Feature

Kartu T-Money dan Inspirasi Kebaikan

4 Mins read

Ini adalah cerita suatu siang di akhir Januari, beberapa tahun silam. Saat itu, musim dingin di Korea Selatan sedang berada pada puncaknya. Sejak pagi, salju turun lebat. Mobil penyapu jalanan pun dibuat sibuk hari itu. Mereka mondar-mandir menghalau tumpukan salju yang terhampar di jalanan, yang seolah tak ada habisnya. 

Kegembiraan Menjadi Minoritas

Hari itu, saya berkesempatan untuk melaksanakan salat Jumat di Negeri Ginseng, yang pernah saya singgahi selama hampir lima tahun. Selalu ada kegembiraan tersendiri, ketika kita bisa melaksanakan syariat agama di tengah keterbatasan dan kesulitan sebagai seorang muslim–yang notabene-nya menjadi kaum minoritas–di negara ini. 

Tujuan saya kali ini adalah Masjid Ar-Rabithah, atau sering disebut Masjid Anyang. Letaknya di sekitar Anyang University. Untuk mencapai masjid ini, saya harus melewati sebuah tanjakan curam, tepatnya di depan gerbang Anyang University.

Meskipun sudah berulang kali saya melewati jalan menanjak ini, tetap saja tak membuatku bersahabat dengannya. Tumpukan salju memperburuk keadaan, saya sempat terjatuh (entah kali ini sudah yang ke berapa), namun untungnya tidak sampai terluka. 

Kalau dari Kota Uiwang, tempat saya tinggal saat itu, untuk menuju Masjid Anyang, saya biasanya cukup menempuh perjalanan dengan bus sekitar 30 menit. Akan tetapi, dari halte terdekat menuju masjid saya, masih harus berjalan lumayan jauh, sekitar 10 menit. Jarak tempuh yang masih tergolong singkat, untuk ukuran rata-rata warga muslim di sini dalam hal urusan mencari masjid terdekat dari tempat tinggal mereka.

Tentu bukan fakta yang mengejutkan, jika untuk dapat melaksanakan ibadah salat Jumat di Korea Selatan dibutuhkan upaya yang tidak mudah. Kita terkadang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan naik kereta atau bus untuk menemukan masjid, atau mushala.

Baca Juga  Pak Malik, Literasi, dan Pergerakan

Dalam hal ini, rasanya saya harus bersyukur, karena jarak Masjid Anyang dari tempat tinggal saya tidak begitu jauh. Selemparan batu, kalau kata sebagian teman saya. Meskipun faktanya untuk ke sini saya butuh waktu hampir 45 menit.

Perlu Niat yang Kuat dalam Beribadah

Siang itu suhu di luar menukik 8 derajat di bawah nol. Tentu kondisi yang membuat kita sebagai makhluk tropis merasa tersiksa dan serasa hidup di habitat yang lain. Namun, di sisi lain, dengan adanya kesusahan–atau kalau boleh saya sebut pengorbanan– seperti inilah yang membuat saya mengerti akan arti pentingnya menjalankan agama dalam berbagai situasi dan kondisi.

Kita dapat memahami secara sadar, bahwa dalam setiap ibadah yang kita lakukan, di situ perlu diletakkan niat yang kuat, kemudian dilakukan dengan sebaik-baik upaya yang kita bisa. 

Salat Jumat di Masjid Anyang biasanya dimulai pada jam 1:30 waktu setempat. Karena di jam tersebut, dapat dipastikan sudah masuk waktu zuhur, apa pun musimnya. Seperti kita ketahui, waktu salat di daerah subtropis memang selalu berubah tergantung musimnya. 

Seperti biasanya, salat Jumat siang itu cukup singkat. Sang Imam dan khatib–seorang berkebangsaan Bangladesh– berkhutbah kurang dari sepuluh menit. Satu hal yang cukup unik dari tempat ini adalah, selepas salat kita akan dijamu makan siang gratis. Tentu dengan menu khas Asia Selatan yang cukup kental dengan aroma karinya.

Sebenarnya, saya tak begitu menyukai makanan yang aromanya terlalu menyengat. Namun, sesekali saya ikut makan bersama jamaah lain di sana. Awalnya kurang cocok, akhirnya jadi suka. Meskipun sebenarnya saya ragu entah karena suka beneran, atau terpaksa ikut makan karena tidak ada pilihan lain.

Baca Juga  Ibu adalah Pahlawanku, Bukan Kartini

Selesai salat Jumat, saya bergegas untuk pulang. Udara dingin benar-benar membunuh hasrat untuk berlama-lama di luar. Saya kembali melewati turunan curam itu lagi, kali ini saya benar-benar memperhatikan langkah. Jika tidak, bisa-bisa saya terjatuh dan menjadi bola salju, menggelinding lima puluh meter sampai di bawah sana. Jangan sampai.

T-Money dan Kebaikan Seorang Ibu

Setelah tiba di halte, saya masih harus menunggu sampai bus jurusan Kota Suwon itu datang. Serasa menit demi menit berjalan begitu lambat. Selang waktu berlalu, bus yang ditunggu pun datang, dan saya bergegas naik. Saat saya menempelkan kartu lalu lintas pada mesin T-Money yang ada di depan pintu, ada suara lain yang terdengar dari biasanya. 

Mesin yang biasanya merespon setiap kartu yang menempel padanya dengan satu sinyal suara dan menampilkan jumlah sisa saldo saat itu, kini malah ceramah. “Jan-aeg-i bojog hamnida!!” (Saldo kartu Anda tidak mencukupi!)

Rupanya siang itu saya lupa mengisi ulang kartu T-Money saya. Sial adanya, ketika saya membuka dompet untuk mengambil uang cash yang ada hanya pecahan 10 ribuan (kalau membayar ongkos dengan cash harus dengan uang pas).

Saya mencoba memanfaatkan identitas saya sebagai orang asing dengan mencoba meminta belas kasihan kepada pak sopir agar diperbolehkan membayar dengan uang pecahan sepuluh ribuan. “Andwaeyo!” (Tidak bisa!), jawab pak sopir yang membuat saya berpikir harus turun lagi di halte depannya.

Di luar dugaan saya, tiba-tiba ada seorang ibu yang berdiri dari tempat duduknya, dari kursi belakang kemudian berjalan ke arahku sambil mengeluarkan kartu lalu lintas miliknya. “Biarkan dia bayar dengan punyaku ini!”, Kata ibu tersebut kepada pak sopir sambil menempelkan kartunya di mesin T-money. Dengan sedikit senyum, ibu tersebut sekilas menatap saya tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya, kemudian ia kembali ke tempat duduknya.

Baca Juga  IAIN Kerinci: Pilot Moderasi Beragama di Kerinci

Sambil berjalan mencari tempat duduk di belakang, saya hampiri ibu tersebut, tak lupa saya ucapkan terima kasih. Dan ibu itu pun tersenyum dengan ramah, kulihat dia begitu pandai memahami maksudku. 

Setelah duduk sejenak, dalam hatiku berkata: ”Ternyata, di mana pun masih dan akan terus ada orang yang peduli dengan kesusahan orang lain. Tak terkecuali di negeri ini.” 

Kebaikan yang Kita Terima Adalah Sebuah Inspirasi

Ibu tersebut telah mencontohkan kepada saya cara terbaik memanfaatkan selembar kartu T-Money miliknya. Begitu pula, wajib bagi saya untuk mencontohnya. Bukankah setiap kebaikan yang kita terima sejatinya adalah inspirasi bagi kita untuk melakukan hal serupa kepada orang lain? Sehingga di dunia ini akan semakin mudah kita temukan tangan-tangan berhati emas terulur kepada mereka yang membutuhkannya.

Dua halte sebelum saya turun, ibu tersebut memencet tombol stop. Bus berhenti, perlahan dia beranjak dari kursinya menuju pintu keluar. Sebelum mencapai pintu tersebut, kembali dia menengok ke arah saya. Saya tundukkan sedikit kepala sambil melemparkan seulas senyum. 

Sepanjang waktu menunggu jum’atan dimulai, sampai khutbah selesai saya sempat dibekap kantuk karena hangat dan empuknya karpet Masjid Anyang. Hampir tak ada yang dapat saya bawa pulang sebagai bekal pengetahuan dari apa yang disampaikan khatib dari mimbar Jumat yang singkat itu. Akan tetapi, ternyata Allah memberikan satu pelajaran berharga dari latar perjalanan menuju rumah-Nya siang itu. 

Jangan pernah berhenti untuk berbuat baik, termasuk kepada orang yang tidak kita kenal sekalipun.

Editor: Lely N

Avatar
6 posts

About author
Seorang Pekerja Profesional dan Interpreter Bahasa Korea
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *