Perspektif

Kebijakan VS Tradisi: Soal Agama Dikeluhkan, Keramaian Mall Hanya Aturan

4 Mins read

Ramadhan yang baru berlalu ini mungkin akan menjadi ingatan yang tidak akan terlupakan bagi umat muslim. Biasanya, di detik-detik penghabisan bulan Ramadan,  bulan Syawal adalah bulan yang ditunggu-tunggu dengan perasaan suka cita. Meskipun begitu justru ada aroma kebijakan vs tradisi di Idulfitri kali ini.

Bulan Syawal kali ini beberapa negara termasuk Indonesia kedatangan tamu spesial, yaitu pandemi Covid-19. Dampak pandemi ini mempengaruhi tradisi masyarakat dari segi penyambutan dan pelaksanaannya.

Dalam menangani kasus pandemi di tengah hari penting umat muslim, Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia sepakat untuk sementara waktu meniadakan kegiatan ibadah yang mengumpulkan banyak jamaah. Termasuk salat Idulfitri,  kalaupun tetap ingin dilaksanakan, diharapkan mengikuti protokol yang ada.

Kebijakan vs Tradisi

Kebijakan ini sempat menuai kontroversi, banyak masyarakat yang menyayangkan tempat ibadah yang dihuni oleh orang-orang yang datang dengan keadaan suci malah harus dikosongkan. Seiring itu, keluhan lainnya muncul yaitu ramainya bandara dan pusat perbelanjaan, tidak ada lagi kesadaran untuk ber-social distancing dan physical distancing oleh masyarakat. Hal ini menjadi sorotan berbagai pihak,  baik masyarakat maupun mereka yang bekerja di bidang kesehatan. Mereka merasa dikhianati perjuangannya.

Kebijakan pemerintah yang meminta masjid dikosongkan sedangkan pusat perbelanjaan dan bandara seakan lepas pengawasan, membuat tanda tanya besar mengenai keseriusan pemerintah menangani virus Covid-19 ini. Masyarakat mengaitkan situasi ini dengan istilah adil dan tidak adil.

Menurut hemat penulis, pandemi ini seharusnya bisa menciptakan perspektif tegas dan dewasa di kedua pihak; pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan itu sendiri, dengan alasan kedua belah pihak sama-sama belum bisa melaksanakan tugasnya dengan sempurna.

Masyarakat harus paham, kebijakan pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus–menutup tempat-tempat yang mengundang kerumunan–tidak mudah dilaksanakan tanpa dukungan rakyat, karena saingannya saat ini adalah tradisi.  Seperti yang sudah diketahui bersama, ada macam-macam tradisi masyarakat selama Ramadhan dan Idulfitri, salah satu di antaranya adalah makan bersama dan silaturrahim.

Baca Juga  Antisipasi Kekerasan dan Intoleransi Di Akar Rumput

Bukan main-main tradisi ini membuat pemerintah sedikit kewalahan untuk menerapkan aturannya memberantas virus. Karena di balik itu akan banyak kesibukan masyarakat untuk menyiapkan tradisi tersebut.

Tak suka kebijakan soal mengosongkan masjid yang dianggap berlebihan, kini masyarakat malah meramaikan pasar, mal, dan bandara dengan memanfaatkan kepasifan pembuat kebijakan dalam menutup sejumlah akses kerumunan.

Kasarnya, pandemi kebodohan kini merasuki sebagian kelompok masyarakat. Pemerintah sudah membuat kebijakan, namun protes masih saja berkeliaran dari mulut ke mulut, padahal ini merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan usaha bersama. Bukan malah menciptakan “perang” kebijakan vs tradisi.

Pandemi Kebodohan

Alih-alih menyalahkan kebijakan, muncul kata-kata ajaib: “silaturrahim dan beribadah berjamaah itu disukai Allah”. Pernyataan ini memang tidak salah, namun  Allah lewat Nabi Muhammad SAW tidak pernah memaksakan seseorang untuk beribadah di masjid dalam keadaan terdesak yang membuat suatu kelompok berhalangan melakukannya.

Seperti pada sabda Rasulullah di bawah ini, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن سَمِعَ النِّداءَ فلَم يأتِ فلا صَلاةَ لَه إلَّا مِن عُذرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat jamaah baginya, kecuali ada udzur”– para sahabat bertanya,  “apa udzurnya?”  Beliau menjawab: “keadaan takut dan penyakit“.  (HR. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]).

Hadits ini menjawab isu mengenai larangan shalat berjamaah di masjid. Namun, bukan berarti dalam hal ini pemerintah melepaskan semua pada aturan agama. Pemerintah juga perlu tegas dengan kebijakan yang dibuat mengenai tempat selain rumah ibadah atau tempat-tempat yang mengundang kerumunan lainnya.

Perlu ada pertimbangan mengenai kenyataan bahwa akan timbul masalah baru, apabila semua toko makanan dan sembako ikut ditutup, karena manusia tetap butuh makan untuk hidup. Hanya saja perlu ada tata cara dan pengawasan lebih lanjut dalam menangani kondisi lapangan terutama mendekati hari-hari besar umat islam.

Baca Juga  Merawat Humor, Merayakan Kebebasan Tawa

Tidak ada yang patut disalahkan dalam peristiwa ini, hanya saja kedua belah pihak belum maksimal dalam menjalankan tugas masing-masing. Pertanyaan penting mengenai pemerintah yang selama ini membuat kebijakan di masyarakat, apakah semua masyarakat mudah menerimanya? Tentu saja tidak.

Diterima atau tidaknya kebijakan, tergantung mengenai kemampuan atau daya pikir seseorang dalam melihat dan memahami sesuatu, dan tugas pemerintah perlu menyamakan pemahaman tersebut dengan menampilkan sejumlah informasi atau kajian-kajian ilmiah yang sudah terbukti agar semua kalangan dapat paham dan menerimanya, tapi dengan syarat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang dekat dengan masyarakat.

Mall dan Tradisi

Sebuah kebijakan seorang pemimpin dikatakan berhasil apabila rakyatnya paham dan tunduk. Maka, dilihat dari situasi pandemi ini,  sebelum meluasnya virus, banyak masyarakat yang belum sadar dan menganggap virus ini sebagai sesuatu yang bercanda.  Akibatnya, banyak orang yang sadar akan bahayanya virus ini setelah melihat langsung virus ini menjangkiti anggota keluarga atau warga di lingkungan sekitar.

Kembali kepada persoalan tradisi. Bagaimana mengakhiri tradisi?  Sulit. Terlalu sulit untuk memisahkan  tradisi dengan masyarakat. Tradisi bagaikan makan tanpa lauk. Mungkin bisa saja seseorang tetap makan, tapi rasanya sangat hambar, dengan kata lain tradisi adalah sejumlah peristiwa yang mendarah daging dan semakin sulit dipisahkan jika berkaitan dengan agama dan budaya setempat.

Hal ini kentara di Syawal atau lebaran tahun ini, banyak masyarakat yang melupakan kebijakan-kebijakan yang nyatanya digunakan untuk memutus rantai persebaran virus. Bahkan, sebagian masyarakat yang sudah setia ber-social dan physical distancing, tetap rela berdesak-desakkan di mal dengan pembeli lainnya demi bisa melayani tamu dengan makanan khas lebaran meskipun keadaan ekonomi kala pandemi sedang krisis.

Baca Juga  Kala Orientalis Meragukan Keotentikan Al-Qur'an, Begini Jawaban Logis dari Ulama Muslim

Begitu pula dengan menggunakan pakaian baru di hari lebaran. Para orang tua akan pusing apabila anaknya merengek meminta pakaian baru karena teman-teman lainnya memiliki pakaian baru. Padahal keadaan ekonomi sedang masa sulit tapi hal itu tidak menyurutkan para orang tua untuk membeli pakaian baru.

***

Jadi, tidak salah apabila ada ungkapan lebaran di tengah pandemi ini ada unsur sedikit keterpaksaan, atau halusnya mengada-adakan sesuatu. Hal ini disebabkan pemahaman dalam memahami lebaran itu sendiri. Pemahaman lebaran tidak sekadar soal ‘pakaian baru’ dan ‘banyak makanan’, namun suka cita sebenarnya ialah dibarengi dengan rasa syukur dan muhasabah.

Syukur karena telah melewati salah satu kewajiban sebagai muslim di bulan Ramadhan, dan muhasabah diri mengenai kekurangan selama menjalankan ibadah dan mengingat ketetapan Allah ke depannya, yaitu ketentuan bahwa umur adalah kuasa tuhan. Tidak ada satu pun manusia yang tahu masa depannya untuk merasakan bulan Ramadhan dan Syawal nanti.

Pembelajaran seusai berlalunya Ramadhan dan datangnya Syawal harus dijadikan tolak ukur untuk bisa menjadi lebih baik lagi ke depannya. Apabila masyarakat paham hakikat lebaran dan pintar memposisikan diri selama pandemi, kebijakan pemerintah dapat berjalan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan. Kemungkinan terserang Covid-19 pun akan kecil.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds