Oleh: Mu’arif
Doktrin, ritual, kitab suci, institusi, moralitas, dan sarana ibadah adalah aspek-aspek pokok dalam kajian agama-agama. Keenam aspek pokok tersebut dinilai sakral. Siapa saja yang tanpa pemahaman cukup memberikan komentar, kritik, bahkan cacian terhadap suatu agama akan berhadapan dengan masalah besar. Sebab, pemeluk agama tersebut pasti akan tersinggung dan marah. Inilah gejala yang kini masyhur disebut dengan istilah ‘penistaan agama.’
Menariknya, gejala penistaan agama tidak hanya sering muncul di era sekarang ini, tetapi pada zaman kolonial Belanda pun gejala semacam ini pernah terjadi. Kasus surat kabar Djawi Hisworo (Solo, 1918) menjadi contoh yang menarik dalam tulisan ini. Kasus penistaan agama akan menjadi isu nasional manakala dipublikasikan secara massif lewat media massa sehingga memunculkan pola respon yang aktif dan reaktif. Apalagi ketika kasus penistaan agama sengaja diangkat lewat media massa untuk tujuan politik tertentu.
Kasus Djawi Hisworo
Merebaknya penerbitan media massa pada awal abad ke-20 sebagai ekses dari Revolusi Industri 2.0 telah mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat. Meningkatnya budaya literasi—seiring dengan masuknya mesin cetak ke tanah air—telah melahirkan semangat zaman yang baru. Era kebebasan telah dimulai. Budaya baca mulai tumbuh subur.
Keahlian menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan sudah cukup untuk menjadikan media cetak sebagai alat perjuangan kelompok tertentu. Kelompok priyayi yang terlebih dahulu menyecap fasilitas pendidikan modern ala kolonial—lewat kebijakan politik etis di bidang pendidikan—telah tumbuh menjadi kelas sosial elit terdidik. Bagi mereka, media massa adalah alat perjuangan untuk mengusung dan sekaligus mengokohkan cita-cita nasionalisme-Jawa.
Berbagai macam media massa yang berafiliasi ke organisasi Boedi Oetomo (BO) lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Salah satu di antaranya ialah surat kabar Djawi Kondo yang memiliki anak perusahaan media bernama Djawi Hisworo.
Dalam sebuah artikel bersambung menggunakan bahasa Jawa yang dimuat di surat kabar Djawi Hisworo (nomor 4 dan 5/ edisi 9 dan 11 Januari 1918), seorang pengarang bernama Djojodikoro, menceritakan sebuah percakapan dua orang tentang doktrin agama Islam. Djojodikoro menyinggung nama Allah dan Nabi Muhammad dengan ungkapan yang memang tidak pantas.
Menghina Allah dan Nabi Muhammad
Dengan pemahaman dan pengetahuan yang minim tentang ajaran Islam, Djojodikoro menyusun percakapan dua orang tersebut menjelaskan nama Allah sebagai “seorang perempoean djalang” dan “Kandjeng Nabi Moehammad soeka minoem tjioe A.V.H. dan isap opioem atau makan djitjing” (baca Islam-Bergerak, Senin 1 April 1918, h. 1).
Sekedar untuk diketahui, menyebut Allah sebagai “seorang perempoean djalang”—perempuan nakal—sama saja dengan menohok ulu hati akidah umat Islam. Itu adalah doktrin pokok dalam ajaran Islam (Iman kepada Allah SWT). Ditambah lagi sosok Nabi Muhammad yang dianggap gemar minum “ciu” (minuman keras tradisional Jawa), menghisap “opium” (candu), atau makan “jicing” (daging anjing). Sontak tulisan tersebut membuat heboh, memancing reaksi amarah massa, dan mengundang bermacam-macam respon di kalangan umat Islam.
Djawi Hisworo adalah surat kabar satu grup perusahaan dengan Djawi Kondo. Keduanya berbahasa Jawa yang dipimpin (hoofd redacteur) oleh Martodarsono. Baik Djawi Hisworo maupun Djawi Kondo adalah dua orgaan yang berafiliasi ke organisasi nasionalis-Jawa: Boedi Oetomo (BO). Sebagai pemimpin redaksi, Martodarsono juga dituntut untuk bertanggungjawab atas tulisan yang dinilai telah menistakan agama Islam tersebut.
Tiga Respon Umat
Maksud Martodarsono, redaktur Djawi Hisworo, memuat tulisan Djojodikoro, ibarat ‘memancing di air keruh.’ Dalam seketika popularitas langsung diraih, tetapi hampir tidak dipikirkan akibatnya yang berbuntut panjang. Demonstrasi akhirnya digelar berjilid-jilid di beberapa tempat menuntut Martodarsono dan Djojodikoro supaya diadili, baik dengan cara pengadilan massal (anarkhisme) ataupun pengadilan legal (kolonial).
Di luar tuntutan pengadilan atas kasus penistaan agama Islam ini, ada sekelompok orang yang memilih jalan moderasi sekalipun tidak terlalu signifikan pengaruhnya. Setidak-tidaknya, dari kasus penistaan agama Islam oleh surat kabar Djawi Hisworo ini, terdapat tiga model respon umat Islam.
Pertama, respon yang bersifat reaktif dari kalangan umat Islam di Surabaya dan Solo. Pola distribusi informasi lewat media cetak memang berbeda dengan media online. Sehingga butuh sekitar dua atau tiga minggu untuk melihat respon atas tulisan di Djawi Hisworo edisi 9 dan 11 Januari.
Sekalipun Djawi Hisworo berkantor di Solo, tetapi justru respon reaktif pertama dari umat Islam di Surabaya. Diawali dengan pemuatan artikel Abikoesno Tjokrosoejoso, “Si Djahat Menghina Nabi Kita (s.a.w)” (Oetoesan Hindia, edisi 31 Januari 1918). Pemimpin redaksi (hoofd redacteur) Oetoesan Hindia adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang dalam hal ini turut berperan dalam memainkan kasus “penistaan agama” sebagai isu nasional.
Dengan menetapkan “musuh bersama” umat Islam—lewat kasus surat kabar Djawi Hisworo—Tjokroaminoto berhasil menyatukan kekuatan umat Islam yang sebelumnya berserak menjadi kekuatan baru bagi Sarekat Islam (SI) Surabaya. Pada awal Januari, umat Islam di Surabaya menggelar rapat umum (demonstrasi) yang melahirkan perasaan marah kepada penulis dan media tersebut. Namun, sejarawan Deliar Noer (1996: 143) tidak berhasil melacak tepatnya hari apa dan tanggal berapa peristiwa besar karena hanya disebutkan pada awal Januari saja.
Sedangkan respon reaktif kedua datang dari umat Islam di Solo. Awalnya, majalah Medan-Moeslimin (edisi no. 4/1918) memuat ulang tulisan Abikoesno Tjokrosoejoso yang pernah dimuat Oetoesan Hindia. Pemimpin redaksi Medan-Moeslimin, Haji Misbach, juga turut berperan dalam proses provokasi massa. Belum cukup dengan pemuatan artikel di majalah Medan-Moeslimin, Misbach juga menyebar provokasi dengan cara menyebar pamflet-pamflet yang menyerang penulis dan jajaran redaksi Djawi Hisworo.
Takashi Shiraishi (2005: 177-178) menyebut pada tanggal 9 Februari, bestuur (pengurus) Sarekat Islam (SI) Solo telah memutuskan bahwa pada tanggal 24 Februari akan digelar vergadering umum protes (demonstrasi besar-besaran). Seperti menemukan momentum yang tepat, pasca aksi besar-besaran di Surabaya dan Solo, Tjokroaminoto mengamanatkan supaya membentuk barisan pengamanan (paramiliter) yang akan membela agama Islam dari para islamophobia di Hindia-Belanda. Maka pada tahun itu juga dibentuklah Komite Tentara Kanjeng Nabi Moehammad (Komite TKNM) dengan ketua H. Hisjamzaijni (baca: Hisyam Zaini).
Kedua, respon di kalangan umat Islam yang berusaha memoderasi dua kelompok yang bertikai. Mas Marco Kartodikromo yang pada waktu itu menjadi ketua Inlandsche Journalist Bond (IJB)—organisasi wartawan bumiputra pertama—memilih jalan moderasi. Ia mempertemukan pihak redaktur Djawi Hisworo dengan perwakilan umat Islam.
Namun sayang, pendekatan moderasi tidak begitu signifikan pengaruhnya karena kedua kelompok justru saling bertahan pada pendirian masing-masing. Upaya Marco tidak efektif karena kalah populis dibanding strategi Tjokroaminoto yang berhasil menggalang kekuatan massa dalam jumlah yang besar. Situasi menjadi ekstrem karena dari kelompok priyayi maupun kelompok Islam justru saling menunjukkan gejala-gejala ekstrem.
Ketiga, respon dari kalangan umat Islam modernis yang menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah. Otoritas kolonial sebagai pemangku kedaulatan hukum diminta untuk segera menindak pelaku penista agama Islam karena telah mengganggu stabilitas keamanan.
Dalam konteks ini, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah telah melayangkan surat terbuka ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda supaya menindak pelaku penista agama Islam. Dokumen ‘soerat terboeka’ atas nama HB Muhammadiyah tertanggal 15 Maart 1918. Di akhir soerat terboeka tertulis nama H.A. Dachlan (President) dan R. Ng. Kartopringgo (Secretaris) (lihat ‘Soerat terboeka dipersembahkan kehadapan Srie Padoeka jang Dipertoean Besar Gouvernour General di-HINDIA NEDERLAND’, Islam-Bergerak, Senin 1 April 1918, h. 1).
*) Pengkaji sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah