Akhlak

Karakter Taubat: Mencari Cahaya Ilahi dalam Diri Seorang Insan

18 Mins read

Bertaubat kepada Allah bukanlah hanya dikarenakan seseorang pernah berdosa dan melakukan kesalahan dan kemaksiatan kepada Allah, lalu kemudian ia ingin kembali kepada Allah dan jalan kebenaran. Akan tetapi taubat sesungguhnya adalah ‘menapaki’ jalan dan mencari ‘jejak’ Ilahi dalam setiap diri Insani.

Skenario pertaubatan seseorang memiliki latar belakang yang beragam. Bisa dari melihat kejadian-kejadian yang luar biasa di alam raya; bisa juga dengan pengalaman diri sendiri seperti tekanan hidup dan beban kehidupan yang dialaminya sendiri; dan bisa juga dari melihat kesaksian orang dari pelaku maksiat menjadi pribadi yang taat; serta bisa jadi dari munculnya kesadaran rohaniah dikarenakan faktor usia maupun pengalaman-pengalaman hidup dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga muncul hidayah untuk menemui Tuhan yang hilang dari memori insani.

Bertaubat tidak bisa diartikan dengan berubahnya aksesoris yang dipakai seperti: bercadar, berjenggot, celana jengkrang, memakai baju koko, berpeci haji, bersorban, membawa Alquran dan aksesoris lainnya yang mengesankan Islami.

Terkadang memang pola-pola industrialisme dan juga kapitalisme selalu mengidentifikan ciri khas yang bertaubat adalah berpakaian syar’i sebagai wujud telah ‘hijrah’. Terkadang juga ada yang terbawa arus merasa sok suci, kebenaran tunggal, menganggap orang lain masih dalam keadaan ‘kafir’ dan ‘munafik’, di luar dari komunitas mereka yang telah ‘hijrah’.

Maka sangat urgen sekali apabila kajian tentang karakter taubat ini menjadi pembahasan dalam rangka mendudukan persoalan dan permasalahan bagaimana perspektif Islam tentang karakter taubat.

Pengertian Taubat

Secara kebahasaan, kata taubat berasal dari kata ‘taaba’, artinya ‘kembali.’

Maksudnya adalah kembali dari sesuatu yang tercela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat.

Maka taubat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan kebiasaan berbuat dosa dari hati, kemudian melaksanakan segala ketentuan Tuhan.

Menurut ulama Sufi, taubat adalah penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukannya.

Sedangkan Ibnu Qayyim, taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah menjauhkan diri dari jalan yang dibenci dan sesat, dan tidak berhasil kecuali atas hidayah Allah menuju jalan yang lurus.

Kemudian menurut Sahal bin Abdullah At-Tasturi, taubat adalah bergantinya berbagai gerakan yang tercela dengan berbagai gerakan yang terpuji tetapi hal ini tidak tercapai secara sempurna kecuali dengan berkhalwat, diam dan memakan yang halal.

Sedangkan Qomar Kailani taubat adalah rasa penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.

Maka taubat adalah sebuah ‘keinginan’,  kegandrungan, dan  kebutuhan akan Allah, maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenal-Nya. Oleh karena itu, landasan taubat adalah mencari Allah, mencari hakikat kehidupan ini.

Hakikat Karakter Taubat

Hakikat taubat bukanlah istighfar sebagaimana firman Allah:

“Karena itu beristighfarlah kepadaNya, kemudian bertaubatlah kepadaNya.” (QS. Hud: 61)

Dalam pandangan Al-Ghazali, ia mengatakan, ketahuilah, bahwa taubat adalah suatu pengertian yang tersusun secara berurutan dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi spiritual) dan perbuatan. Pertama, ilmu. Kedua, hal. Ketiga, perbuatan. Yang pertama melahirkan yang kedua sedangkan yang kedua melahirkan yang ketiga.

Ilmu ialah mengetahui besarnya bahaya dosa dan keberadaannya sebagai tabir penghalang antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui hal tersebut secara benar dan dengan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan ini akan muncul suatu rasa sedih di dalam hati akibat kehilangan apa yang dicintai.

Sebab, apabila hati merasa kehilangan apa yang dicintainya maka ia akan merasa sedih, dan setiap hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya. Rasa sedihnya akibat tidak dapat melakukan apa yang dicintainya ini disebut penyesalan.

Bila rasa sedih ini mendominasi hati maka dari rasa sedih di dalam hati ini akan muncul suatu keadaan lain yang disebut iradah (kehendak) dan qashd (keinginan) kepada perbuatan yang memiliki hubungan dengan masa sekarang, masa lalu dan masa yang akan datang.

***

Adapun keterkaitannya dengan masa sekarang adalah dengan meninggalkan dosa yang dilakukannya. Adapun keterkaitannya dengan masa yang akan datang adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang membuatnya kehilangan apa yang dicintai hingga akhir kehidupan.

Adapun keterkaitannya dengan masa lalu adalah dengan menyusuli apa yang terluput dengan mengqadha apabila bisa diqadha. Jadi ilmu merupakan faktor yang pertama dalam perintis bagi berbagai kebaikan. Ilmu yang akan memasukkan ini adalah iman dan keyakinan (al-yaqin).

Sebab iman adalah pengertian tentang pembenaran bahwa dosa merupakan racun yang membinasakan, sedangkan keyakinan adalah pengertian tentang pokoknya kebenaran (tasdiq) ini, tidak hanya keraguan yang menyertainya dan dominasi pembenaran tersebut pada hati sehingga membuahkan cahaya iman bila api penyesalan telah menerangi hati.

Kemudian hati merasa sedih kepadanya sehingga dengan cahaya iman ia dapat melihat bahwa dirinya terhalangi dari Kekasihnya, seperti orang yang mendapat sinar matahari padahal sebelumnya ia berada dalam kegelapan sehingga cahaya itu menyebar dengan hilangnya kabur atau tersingkapnya hijab penghalang, lalu dia melihat Kekasihnya ketika dia sudah berada dalam keadaan nyaris binasa, kemudian api cinta pun menyala di hatinya dan membangkitkan keinginannya untuk segera menyelamatkan diri.

Jadi, pengetahuan, penyesalan dan keinginan yang berkaitan dengan tindakan meninggalkan (dosa yang pernah dilakukan) yang berkaitan dengan masa sekarang, masa yang akan datang dan menyusuri apa yang telah lewat merupakan tiga hal yang tercapai secara berurutan.

***

Ketiganya disebut taubat bahkan seringkali isilah taubat dipakai untuk arti penyesalan saja sedangkan pengetahuan dijadikan sebagai pendahuluan, dan tindakan meninggalkan (dosa yang pernah dilakukan) dijadikan sebagai buah. Dengan pengertian inilah Nabi SAW bersabda: “Taubat adalah penyesalan.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim) Karena penyesalan itu tidak lepas dari pengetahuan yang menuntut konsekuensi dan membuahkannya, di samping tidak terlepas dari azam yang menyertainya; sehingga penyelesaian itu diapit dengan kedua ujungnya yakni buah dan yang membuahkannya.

Dengan pengertian ini dikatakan bahwa arti taubat adalah mencairnya apa yang ada di dalam karena kesalahan yang telah terjadi. Hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.

Dikatakan pula, bahwa taubat adalah api yang menyala di dalam hati dan letupan di dalam hati yang tidak melebar. Atau, taubat adalah melepas pakaian kesangaran dan menyebarkan hamparan kesetiaan. (Hawwa, 2005: 397-398)

Syarat, Kategori, dan Dimensi Karakter Taubat

Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa taubat nasuha itu adalah:

1. Menyesali dosa dalam hati.

2. Memohon ampun dengan lisan.

3. Menghentikan maksiat dengan badan.

4. Berjanji tidak akan mengulangi.

Sabda Rasulullah SAW:

“Penyesalan adalah taubat.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud).

Di antara syarat-syarat taubat yang sebenarnya ialah keteguhan hati untuk tidak kembali melakukan dosa-dosanya lagi pada masa mendatang ataupun dosa lain yang serupa. Keteguhan hati ini harus benar-benar mantap. Perumpamaannya adalah seperti orang sakit yang sudah tahu bahwa buah-buahan bisa membuat penyakitnya bertambah parah. Lalu dia teguh hati untuk tidak memakan sedikitpun buah-buahan selagi dia masih sakit kesibukan hati ini memang efektif untuk saat itu, sekali pun dia juga masih membayangkan bagaimana jika pada saat berikutnya dia tidak mampu membendung keinginannya untuk makan buah-buahan. Dia tidak akan taubat selagi  tidak mempunyai keteguhan hati saat itu pula untuk tidak makan buah-buahan. Sulit digambarkan orang yang bertaubat saat permulaannya akan mampu melaksanakannya kecuali dengan cara menyendiri, diam, tidak banyak makan dan tidur, mencari makanan yang halal, membiarkan nafsu makan dan pakaian. (Qudamah, 2017: 328-329)

***

Sedangkan menurut Al-Kalabadzi, taubat itu mempunyai tiga kategori: Pertama, meninggalkan segala kemaksiatan dan berbuat baik secara terus-menerus. Kedua, keluar dari kejahatan dan memasukan kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga,  secara kontinu bertaubat walaupun tidak berbuat dosa.

Kemudian taubat yang sempurna harus memiliki 5 dimensi, yakni:

1. Menyadari kesalahan.

2. Menyesali kesalahan.

3. Memohon ampun kepada Allah SWT.

4. Berjanji tidak akan mengulanginya.

5. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal saleh.

Keutamaan Karakter Taubat

1. Bertaubat bukan saja harus dilakukan oleh orang yang pernah melakukan dosa akan tetapi orang-orang yang beriman pun harus selalu bertaubat kepada Allah.

Baca Juga  Emansipasi Wanita dan Jilbab Menurut Qasim Amin

Firman Allah SWT:

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,  hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

2. Bahkan orang yang beriman pun dianjurkan untuk bertaubat yang sempurna (taubat nasuha).

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (QS. At-Tahrim: 8)

3. Allah sangat mencintai orang yang memiliki karakter taubat.

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia juga mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

4. Orang yang memiliki karakter taubat adalah pertanda orang yang senantiasa selalu mensucikan dirinya dan dekat dengan Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat seorang hamba yang beriman, ketimbang (kegembiraan) seseorang yang singgah di sebuah tempat yang berbahaya dan membinasakan, ia membawa serta tunggangan  yang memuat makanan dan minumannya, kemudian ia merebahkan kepadanya hingga tertidur nyenyak. Setelah bangun, ia mendapati tunggangannya telah pergi, lalu ia pun mencarinya. Setelah merasa kepanasan dan kehausan, atau apa yang dikehendaki Allah dia berkata, ‘Aku kembali ke tempatmu yang aku pakai untuk tidur lalu aku akan tidur hingga mati.’ Kemudian dia meletakkan kepalanya di atas lengannya untuk bersiap-siap mati. Tetapi kemudian ia terbangun dan mendapatkan tunggangannya beserta bekal dan minumannya.  Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat seorang hamba yang beriman ketimbang kegembiraan yang mendapatkan tunggangannya ini.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

***

5. Orang yang berkarakter taubat senantiasa melanggengkan berbuat kebaikan di mana saja dan kapanpun.

Sabda Rasulullah SAW:

“Takutlah kepada Allah di mana saja kamu berada dan susulilah keburukan dengan kebaikan, pasti Allah akan menghapuskannya.” (HR. Turmidzi)

6. Penyesalan terhadap dosa-dosa merupakan karakter taubat.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila dosa-dosa hamba sudah banyak sedangkan dia tidak memiliki amal perbuatan yang dapat menghapuskannya maka Allah memasukkan berbagai kesedihan ke dalamnya sehingga kesedihan-kesedihan itu menjadi kafarat bagi dosa-dosanya.” (HR. Ahmad)

7. Perbuatan-perbuatan yang baik akan dapat menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah bukti bahwa kuatnya komitmen orang yang memiliki karakter taubat.

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)

***

8. Karena dunia adalah ujian dan cobaan bagi seluruh manusia maka Allah menerima taubat manusia sampai datang kematian.

Sabda Rasulullah SAW:

“Di zaman orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang membunuh 99 orang, lalu dia bertanya tentang orang yang paling alim di dunia lalu ditunjukkan kepada seorang pendeta hingga dia mendatanginya seraya berkata bahwa dirinya telah membunuh 99 jiwa, maka apakah masih diterima taubatnya? Pendeta itu menjawab, ‘Tidak.’  Kemudian laki-laki itu pun membunuhnya hingga genap 100. Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling alim di dunia lalu ditunjukkan kepada seorang alim. Dia berkata kepadanya bahwa dirinya telah membunuh 100 jiwa, apakah masih diterima obatnya? Orang alim itu menjawab, ‘Ya, siapa yang menghalanginya untuk bertaubat. Pergilah ke suatu daerah ini dan ini karena di sana ada orang-orang yang menyembah Allah, sembahlah Allah bersama-sama dengan mereka, dan janganlah kamu kembali ke negerimu karena ia adalah negeri yang buruk.’ Kemudian orang itu pun berangkat hingga meninggal di tempat perjalanan. Selalu para malaikat rahmat bertengkar dengan para malaikat siksa. Malaikat rahmat berkata, ‘Dia datang dalam keadaan bertaubat dan kembali kepada Allah dengan hatinya.’ Malaikat siksa berkata, ‘Dia belum berbuat kebaikan sama sekali.’ Kemudian seorang malaikat mendatangi mereka dalam wujud manusia lalu mereka menjadikannya sebagai hakim di antara mereka. Malaikat yang menjadi hakim itu berkata, ‘Ukurlah antara dua daerah kepada daerah mana ia lebih dekat.’ Kemudian mereka mengukurnya dan ternyata ia lebih dekat kepada daerah yang ditujunya, lalu malaikat rahmat pun membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

9. Ritual ibadah dalam bentuk wudhu adalah sebagai sarana untuk pengampunan dosa.

Sabda Rasulullah SAW:

“Tidaklah seseorang melakukan suatu dosa,  lalu dia wudhu dan membaguskan wudhunya, Kemudian salat dua rakaat dan memohon ampunan kepada Allah SWT melainkan dosa-dosanya telah diampuni.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Tingkatan Karakter Taubat

Tingkat pertama, orang bermaksiat yang melakukan taubat dan istiqamah di atas taubat hingga akhir kehidupannya lalu menyusuri kekurangannya dan tidak berkeinginan untuk mengurangi dosa-dosanya, kecuali berbagai ketergelinciran yang pada umumnya memang tidak bisa dihindari  manusia yang tidak berada pada tingkat kenabian. Inilah yang disebut istiqamah di atas taubat.

Pelakunya adalah orang yang bersegera melakukan berbagai kebaikan dan mengganti berbagai keburukan dengan berbagai kebaikan. Taubat ini disebut taubatan nasuha. Sedangkan jiwa yang tenang ini disebut an-Nasf al-Muthma’innah, yang kembali kepada Tuhannya dengan penuh ridha dan diridhai. Mereka inilah yang diisyaratkan oleh sabda Nabi SAW:

“Telah mendahului orang yang menyendiri, yang sangat gemar berzikir kepada Allah;  zikir itu telah menyingkirkan beban-beban berat mereka, lalu mereka datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan.” (HR. Tirmidzi)

Di dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa mereka tertindih beban yang dapat disingkirkan oleh zikir. orang-orang yang ada pada tingkat ini terbagi, dari segi kecenderungan kepada syahwat, menjadi:

***

1. Orang yang bertaubat, yang telah tenang syahwatnya di bawah tekanan ma’rifah lalu kecenderungannya melemah dan tidak menyebabkan dirinya untuk melakukan perlawanan terhadapnya;

2. Orang yang tidak melepas dari perlawanan nafsu tetapi dia serius dalam melakukan mujahadah dan menolaknya.

Kemudian tingkatan-tingkatan kecenderungan ini juga berlainan; sesuai dengan banyak dan sedikitnya; lama dan sebentarnya; dan berbagai ragam bentuknya. demikian pula mereka berlainan dari segi panjangnya usia. ada yang segera ‘dipundut’ tidak lama setelah taubatnya sehingga ada yang ‘iri” atas keselamatannya dan kematiannya sebelum mengalami kelesuan.

Ada yang diberi tempo sehingga bisa melakukan jihad dan kesabaran dalam waktu yang lama dan banyak melakukan kebaikan. Keadaan orang ini lebih tinggi dan lama dan lebih utama, karena setiap keburukan hanya bisa dihapuskan dengan kebaikan.

Tingkatan kedua, orang yang bertaubat yang menempuh jalan istiqamah dalam induk-induk ketaatan dan meninggalkan semua dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa-dosa yang membelitnya. ia tidak sengaja melakukan sesuatu disebut, tetapi tergoda oleh dosa-dosa itu di tengah gejolak keadaannya.

Ia tidak pernah bertekad untuk melakukannya, tetapi setiap kali terjerumus melakukannya,  ia mencela dirinya menyesali dan memperbaharui tingkatnya untuk berjuang menghindari sebab-sebab yang mengakibatkannya melakukan dosa-dosa tersebut.

***

Nafsu ini sangat tepat disebut sebagai an-Nafs al-Lawwamah;  karena pemilik nafsu ini mencela berbagai keadaan tercela yang dilakukannya bukan karena sengaja. Ini juga merupakan tingkatan yang tertinggi, sekalipun di bawah tingkatan yang pertama.

Tingkatan ini merupakan keadaan umum dari orang-orang yang bertaubat, karena keburukan beraduk menjadi satu dengan tanah yang menjadi asal penciptaan Adam yang hampir tidak terlepas darinya.

Puncak usaha yang bisa dilakukannya adalah dengan mengalahkan keburukan dengan memperbanyak kebaikan sehingga memperberat daun timbangan kebaikannya. Sedangkan melepaskan diri dari kuburkan secara total maka hal ini sangat jauh kemungkinannya.

Mereka ini mendapat janji kebaikan dari Allah sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya: “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhan Maha Luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32)

Setiap dosa kecil yang dilakukan bukan karena kesengajaan maka termasuk al-lamam (kesalahan kecil) yang dimaafkan.

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran: 135)

Allah tetap memuji mereka, sekalipun mereka menganiaya diri sendiri, atas penyesalan dan celaan yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri. Kepada tingkatan inilah Rasulullah SAW mengisyaratkan dalam sabdanya:

“Orang mukmin itu seperti bulir; kadang kembali (lurus) dan kadang condong.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban)

Baca Juga  Karakter Zuhud: Bukan Anti Dunia, Tapi Hidup Sederhana

Di dalam sebuah riwayat disebutkan: “Orang mukmin pasti melakukan dosa sewaktu-waktu.” (HR. Tabrani dan Al-Baihaqi)

***

Semua itu merupakan dalil yang tegas bahwa dosa kecil ini tidak merusak taubat dan tidak membuat pelakunya tergolong orang-orang yang meneruskan perbuatan dosa.

Siapa yang membuat pesimis orang seperti (pada tingkatan) ini dari tingkatan orang-orang yang bertaubat adalah seperti dokter yang membuat pesimis orang yang sehat dari kelanggengan kesehatannya akibat memakan berbagai buah-buahan dan makanan-makanan yang pedas sewaktu-waktu dan tidak terus-menerus. Atau seperti seorang ahli fiqih yang membuat pesimis para pelajar fiqih untuk meraih tingkatan fiqih akibat kemalasannya untuk mengulang pelajaran sewaktu-waktu dan tidak berulang-ulang.

Hal ini menunjukkan kekurangan dan kelemahan dokter dan ahli fiqih tersebut. Seorang faqih dalam agama adalah orang yang tidak membuat makhluk pesimis dari tingkatan-tingkatan kebahagiaan hanya karena sesekali mengalami kelesuan dan melakukan kesalahan kecil. Nabi SAW bersabda:

“Setiap anak Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang banyak bertaubat lagi memohon ampunan.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:

“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan.” (QS. Al-Qashash: 54)

Allah tidak menyebutkan sifat mereka dengan  “tidak melakukan keburukan sama sekali.”

***

Tingkatan ketiga, bertaubat dan bertahan di atas istiqamah beberapa saat kemudian dikalahkan oleh syahwat dalam sebagian dosa sehingga dia melakukan dosa itu secara sengaja dan jangan syahwat, karena ketidakmampuannya mengalahkan syahwat.

Tetapi, sekalipun demikian kemudian tetap tekun melakukan berbagai ketaatan dan meninggalkan sejumlah dosa sekalipun didukung oleh kemampuan untuk melakukannya dan syahwat. Dia melakukan sebagian dosa itu hanya karena dikalahkan oleh satu atau dua syahwat tetapi dia tetap berkeinginan mendapatkan karunia Allah untuk bisa mengalahkan syahwatnya dan menghentikan keburukannya.

Inilah keinginannya ketika telah melampiaskan syahwatnya seraya berkata menyesali dirinya, “Duhai sekiranya aku tidak melakukannya. aku akan bertaubat darinya dan berusaha keras untuk mengalahkan nafsuku.” Tetapi nafsunya selalu menggodanya dan mengajaknya menunda-nunda taubat, waktu demi waktu,  hari demi hari. Nafsu inilah yang disebut an-Nafs al-Musawwilah (nafsu yang selalu menggoda), sedangkan orangnya termasuk orang-orang yang disebutkan Allah dengan firmanNya:

“Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.” (QS. At-Taubah: 102)

Ketekunannya dalam melakukan berbagai ketaatan dan kebenciannya terhadap dosa-dosa yang dilakukan yaitu merupakan tumpukan harapan semoga Allah menerima taubatnya, tetapi penundaan taubatnya itu sangat berbahaya karena bisa jadi nyawanya dicabut sebelum sempat bertaubat lalu urusannya terpulang kepada kehendak Allah.

***

Jika Allah menyusulinya dengan karunia-Nya dan mengaruniakan taubat kepadaNya maka dia dapat bergabung dengan orang-orang yang tergolong pada tingkat terdahulu; tetapi jika kecelakaan dan syahwat telah menguasai dirinya maka sangat dikhawatirkan di akhir kehidupannya akan berhak mendapati apa yang telah ditetapkan di alam azali.

Sebab jika seorang pelajar, misalnya, tidak mampu menghindari hal-hal yang menghambat pembelajaran dan pengetahuan maka sesungguhnya tidak mampunya itu menunjukkan bahwa di alam azali dia telah ditetapkan termasuk orang-orang yang bodoh sehingga harapannya sangat rendah. Tetapi jika dimudahkan baginya sebab-sebab mendapatkannya bahkan saat itu menunjukkan bahwa dikehendaki Allah kebaikan.

Tingkatan keempat, bertaubat dan berlangsung istiqamah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan dosa atau banyak dosa tanpa memiliki hasrat untuk bertaubat, dan tanpa menyesali perbuatannya, bahkan tenggelam di dalam dosa seperti orang lalai yang memperturutkan syahwatnya.

***

Orang ini termasuk golongan orang-orang yang meneruskan dosa-dosanya. Jiwa ini disebut an-Nafs al-Amarah bis-suu’ (nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan),  yang lari dari kebaikan, orang ini dikhawatirkan menemui su’ul khatimah dan urusannya terpulang kepada kehendak Allah. Jika diakhiri dengan keburukan maka dia menjadi orang yang celaka selama-lamanya; jika diakhiri dengan kebaikan hingga mati di atas tauhid maka masih punya penantian untuk dibebaskan dari api neraka sekalipun setelah beberapa waktu, dan tidak mustahil akan termasuk ke dalam pengampunan umum disebabkan oleh hal yang tersembunyi yang tidak kita ketahui. (Hawwa, 2005: 408-412)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tingkatan karakter taubat terdiri dari tiga:

1. Orang awam; bertaubat hanya untuk dosa-dosa besar;

2. Orang khusus (khawash) selain bertaubat dari dosa-dosa besar ia juga bertaubat dari dosa-dosa kecil yang lebih halus.

3. Orang super khusus (khawashil khawash); dia bertaubat bukan karena maksiat kepada Allah tetapi karena dalam ilmu Allah.

Kemudian Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat itu kepada tiga tingkatan:

1. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.

2. Beralih dari suatu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut ‘inabah’.

3. Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.

Indikator Psikologis Diterimanya Taubat Seorang Hamba

Menurut Al-Ghazali ada beberapa indikasi diterima taubat seseorang, yaitu:

1. Orang yang taubatnya diterima karena dia mengetahui dan merasakan bahwa dirinya menjadi terpelihara dan selalu terhindar dari kemaksiatan.

2. Dia merasakan bahwa kegembiraan dan kesenangan akan kemaksiatan menjadi lenyap dari hatinya dan dia selalu merasa disaksikan oleh Tuhan.

3. Dia menjadi senang berdekatan dengan orang yang ahli melakukan kebaikan dan menjauhi orang yang fasik.

4. Dia melihat harta duniawi yang walaupun sedikit sebagai suatu yang banyak dan melihat amal akhirat yang begitu banyak sebagai sesuatu yang hanya sedikit.

5. Hatinya selalu sibuk dengan hal-hal yang difardhukan oleh Allah atasnya.

6. Dia menjadi orang yang senantiasa memelihara dan menjaga lidahnya.

7. Dia senantiasa berpikir dan melakukan perenungan, menyesali kesalahan dan dosa-dosa yang pernah dilakukan. (Al-Ghazali, 2000: 51)

Maka ciri-ciri utama diterimanya taubat adalah:

1. Orangnya makin bersih dari maksiat dan mungkin bisa menahan diri.

2. Hatinya selalu lapang dan gembira karena dihibur Allah.

3. Suka bergaul dengan orang dan lingkungan yang baik.

4. Amalnya meningkat.

5. Senantiasa menjaga lisan.

Transformasi Karakter Taubat dalam Kehidupan yang Autentik

Apabila dosanya berkaitan dengan manusia, selain taubat kepada Allah, juga harus ishlah (memperbaiki hubungan) kepada orang yang pernah dizalimi. Dosa atau kezaliman itu yang berkaitan dengan:

1. Hartanya; menipu mencuri dll.

2. Jiwanya; memukul membunuh dll.

3. Akhlaknya; mencaci, ghibah, dll.

4. Kehormatannya memfitnah, menuduh dll.

5. Agamanya;  menghukumi tanpa ilmu, dll.

Hikmah Memiliki Karakter Taubat

Adapun hikmah memiliki katakter taubat adalah:

1. Taubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah kepada hati hamba-Nya.

Firman Allah SWT:

Kemudian Tuhan memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha: 122)

2. Kesungguhan bertaubat akan mendapat bimbingan dari Allah.

Firman Allah SWT:

“Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. Al Insan: 29- 30)

3. Orang yang bertaubat memiliki komitmen taubat yang berbanding lurus dengan kebenaran yang dikehendaki Allah.

Firman Allah SWT:

“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat mengendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)

4. Yang tidak langgeng melakukan pertaubatan maka termasuk kepada orang yang zalim kepada diri sendiri.

Firman Allah SWT:

“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

5. Apabila jauh dari pertaubatan maka akan terasa kesempitan dalam hidup.

Firman Allah SWT:

“Barangsiapa  yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124)

***

6. Orang yang senantiasa bertaubat akan tercerahkan dan terjauh dari hati yang buta.

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah qalb-qalb (qalbun) yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)

Baca Juga  Budaya dan Karakter Bangsa: Perspektif Islam

7. Orang yang bertaubat selalu bersikap optimis karena Allah adalah maha penerima taubat.

Firman Allah SWT:

“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

8. Kemauan untuk bertaubat akan mendapatkan kebahagiaan sedangkan keindahan untuk bertaubat akan berakibat fatal di akhirat kelak.

Firman Allah SWT:

“Supaya  jangan ada orang yang mengatakan: ‘amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS az-zumar 56)

9. Orang yang langgeng dengan bertaubat tidak akan menyalahkan Allah di akhirat kelak.

Firman Allah SWT:

“Atau supaya jangan ada yang mengatakan: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.’ Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab: ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali ke dunia, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Az-Zumar: 57-58)

10. Setiap waktu dan saat Allah selalu menerima pertaubatan hambaNya sebelum ajal menjemput dan sebelum kiamat datang.

Firman Allah SWT:

“Dan Allah hendak menerima taubatmu.” (QS. An-Nisa: 27)

***

11. Setiap siang dan malam Allah selalu membentangkan ‘tangan’-Nya untuk menerima pertaubatan hambaNya.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sungguh, Allah membentangkan tanganNya setiap malam agar orang yang berbuat kejelekan di siang hari mau bertaubat. Dan Dia juga membentangkan tanganNya di siang hari agar orang yang berbuat kejelekan di malam hari mau bertaubat.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad)

12. Di sepertiga malam adalah menjadi waktu yang istimewa dalam memajukan doa pertaubatan kepadaNya.

Sabda Rasulullah SAW:

“Tuhan kita turun setiap sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu untuk Aku kabulkan permohonannya; siapa yang meminta padaKu, untuk Aku penuhi permintaannya; dan siapa yang mohon ampun kepadaKu untuk Aku ampuni dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

13. Allah sangat serius untuk mengampuni dosa-dosa hambaNya karena pengampunanNya lebih luas daripada azabNya.

Dalam Hadis Qudsi dikatakan:

“Wahai Bani Adam, kalian tidaklah (sungguh-sungguh) berdoa dan mengharap padaKu, Aku akan mengampuni dosa-dosa kalian dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, jikalau dosa kalian mencapai awan di langit, lalu kalian minta ampun padaKu, Aku akan mengampuni kalian, dan aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, jikalau kalian datang kepadaKu dengan dosa sebesar ukuran bumi, tetapi kemudian kalian mendatangiKu dengan tanpa berbuat syirik padaKu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Turmudzi)

14. Orang yang bertaubat mendapat kebahagiaan lahiriyah dan batiniyah.

Firman Allah SWT:

“Wahai orang-orang yang beriman, kembalilah kepada Allah (bertaubatlah) kalian semua, wahai (hamba-hambaKu) yang (mengaku) beriman, agar kalian semua bahagia “ (QS. An-Nur: 31)

Memelihara Karakter Taubat

Untuk memelihara karakter taubat, amaka harus dipahami, bahwa bertaubat adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (QS. At-Tahrim: 8)

Perintah dalam ayat tersebut di atas menunjukkan arti perintah wajib. Jadi bertaubat menjadi sebuah kewajiban bagi orang yang beriman.

Bertaubat sesungguhnya cara kita sebagai hamba untuk menginstal kembali kesadaran Ilahi dalam diri insani, terlepas dari kita berbuat dosa atau tidak. Hal tersebut supaya kita selalu memposisikan diri sebagai hambaNya yang selalu butuh padaNya dan tidak melupakanNya walau sedetik sekali pun. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasih.” (QS. Al Hasyr: 19)

Maksud dari, “dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah.” Yakni mereka lupa dengan janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah, dan membuang ajaran kitab suci Allah di belakang punggung mereka.

***

Ayat selanjutnya: “Lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” Yakni Allah menjadikan mereka lupa dengan kondisinya sendiri,  sehingga mereka tidak dapat mencegah diri dan tidak pula mampu mengemukakan kebaikan buat diri mereka sendiri.

Maka esensi dari taubat adalah sebuah ‘lorong’ waktu bagi setiap hamba untuk berkhalwat dalam rangka ‘beraudiensi’ dengan Allah, baik dalam kesendirian maupun keramaian. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang cinta (suka) bertemu pada Allah maka Allah juga suka bertemu dengannya. Barangsiapa yang benci tidak suka bertemu Allah maka Allah benci bertemu dengannya.”

Kemudian perlu dipahami, bahwa hanya Allah yang memiliki hak prerogatif yang menerima taubat seluruh umat manusia tanpa diminta dan dipungut uang dan ‘upeti’ satu rupiah pun, bukan ‘oknum’ yang mengaku sebagai ‘al-mahdi’, ‘utusan’, ‘nabi’ palsu, ‘syeikh’ atau ‘ustadz’ gadungan, lembaga atau institusi dan organisasi tertentu. Seperti firman Allah SWT:

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Syura: 25)

***

Bagaimana pun kasih sayang Allah teramat luas dibandingkan azab dan murkanya, sehingga Ia selalu menerima setiap pertaubatan dari hamba-hambaNya. Maka tergantung sejauhmana kesadaran diri sang hamba untuk segera ‘mendekap’ dalam ‘pelukan’ cintaNya. Seperti firman Allah:

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh;  maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan, dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS’ Al-Furqsn: 68-70)

Setiap waktu Allah memangil kesadaran diri sejati untuk ‘merapatkan’ hati dan diri kepadaNya, sehingga Allah memberikan ‘sinyal’ Langit dengan firmanNya:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah….” (QS. Al Hadid: 16)

Ketika diri kita selalu di ‘refresh’ secara simultan tentu kita ‘kembali’ tercerahkan secara spiritual dan berada di jalan yang benar dengan bimbinganNya, sebagaimana firmanNya:

“Dan jika mereka bertaubat, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-Taubah: 11)

Maka tidak ada alasan lain bagi kita, bahwa kita harus senantiasa memelihara karakter taubat pada diri kita dan lingkungan kita. Sebab hal tersebut sejalan dengan firman Allah:

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya surga langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)

***

Rasulullah SAW sebagai manusia yang terpelihara dari dosa dan kesalahan pun terus-menerus bertaubat setiap hari, apalagi kita hanya manusia biasa yang sering salah, khilaf dan berbuat dosa tentu harus banyak bertaubat kepada Allah, seperti sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari/” (HR. Bukhari)

Mungkin lafaz doa pertaubatan berikut ini menjadi komitmen kontiuntas kita sebagai hamba untuk menjiwai karakter taubat dalam mengarungi hidup, seperti doa:

“Allahummaj’al ni minat-tawwabiin, waj’alni minal muthahhirin.”

Artinya:

“Ya Allah, jadikan hamba termasuk ke dalam mereka yang bertaubat (at-tawwabiin), dan jadikan hamba termasuk ke dalam mereka yang mensucikan (al-muthahhiriin).”

Maka tidak perlu berputus asa dalam bertaubat, karena Allah maha penerima taubat, seperti sabda Rasulullah SAW:

Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba pasti dosa tidak akan membahayakannya.”  (HR. Ibnu Majah) 

Dari penjelasan di atas, maka karakter taubat bukanlah milik para pendosa, tetapi menjadi karakter semua insan ciptaan Allah. Sebab antara entitas cermin dan yang di depan cermin serta laut dan ombak tidak mungkin dapat dipisahkan. Begitu juga entitas ruh-Nya dalam diri manusia: Manusia adalah citra Ilahi.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds