Ilmu Sosial yang Tak Berdaya
Tidakkah kita melihat bahwa konflik antara ilmu sosial dan ilmu alam nampak begitu nyata? Kedua ilmu ini berjalan saling senggol dan saling menumbangkan. Dan, di Indonesia, Ilmu sosial adalah disiplin yang tumbang dan tunduk di bawah dominasi ilmu alam dengan legitimasi positivistiknya. Dominasi ini terlihat begitu nyata dalam ajang lomba karya ilmiah mahasiswa.
Seharusnya, ruang lingkup akademis memberi ruang seluas-luasnya dalam mengembangkan kekayaan intelektual mahasiswa, terutama dalam ranah teoritis yang semakin hari terlupakan. Akan tetapi, faktanya, dasar teoritis tergerus dan lumpuh di hadapan orientasi pragmatis.
Teori-teori hanya dimaknai sebagai pajangan tanpa fungsi signifikan. Sehingga, segala bentuk hal-hal praktis, seperti teknologi pendingin udara, alat mempercantik ruangan, alat pembersih, alat pembelajaran, permainan yang dimodifikasi, dan alat-alat praktis lainnya menjadi orientasi dalam berbagai ajang lomba karya ilmiah mahasiswa.
Orientasi praktis ini akhirnya mengerdilkan ruang pertarungan pengetahuan di ranah teoritis dan diskursus yang pada fakta sosialnya menghasilkan perubahan radikal.
Revolusi Hijau
Jika kita ingat sedikit tentang wacana pembangunan, maka kita akan ingat pula pada program revolusi hijau. Fakih (2011) menyebut bahwa revolusi hijau merupakan satu-satunya wacana revolusi yang tidak ditakuti oleh penguasa pada saat itu. Sebab, revolusi hijau menaungi ideologi kapitalisme negara dunia ketiga.
Revolusi hijau bergerak dalam bidang teknologisasi dan industrialisasi pertanian yang sejatinya menindas para petani kecil. Revolusi hijau menjadikan petani kecanduan dengan produk bibit, zat kimia, dan alat berat pertanian yang diproduksi negara-negara adi daya (Fakih, 2011). Fenomena tersebut menunjukkan betapa kuatnya dampak diskursus atau wacana pada masyarakat secara massif hingga ke akar rumput.
Narasi dan diskursus revolusi hijau ini gagal dibatalkan di Indonesia. Maka dari itu, Indonesia terjebak dalam ketergantungan panjang pada negara adi daya. Keterjebakan ini terjadi, karena Indonesia terlalu meremehkan peran narasi, wacana, atau diskursus yang syarat ideologi dan kepentingan. Kelalaian akan analisa kritis tentang hal-hal teoritis dan terselubung inilah yang akhirnya semakin memperkeruh situasi sosial.
Orientasi Praktis yang Dipuja Akademisi Kampus
Kini, ruang lingkup akademis mahasiswa sebagai generasi intelektual bangsa juga mengalami keterpurukan. Orientasi praktis semakin menubuh dalam ajang lomba karya ilmiah nasional.
Tubuh ruang intelektual mahasiswa digerogoti habis-habisan oleh virus yang bernama pragmatisme. Ilmu sosial dengan dasar analisa kritis yang mengusik kekuasaan dan diskursus kepentingan semakin ditindas habis-habisan.
Gagasan sosial yang diterima hanya yang mendukung kemapanan kekuasaan dan kekayaan budaya dengan paradigma usang. Bahkan, departemen perguruan tinggi berbasis ilmu sosial pun tidak kalah gencarnya dalam memuja orientasi pragmatis yang dangkal.
Orientasi Pragmatisme dalam Lomba Karya Ilmiah
Jika kita telusuri secara seksama dalam akun-akun media sosial, para penyelenggara lomba karya ilmiah, maka akan terlihat sang juara adalah para pencipta teknologi, pencipta alat, pencipta robot, pencipta permainan dengan dalih media pembelajaran dsb.
Sang juara dengan gagasan teoritis, analisis, kritis, dan progresif, begitu muskil terlihat. Entah, karena gaya menulisnya yang tidak diakui secara ilmiah, referensinya kurang banyak, atau justru para penyelenggara lomba yang mabuk berat paradigma prargmatis.
Ini adalah dilema sekaligus ketertindasan yang nyata bagi para mahasiswa dengan basis ilmu sosial yang murni. Ilmu sosial yang berusaha bergerak menjaga nalar kritis manusia di abad teknologi dengan degradasi kemanusiaan yang telihat semakin nyata. Ilmu sosial yang berjuang menuju jalan kesunyian penuh cinta di bawah kendali sanubari rasa.
Kini, media sosial menjadi alat globalisasi yang semakin kokoh. Orientasi pragmatis karya ilmiah harusnya mulai dikurangi. Fokus nalar kritis berbasis ontologis disiplin ilmu sosial perlu diberi ruang agar kewarasan dan bencana sosial seperti, kekerasan, pemerkosaan, kemiskinan, dsb dapat ditilik dan diselesaikan dengan jalan perdamaian melalui jalur intelektual.
Ajang lomba karya ilmiah tidak bisa terus-menerus memusatkan orientasi kemenangan pada hal-hal praktis yang padahal hanya bersifat by design. Penelitian empiris dan teoritis perlu tempat agar kebermanfaatan mencegah dominasi diskursus ilmu pengetahuan di Indonesia dapat terbangun secara kokoh, mapan, dan mantap.
Mahasiswa adalah agen emas intelektual organik. Optimalisasi keseimbangan antara ilmu sosial dengan ilmu alam perlu diperhatikan dan ditinjau lebih lanjut. Ajang lomba karya ilmiah mahasiswa perlu meninjau ulang paradigma yang digunakan sebagai dasar.
Jika, paradigma praktis dan positivistik menjadi paradigma tunggal, maka bersiaplah menghasilkan para pengkhianat-pengkhianat cendikiawan yang baru. Cendikiawan yang mengkhianati marwah intelektual dan terjebak dalam lubang kehampaan pragmatisme kekuasaan (kutipan). Â
Editor: Yahya FR