Dalam sejarah Islam praktik korupsi dalam beberapa bentuknya juga telah ditemukan sejak periode yang paling awal, yaitu sejak zaman Nabi sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Islam di zaman Nabi, khususnya periode Madinah, telah terbentuk masyarakat yang terorganisasi secara rapih.
Bahkan dinyatakan bahwa Madinah merupakan negara kota yang diperlengkapi dengan sebuah konstitusi. Itu berarti di sana telah terbentuk struktur kekuasaan. Dan juga adanya kekayaan publik untuk mengelola dan mendanai kepentingan penyelenggaraan kekuasaan itu.
Dengan demikian, bilamana pada masyarakat semacam itu terdapat praktik korupsi, maka hal itu adalah suatu yang masuk akal.
Pada periode inilah istilah ghulul (penggelapan), suht atau risywah (penyuapan), dan pemberian yang tidak sah kepada para pejabat (hadaya al-‘ummal) dikenal berdasarkan beberapa kejadian.
***
Menurut penelusuran yang sejauh ini dapat dilakukan, ghulul muncul pada peristiwa Perang Badar (tahun 2 H). Yaitu mengenai hilangnya sehelai beludru merah yang merupakan bagian dari harta rampasan perang (Badar) yang diperoleh dari kaum musyrikin.
Baca Juga: Korupsi Biang Keladi Kerusakan Lingkungan
Tetapi ada pula yang menerangkan bahwa yang hilang itu sebuah pedang. Laporan mengenai beludru merah ini disebutkan dalam sejumlah kitab Hadis dan tafsir, seperti Sunan Abu Daud, al-Tirmidzi, Musnad Abi Ya’la, alMu’jam al-Kabir, Tafsir al-Thabari, dan Asbabun Nuzul al-Wahidi. Dalam Sunan Tirmidzi ditegaskan:
Ibnu Abbas berkata: ayat ini ‘wa ma kana li nabiyyin an yaghulla‘ turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Bahr. Beberapa orang mengatakan: Barangkali Rasulullah mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ‘wa ma kana li nabiyyin an yaghulla’ hingga akhir ayat. Abu Isa mengatakan: ini Hadis gharib.
Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya QS. Ali Imran: 161 ‘wa ma kana li nabiyyin an yaghulla..’
Akan tetapi, terdapat riwayat lain yang mengaitkan turunnya QS. Ali Imran: 161 tersebut dengan peristiwa Perang Uhud (tahun 3 H). Bahkan ada riwayat melalui Jubair ad-Dahhak dari Ibnu Abbas yang rnenghubungkan turunnya ayat ini dengan kasus pembagian ghanimah pada Perang Hunain (tahun 8 H).
***
Hanya saja dalam kitab al-ljab fi Bayan al-Sabab oleh Syihabuddin Abu al-Fad1(w. 852/1447) ditegaskan bahwa Jubair melakukan kekeliruan dan yang benar adalah bahwa ayat ini turun pada waktu Perang Uhud.
Pada tahun ke-3 H dalam Perang Uhud, isu korupsi muncul lagi dan yang menarik adalah bahwa pengertian ghulul menjadi berkembang lebih luas lagi. Yaitu kebijakan yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya dalam pembagian harta rampasan perang. Riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Kulbi dan Muqatil mengatakan: (Ayat ini turun ketika pasukan pemanah meninggalkan kedudukan mereka pada waktu Perang Uhud karena ingin mendapatkan ghanimah. Mereka mengatakan: Kami Khawatir Rasulullah menyatakan: Barang siapa yang mendapatkan sesuatu maka ini untuknya, dan beliau tidak akan membagikan ghanimah seperti pada waktu Perang Badar. Lalu Nabi berkata: Kamu pasti mengira kami melakukan ghulul dan tidak membagikan ghanimah untuk kamu. Maka Allah menurunkan ayat ini.” (Q S . Ali Imran: 161).
***
Dalam Perang Uhud, strategi Rasulullah adalah menempatkan pemanah pada posisi di atas bukit di belakang Rasulullah. Mereka bertugas melindungi pasukan tersebut dari serangan pasukan musyrikin dari belakang. Pada awalnya kaum Muslim berhasil mengalahkan pasukan musyrikin hingga mereka lari kocar-kacir.
Melihat kemenangan itu pasukan pemanah Muslim meninggalkan posisi mereka untuk berebut rampasan perang. Ketika melihat mereka seperti yang dijelaskan dalam al-Ijab, Nabi berkata: Bukankah saya sudah perintahkan kepada kalian agar tidak meninggalkan posisi sampai ada perintah saya. Mereka menjawab: Masih ada beberapa teman kita di sana.
Pada waktu itu Nabi berkata: Sebenarnya kamu pasti mengira kami melakukam ghulul dan tidak memberikan rampasan perang untuk kalian. Untuk menyanggah anggapan itu, maka turunlah ayat ‘wa ma kana li nabiyyin an yaghulla..’ yang oleh al-Thabari ditafsirkan, “Bukanlah sifat para Nabi untuk melakukan ghulul dan orang yang melakukan ghulul bukanlah Nabi.”
Dari ungkapan Nabi, “Kamu pasti mengira karni melakukan ghulul dan tidak membagikan ghanimah untuk kamu,” terlihat bahwa pengertian ghulul adalah kebijakan pembagian ghanimah yang tidak semestinya, menyimpang dari visi yang sebenarnya.
***
Lebih jauh lagi sepanjang menyangkut ayat 161 di atas, Ibn Hisyam dalam syarahnya memberikan pengertian ghulul sebagai menyembunyikan informasi kitab suci dan ajaran agama. Dengan kata lain, ghulul di sini adalah korupsi informasi dan bersikap tidak transparan.
Jadi ayat 161 itu menegaskan bahwa Nabi tidak akan menyembunyikan apa yang diwahyukan kepadanya. Artinya beliau tidak akan melakukan korupsi informasi atau tidak akan bersikap tidak transparan.
Dari Badar dan Uhud, kita pindah ke Khaibar, sebuah perkarnpungan Yahudi yang ditaklukkan Rasulullah pada tahun 6 H (menurut Malik ibn Hazm) atau 7 H (menurut Jumhur Ulama). Dalam beberapa kitab Hadis, dilaporkan suatu peristiwa kematian seorang sahabat yang melakukan korupsi (ghulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah tersebut. Hadis itu adalah sebagai berikut:
“Dari Zaid Ibn Khalid alduhani (diriwayatkan) bahwa seorang sahabat Nabi meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Shalatkanlah kawanmu itu. Maka berubahlah wajah orang-orang karena sabda tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: Rekanmu itu telah melakukan ghulul dalam peran. Maka kami pun
memeriksa barang-baranpya, lalu kami temukan manik-manik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham. ” (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibn Majah, dan beberapa ahli Hadis lain)
***
Hadis ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang ikut dalam ekspedisi Khaibar. Tidak diketahui nama orang tersebut. Ia melakukan korupsi atas rampasan Khaibar dengan jumlah yang tidak mencapai dua dirham.
Mata uang dirham di zarnan Nabi nilainya sama dengan sepersepuluh dinar. Satu dinar adalah 4,25 gram emas murni. Jadi dua dirham berarti 2 x 0,425 gram emas= 0,85 gram. Bila dirupiahkan dengan mengasumsikan harga emas per gram adalah Rp. 100.000. Maka korupsi di Khaibar tersebut hanya sekitar Rp. 85.000.
Periwayatan Hadis ini meskipun hanya menyangkut korupsi kecil dimaksudkan untuk menunjukkan beratnya dosa korupsi walaupun jumlah nominalnya kecil. Abu Daud menempatkan Hadis ini di bawah judul “Bab fi ta’zim al-ghulul”. Dalam kasus ini korupsi diberi sanksi moral, yaitu Rasulullah tidak ikut menyalatkan jenazahnya.
Kasus lain terkait dengan korupsi (ghulul )adalah peringatan Nabi kepada Muaz ibn Jabal ketika hendak diutus ke Yaman sebagai pejabat (menurut al-Bukhari penugasan ini sebelum Haji Wadi). Rasulullah memanggilnya pulang ketika dia sudah berada dalam perjalanan ke Yaman. Ketika menghadap Rasululah, ia dipesan agar tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama menjabat di Yaman. Hadis itu adalah sebagai berikut:
“Dari Muaz 1bn Jabal (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali. Maka beliau berkata: Apakah engkau tahu mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa izin saya, karena ha1 itu adalah ghulul, dan barang siapa yang melakukan ghulul, maka ia akan membawa barang yang di-ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itulah saya memanggil kamu, sekarang berangkatlah kamu untuk tugasmu.” (HR. al-Tirmidzi).
***
Bentuk korupsi lain yang dikenal di zaman Rasulullah adalah kasus pemberian hadiah kepada para pejabat. Dalam kaitan ini dikenal kasus lbn al-Lutbiyyah yang diangkat oleh Rasulullah sebagai penarik zakat di Distrik Bani Sulaim.
Setelah kembali dari tugas, ia melaporkan penarikan zakat yang diperolehnya, kemudian ia mengambil sedikit dari harta zakat tersebut sebagai hadiah untuknya sambil berkata: ini adalah hasil pungutan zakat untukrnu (Rasulullah/negara), dan ini untuk saya.
Lalu dalam suatu pidato Rasulullah menjelaskan kasus tersebut dan melarang petugas mengarnbil sesuatu dari pungutan untuk negara yang dilakukan oleh petugas. Dalam konteks ini Rasulullah menyatakan, “Hadiah yang diterima petugas adalah korupsi (ghulul).
Dalam kitab Takhij ad-Dalalat al-Sam’iyyah oleh al-Khuza’i (w. 789/1387) ditegaskan bahwa Rasulullah melakukan pemeriksaan terhadap pejabat setelah menjalankan tugas. Risywah juga bentuk korupsi yang banyak disebut di zaman Nabi. terdapat beberapa Hadis mengenai hal ini, misalnya:
“Dari Tsauban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara, (orang yang menghubungkan keduanya). “(HR. Ahmad).
Selengkapnya: Baca buku Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah