Karakter Shidiq adalah Menyatunya Hati, Kata dan Laku dalam Kebenaran
Karakter Shidiq – Keadaan dimensi rohaniah yang tak kasat mata berupa roh, akal, hati, dan nafsu, tidak selamanya tenang, aman, damai, dan tentram dalam sebatang tubuh manusia yang berupa jasad dalam dimensi jasmaniah yang kasat mata.
Namun, respon dari luar diri manusia amat berpengaruh kepada dimensi rohaniah yang saling ingin menunjukkan hegemoninya sebagai yang memiliki kedigdayaan dalam diri manusia tersebut.
Ajaran agama yang memiliki dogma, doktrin, kitab suci, dan ritual ibadah yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi dan Rasul sebagai sang utusan-Nya, pada intinya membawa kebenaran, yang dengan kebenaran itu manusia berusaha dan berupaya menjadi pribadi yang benar, melanggengkan dirinya untuk berada di jalan yang benar, hingga ia bisa selalu dituntun kalbunya oleh Tuhan pada kebenaran sejati. Sehingga pada akhirnya, ia bisa menyatu dengan yang Maha Benar sampai akhir hayatnya.
Untuk mencapai hal tersebut di atas, manusia harus memiliki karakter ash-shidiq. Quraish Shihab (2016, 156) menjelaskan, kata ash-shidq biasa diterjemahkan dengan benar/kebenaran, sedangkan kata tersebut dapat memiliki beragam arti sesuai dengan konteksnya.
Kesan pertama dan yang paling banyak terlintas dalam benak adalah yang berkaitan dengan ucapan; ucapan yang benar yang sesuai dengan kenyataan. Sementara pakar agama, seperti ar-Raghib al-Asfahany (w. 1108), mendefinisikan kebenaran dalam ucapan sebagai pemberitaan yang sesuai dengan isi hati sekaligus dengan kenyataan. Bila hanya dalam kenyataan atau hanya dalam isi hati, itu adalah kebenaran yang tidak sempurna.
Kata benar juga dikaitkan dengan sikap, ia dapat berarti sesuai dengan norma, dalam keputusan ia berarti adil, dalam kaitan kerja ia dapat berarti sungguh-sungguh, sedang bila menyifati seseorang, maka kata tersebut, antara lain berarti terpecaya. Dari sini sementara ulama menyatakan bahwa ash-shidq/kebenaran/kesungguhan berkaitan dengan empat hal pokok: (1) ucapan; (2) janji; (3) tekad; (4) kerja.
***
Sedangkan menurut Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam kitab Ar-Risalatul Qusyairiyah fi’Ilmu Tashawwuf (2007, 302), shadiq atau yang ahli benaran adalah suatu nama yang harus dikaitkan dengan kebenaran. Sedangkan shidiq untuk tingkatan yang lebih tinggi, yaitu bagi orang yang banyak atau sangat banyak kebenaran.
Orang semacam ini kehidupannya banyak didominasi oleh nilai-nilai kebenaran. Hal ini seperti as-sakkir yaitu orang yang ahli mabuk (karena Tuhan) dan al-khamer, orang yang sangat kecanduan minuman khamer.
Paling rendahnya tingkatan shidiq adalah kesamaan baginya antara yang rahasia dan yang tampak. Orang yang shidiq (pelaku kebenaran) adalah orang yang benar dalam ucapannya, sementara as-shiddiqi adalah orang yang benar dalam segala ucapan, perbuatan, dan keadaannya.
Jadi, esensi karakter shidiq adalah seseorang yang ucapannya benar yang sesuai dengan kenyataan dan tidak didustai oleh hatinya, serta berbanding lurus antara hati, kata, dan perbuatannya. Secara faktual pribadi shidiq memiliki perilaku adil dalam menegakkan norma, sungguh-sungguh dalam bekerja, dan pribadinya terpecaya.
Ajaran Islam sangat menganjurkan umatnya memiliki karakter shidiq, bahkan Allah mewanti-wanti supaya orang-orang yang beriman untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang hati, kata dan perilakunya menyatu dalam kebenaran.
***
Sebagaimana Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubat: 119)
Mengapa ajaran Islam sangat serius supaya umatnya memiliki karakter shidiq? Karena salah gaul dan tidak menyibukkan diri dengan kebikan dan kebenaran serta bersama dengan orang-orang yang benar, maka dikhawatirkan manusia akan tergelincir kepada perilaku minus, seperti:
Mengedarkan informasi hoaks, provokasi, saling fitnah, agitasi politik murahan, propaganda pihak yang tak bertanggung jawab. Yang semuanya kebohongan yang berbalut “pembenaran” diri, kelompok, organisasi, partai politik, dan sejenisnya.
Maka wajarlah Rasulullah Saw mengingatkan kita dalam sabdanya:
“Seorang hamba senantiasa berbuat benar dan selalu benar sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar; dan seseorang senantiasa berbuat bohong dan selalu berbohong sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (HR. Abu Dawud)
Karakter Shidiq: Berhati Bening, Berkata Santun, dan Berperilaku Mulia
Untuk lebih memahami karakter shidiq yang berhubungan dengan beberapa hal yakni: suasana hati, ucapan, janji, tekad, kerja, dan komitmen hidup sebagai manusia-tauhid dan “mandataris” Tuhan di bumi-Nya. Maka, ada beberapa nilai subtansi dari karakter shidiq, yakni:
Pertama, jauh dari hal-hal yang meragukan hati (bimbang).
Sabda Rasulullah Saw:
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu karena kebohongan adalah kegelisahan dan kebenaran adalah ketenangan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Kedua, bisa “mengembala” diri tanpa tergelincir mengikuti hawa nafsu.
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48).
Ketiga, memiliki pribadi yang tulus dan mampu tegak lurus di jalan kebenaran.
Firman Allah:
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. Al-Jin: 16)
Keempat, orientasinya hidup tidak untuk memenuhi ambisi, materi, kursi, gensi, dan sensasi. Akan tetapi, semata-mata rida Allah. Dimensi keduniawian yang diterima dianggapnya sekedar efek sampingan dari perjalanannya memaknai hidup dengan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas.
Tujuan hidupnya dalam cinta dan kerinduan bersama-Nya dalam “iklim” dan “cuaca” apapun yang ditemukannya selama hidup.
Dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw bersabda:
“Begitu mendalamnya kerinduan orang-orang yang berbuat baik (al-abrar) untuk berjumpa dengan-Ku, padahal kerinduan-Ku untuk berjumpa dengan mereka adalah lebih besar lagi.”
Kelima, bekerja cerdas, bekerja keras, bekerja ikhlas dan bekerja tuntas.
Sabda Rasulullah Saw:
Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang di antara kamu bekerja, maka ia bekerja sebaik mungkin.” (HR. Ath-Thabrani)
Keenam, berperilaku mulia dengan menebarkan tali cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia.
Sabda Rasulullah Saw:
“Bukanlah pengikutku, mereka yang tidak mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya.”
Ketujuh, memiliki hati yang bening tanpa noktah (noda hitam) sedikitpun, sehingga ia takut untuk jatuh kepada bahaya nifak (kemunafikan).
***
Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)
Kedelapan, berperilaku mulia selama hidup dengan memberikan manfaatkan kepada siapa pun.
Sabda Rasulullah Saw:
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Kesembilan, mengambil pelajaran (ibrah) dari rasul dalam menunjukkan kepedulian pada kemanusiaan.
Firman Allah:
“Sesungguhnya, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).
Kesepuluh, menebarkan rasa kasih sayang kepada manusia dan alam semesta.
Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang menyayangi yang di bumi niscaya akan disayangi oleh yang di langit.”
Kesebelas, menghormati sesama manusia atas dasar kemanusiaan, walaupun berbeda agama, suku/puak, bangsa, negara, mazhab dan intres politik.
Rasulullah Saw bersabda:
“Tiada manusia yang merendahkan seorang muslim pada suatu tempat dengan merampas kehormatannya dan mencela harga dirinya, melainkan Allah akan merendahkannya di suatu tempat ketika dia menghendaki pertolongan-Nya. Tiada manusia yang menolong seorang muslim pada suatu tempat yang dirampas kehormatan dan harga dirinya, melainkan Allah akan menolongnya pada tempat di mana dia menghendaki pertolongan-Nya.” (HR. Abu Dawud)
Keduabelas, perilaku mulianya umpama cahaya yang berpendar menerangi (as-sirajan muniran) alam sekitarnya.
Firman Allah:
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Juga untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi (as-sirajan muniran).” (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Ketigabelas, menyakini bahwa sesuatu yang benar pasti akan diterima oleh orang yang memahami hakikat kebenaran.
Firman Allah:
“Orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
***
Keempatbelas, memiliki jiwa pemimpin yang dapat diteladani perilaku yang mulianya.
Firman Allah:
“Sesunguhnya, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Yakni, bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Kelimabelas, senantiasa berlaku ihsan dengan senantiasa membalas kebaikan dengan kebaikan yang paripurna.
Firman Allah:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” QS. An-Nisa’: 86).
Keenambelas, berjiwa santun dalam memimpin dan penyantun saat memiliki harta, serta mengedepankan musyawarah dalam berbagai masalah dengan obsi alternatif sebagai solusinya untuk kepentingan bersama.
Sabda Rasulullah Saw:
“Apabila pemimpin-pemimpin kamu orang-orang yang baik, apabila orang kaya di antara kamu orang yang murah hati, dan apabila perkara kamu dimusyawarahkan di antara kamu, maka permukaan bumi ini (kehidupan) lebih baik bagimu daripada bumi (kematian)” (HR. At-Tirmidzi).
Ketujuhbelas, bertutur kata yang santun dan pemaaf, terjauh dari berkata kasar, tidak menebarkan hoaks, memfitnah, agitasi politik, propaganda, dan desas-desus yang tidak jelas.
Firman Allah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159).
***
Kedelapanbelas, istikamah dengan hati yang bening, tutur yang santun, dan perilaku yang mulia. Terjauh dari gaya hidup fatamorgana, delusi dan “penjara-penjara” kehidupan yang melenakan dan melelahkan serta meletihkan jiwa dan raga.
Firman Allah:
“Ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153).
Kesembilanbelas, mendekat kepada Allah dengan senantiasa menjaga kebeningan hati.
Firman Allah:
“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Keduapuluh, merasakan kehadiran Allah segala situasi dan kondisi.
Sabda Rasulullah Saw:
“Beribadah sekan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak melihatNya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah melihatmu.”
***
Keduapuluhsatu, menjauhkan diri dari kebohongan dalam hati, kata dan perilaku.
Firman Allah:
“Sesungguhnya, yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS. An-Nahl: 105)
Keduapuluhdua, tidak suka kepada segala bentuk kedustaan.
Firman Allah:
“Janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al-Qalam: 8-9)
Keduapuluhtiga, menjaga kualitas dirinya selama hidup dengan luhur dan sempurna (syumul wasy-syamil) hingga memiliki kedudukan yang tinggi (qaddama shidqin) di hadirat Allah.
Firman Allah:
“Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qaddama shidqin) di sisi Tuhan mereka.” (QS. Yunus: 2)
***
Keduapuluhempat, memeliki buah tutur yang baik dan berkualitas (lisaana shidqin), seperti mutiara mutumanikam.
Firman Allah:
“Kami anugerahkan kepada mereka sebagain dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik (lisaana shidqin) lagi tinggi (‘aliyaan).” (QS. Maryam: 30)
Keduapuluhlima, memiliki visi menghadap Allah dengan kalbu salim (autentik).
Firman Allah:
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (salim).” (QS. Asy-Syu’ara: 89)
Keduapuluhenam, mempunyai misi memiliki jiwa yang tenang (mutmainah) dan gembira menerima keridhaan Allah.
Firman Allah:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Keduapuluhtujuh, memiliki perilaku mulia yakni sikap rendah hati dan berkata santun.
Firman Allah:
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqan: 63)
Keduapuluhdelapan, berkata santun dan menebarkan pesan perdamaian.
Firman Allah:
“Mereka tidak mendengarkan di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, tetapi mereka mendengar ucapan salam.” (QS. Al-Waqi’ah: 25-26)
Keduapuluhsembilan, hati yang bening menumbuhkan tutur yang santun dan kualitas ucapan yang berkesan (qaulan balighan).
Firman Allah:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa-apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran. Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (qaulan balighan).” (QS. An-Nisa’: 63)
Ketigapuluh, istikamah mengikuti orang-orang yang teguh dalam kebenaran dan kesalehan.
Firman Allah:
“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang mati syahid, dan orang-orang yang saleh.” (QS. An-Nisa’: 69)
Dari ketigapuluh subtansi karakter shidiq di atas, esensinya adalah, bahwa kita sebagai hamba Allah harus berhati bening, berkata santun dan berperilaku mulia, selama kita menjalani tugas kekhalifahan di bumi-Nya.
Transformasi Karakter Shidiq sebagai Laku Hidup yang Autentik
Hari-hari yang dijalani tidak selamanya senang, terkadang diliputi kesusahan. Minggu-minggu yang akan dilalui tidak selalu sesuai dengan yang diingini. Bahkan, episode hidup terkadang sangat jauh antara cita dan realita. Hilangnya sikap sabar berakibat pada mengambil jalan pintas dan menerabas, terjauh dari sikap yang benar.
Melanggengkan karakter shidiq terasa sulit ditengah banyaknya “berhala” kehidupan. Materialism, glamorisme, individualieme, hedonism, dan premisivisme telah menjadi tren di zaman akhir.
Kedigdayaan diri barometernya dilihat dari pemenuhan ambisi, materi, kursi, sensasi, dan gensi. “Topeng” kehidupan menjadi sebuah keharusan demi puja-puji yang fatamorgana dan delusi. Yang mampu akan jadi “pesohor” walaupun tekor, sedangkan yang tidak mampu terperangkap dalam “penjara-penjara” kehidupan.
Jadi, wajarlah Rasulullah Saw menyuruh umatnya untuk senantiasa membudayakan karakter shidiq, supaya umatnya tidak terperangkap dalam “topeng” dan “gincu” hidup yang lena, lelah, dan letih.
Sebagaimana pesan Rasulullah Saw:
“Hendaklah kalian selalu bersikap benar. Sesungguhnya ash-shidq (bersikap benar) mengantar kepada kebajikan, dan kebajikan mengantar ke surga. Seseorang yang selalu membiasakan diri dengan kebenaran, pada akhirnya ditetapkan di sisi Allah drbsgsi sosok yang benar, dan sesungguhnya kebohongan mengantar pula pada kedurhakaan, dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang selalu membiasakan diri berbohong pada akhirnya ditetapkan di sisi Allah sebagai pembohong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mungkin hadis Rasulullah Saw di atas sangat ideal sekali. Namun sebagai manusia yang dhaif tentu kita tidak terlepas dari salah, khilaf dan dosa, sehingga nilai-nilai karakter shidiq tercederai.
Terkadang, ada yang berusaha mencari pembenaran atas kesalahan dan kekhilafannya. Padahal salah, khilaf dan dosa tidak bisa terlepas dari manusia karena roh, akal, hati, dan nafsu saling mempengaruhi dalam jasad manusia, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini.
***
Namun yang harus diperhatikan adalah, bahwa sebagai hambanya kita berusaha untuk tidak salah, khilaf dan berbuat dosa, bila terjadi maka Tuhan membuka pintu tobat. Dan manusia yang baik adalah ketika keimanan dan ketakwaannya diuji Allah setiap saat, sehingga ia memliki perilaku yang autentik dengan banyak bertobat dari salah, khilaf dan dosa.
Sebagaimana dijelaskan Al-Harkis Al-Muhasibi, ketika ia pernah ditanya tentang tanda-tanda kebenaran, lalu ia menjawab: “Orang yang benar adalah orang yang tidak peduli seandainya segala hal yang berharga yang menjadi miliknya keluar dan masuk ke dalam hati para makhluk untuk perbaikan dirinya.
Dia juga tidak senang menampakkan pada manusia kebaikan-kebaikan amalnya mesti hanya seberat biji-bijian; atau tidak membenci jika perbuatan buruknya terlihat atau ditampakkan pada manusia. Jika ia membencinya, berarti itu adalah bukti yang menunjukkan bahwa ia senang mendapatkan tambahan simpati di sisi manusia. Ini termasuk bukan akhlak orang-orang yang benar.”
Karakter Shidiq Harus Bervisi Ukhrawi
Selain pada dimensi duniawi, karakter shidiq juga harus bervisi ukhrawi, bahwa berlaku benar bukan saja untuk damai hidup di dunia saja, akan tetapi juga untuk tentram berada di alam keabadian. Sebagaimana yang dikatakan Abu Sa’id Al-Qurasyi, “Orang yang benar adalah orang yang mempersiapkan kematiannya dan dia tidak akan malu jika rahasia pribadinya tersingkap.”
Karakter shidiq harus ditransformasikan dalam perilaku hidup yang autentik, supaya nilai-nilai kebenaran tidak hanya “gagah” di atas kertas, atau hanya doktrin “bisu” dalam kitab suci, apalagi hanya kanopi suci dalam retorika para penyeru kebenaran.
Karena emas tampak sama dengan loyang, begitu juga antara kebenaran dengan pembenaran, hanya kalbu bening yang dapat melihat hakikat benar yang sesungguhnya.
Editor: Yahya FR