tidak sesuai dengan sunnah rasulullah saw. dan dianggap bid’ah (lihat As-Sunnah, 07/VIII/1425 H/2004 M, p. 18-23). Pernyataan-pernyataan itu merupakan sikap kritis yang perlu direspons secara positif dan asertif. Oleh karena itu pendekatan historis sangat relevan untuk digunakan dalam mengkaji persoalan tersebut.

Kalender Islam dalam Lintasan Sejarah

Dalam khazanah intelektual Islam kalender Islam sering disebut dengan at-Taqwim al-Islamiy, at-Taqwim al-Qamary, dan at-Taqwim al-Hijriy. Umar ibn al-Khattab dianggap sebagai peletak dasar kalender Islam. Kehadiran kalender Islam didorong wilayah kekuasan pada masa Umar ibn al-Khattab sangat luas, sehingga Umar sering melakukan surat-menyurat dengan para gubernur. Dalam surat-menyurat, Umar biasnya tidak menyebutkan tanggal di dalamnya. Kondisi ini mendorong Abu Musa al-Asy’ari mengusulkan perlunya sebuah sistem kalender yang dipedomani bersama.

Menurut para sejarawan, pada saat itu nama-nama bulan kamariah seperti yang dikenal sekarang (Muharam hingga Zulhijah) sudah dikenal dan digunakan oleh masyarakat Arab pra Islam, bahkan menurut Al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hassan Musa bahwa nama-nama bulan kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M.

Selanjutnya Abd. Mun’im Majid menginformasikan bahwa pada masa rasulullah dan masa pemerintahan Abu Bakar, umat Islam menggunakan perhitungan tahun berdasarkan tahun nabi bertempat tinggal di Madinah. Hanya saja kalender ini tidak berkembang bersifat lokal dan hanya digunakan masyarakat Hijaz. Sementara itu Abu Musa al-Asy’ari menjadi gubernur di Kufah, sebuah wilayah yang jauh dari Hijaz, bahkan Kufah adalah bekas kekuasaan Persia yang memiliki kalender sendiri (M. Solahudin, 2009).

Sebagaimana diuraikan di atas, wilayah kekuasaan Islam sangat luas yang meliputi daerah bekas kekuasaan Romawi (Byzantium) dan Persia. Wilayah bekas kekuasaan Romawi adalah Syam, sedangkan wilayah bekas kekuasaan Persia adalah Kufah dan Basrah. Romawi memiliki kalender yang sistem perhitungannya dimulai dari tahun kelahiran nabi Isa. Begitu pula Persia memiliki sistem kalender tersendiri dan pernah dipertahankan oleh Syah Iran Muhammad Reza Pahlevi.   

Baca Juga  Psikolog Klinis Under Cover: Kecil Bayarannya, Tapi Cepat Masuk Surga

Gagasan Abu Musa al-Asy’ari agar Umar ibn al-Khattab menetapkan kalender resmi selain bertujuan untuk mempermudah korespondensi antara khalifah dan gubernur, juga untuk menyatukan sistem kalender Islam di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Adanya kalender Islam yang mapan akan membedakan sistem pemerintahan Islam dengan Romawi dan Persia. Selanjutnya pada era dinasti Usmaniyah keberadaan kalender Islam juga menjadi perhatian para Sultan. Kalender Islam digunakan dalam segala urusan, seperti  ekonomi, militer, dan keagamaan.

Wujudul Hilal: Jalan Tengah antara Rukyat Murni dan Hisab Murni     

Fakta sejarah membuktikan bahwa kehadiran hisab di dalam Muhammadiyah bukan semata-mata antitesa terhadap rukyat. Namun, lebih didorong semangat keilmuan dari pada “mitos”. Dalam dokumen resmi Muhammadiyah dinyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak semata-mata dengan hisab, tapi juga digunakan rukyat, istikmal, dan persaksian (Perhatikan Putusan Tarjih di Medan tahun 1939).

Patut diketahui berdasarkan data historis menunjukkan bahwa model hisab yang digunakan Muhammadiyah tidak tunggal sebagaimana yang dipahami selama ini. Mula pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria imkanur rukyat. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria ijtima’ qabla al-ghurub.

Artinya bila ijtimak terjadi sebelum ghurub (sunset) maka malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal 1 bulan baru hijriah. Namun bila ijtimak terjadi setelah ghurub maka malam itu dan keesokan harinya belum dianggap bulan baru hijriah. Dengan kata lain konsep ijtima’ qabla al-ghurub tidak mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Teori ini digunakan Muhammadiyah sampai tahun 1937 M/ 1356 H.

Pada tahun 1938 M/1357 H Muhammadiyah mulai menggunakan teori Wujudul Hilal. Langkah ini ditempuh sebagai “jalan tengah” antara sistem hisab ijtimak (qabla al-ghurub) dan sistem imkanur rukyat atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni.

Karenanya bagi sistem wujudul hilal metode yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada Kalender Hijriah tidak semata-mata proses terjadinya ijtimak tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam Matahari. Setelah bertahun-tahun  teori wujudul hilal digunakan,  Muhammadiyah melakukan kajian ulang agar teori yang digunakan sesuai dengan al-Qur’an – as-Sunnah dan tuntutan zaman melalui seminar dan Munas.      Pertemuan-pertemuan tersebut, hasilnya tetap memutuskan bahwa teori hisabhakiki wujudul hilal masih relevan digunakan Muhammadiyah. Dalam hisab hakiki wujudul hilal, bulan baru kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut.

  1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi)
  2. Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
  3. Pada saat terbenam matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Baca Juga  Inilah Sembilan Tips dan Trik Menembus Scopus

Ketiga kriteria ini digunakan secara kumulatif, dalam arti ketiga harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.

Penyimpulan tiga kriteria di atas dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an (QS. Yasin ayat 39-40) secara komprehensif dan interkonektif. Artinya  ayat-ayat tersebut tidak berdiri sendiri tetapi dihubungkan dengan ayat-ayat lain, hadis, dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi.

Patut diketahui kriteria wujudul hilal digunakan untuk menentukan awal bulan kamariah sejak Muharam hingga Zulhijah sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S At-Taubah ayat 36. Hal ini menjadikan kalender Muhammadiyah mapan, konsisten, dan mencerahkan peradaban.

Kalender Muhammadiyah: dari Nasional Menuju Global

Diskusi tentang kalender Islam global memperoleh perhatian para ulama dan astronom dunia. Tidak kurang dari 40 pertemuan digelar di berbagai negara. Salah satunya Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Islam di Istanbul Turki pada tanggal 28-30 Mei 2016/ 21-23 Syakban 1437. Pertemuan ini merupakan tindaklanjut dari konferensi sebelumnya pada tanggal 18-19 Februari 2013/8-9 Rabiul akhir 1434 di tempat yang sama.  

Dalam konferensi ini diusulkan dua konsep kalender Islam yang telah dikaji oleh Scientific Committee, yaitu Kalender Islam Bizonal dan Kalender Islam Terpadu. Kalender Islam Bizonal digagas oleh Nidhal Guessoum dan Mohammad Syawkat Audah.

Prinsip Kalender Islam Bizonal adalah (a) dunia dibagi dua zona, yaitu zona barat dan zona timur, (b) awal bulan kamariah dimulai di kedua zona itu pada hari berikutnya apabila konjungsi (tawalludul hilal) terjadi sebelum fajar di Mekah, dan (c) awal bulan kamariah dimulai pada hari berikutnya di zona barat dan ditunda sehari pada zona timur apabila konjungsi terjadi antara fajar di Mekah dan pukul 12.00 UT.

Sementara itu Kalender Islam Terpadu digagas oleh Jamaluddin  Abdul Razik, dengan tiga prinsip yang dikembangkan, yaitu prinsip hisab, prinsip transfer rukyat, dan penentuan permulaan hari.

Baca Juga  Anjuran Shalat Iduladha di Rumah, Berikut Argumen Muhammadiyah

Berdasarkan hasil voting dari para peserta, kalender Islam terpadu terpilih sebagai kalender yang diusulkan untuk dipedomani agar terwujud kesatuan umat Islam sedunia dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan serta kebersamaan dalam melaksanakan Idul Adha.

Dengan kata lain “Satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia”. Hasil keputusan ini direspons positif oleh Muhammadiyah karena pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, salah satu keputusannya menyerukan penyatuan kalender Islam.

Berbagai pertemuan telah diselenggarakan untuk mengkaji dan mensosialisasikan konsep kalender Islam global, seperti  Temu Ahli Falak Muhammadiyah Respons Hasil Konggres Internasional Penyatuan Kalender Hijriah Turki 2016 di Gedung FKIP UHAMKA Lt. VI Tanah Merdeka, Kp Rambutan Ps Rebo Jakarta Timur pada  tanggal 12-13 Ramadan 1437/17-18 Juni 20016, Seminar Nasional Kalender Islam Global “Pasca Muktamar Turki 2016” diselenggarakan kerjasama antara Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan ADFI di Aula Gedung Pascasarjana UMSU pada tanggal  29 Syawal-1 Zulkaidah 1437/3-4 Agustus 2016, dan Konsolidasi Paham Hisab Muhammadiyah tentang Kalender Islam Global diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertempat di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta dan di Islamic Center UAD pada tanggal 10 Zulkaidah-23 Zulhijah 1440/13 Juli-24 Agustus 2019.

Muhammadiyah menyadari untuk mewujudkan kalender Islam global perlu melibatkan ormas-ormas Islam yang ada di negeri ini. Untuk itu pada tanggal 6 September 2019 diselenggarakan  Dialog Ormas Islam: Respons terhadap Gagasan Unifikasi Kalender Islam Global diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertempat di Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Pada pertemuan ini para wakil ormas yang hadir menyambut baik upaya mewujudkan kalender Islam global untuk kepentingan yang lebih besar.

Selanjutnya Muhammadiyah berharap keputusan Turki 2016 perlu dikaji secara bersama agar upaya penyatuan kalender Islam yang ideal segera terwujud.  Bagi Muhammadiyah jika Indonesia menerima hasil konferensi tersebut akan memiliki beberapa keuntungan yaitu memiliki tawaran dan kepeloporan terhadap dunia Islam untuk mendorong penyatuan kalender Islam dan mempunyai peluang untuk bernegosiasi guna menyatukan jatuhnya hari Arafah pada tahun-tahun tertentu karena kriteria yang digunakan adalah kalender Islam global.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Editor: Yahya FR

Avatar
45 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds