Karena rentetan aksi sepanjang September 2019, pemerintah terdesak. Respons yang diambil pun lambat. Selain karena dinamika politik, banyaknya isu kelas berat membuat posisi pemerintah makin sulit. Sudah begitu, keadaan ini diperparah dengan kebodohan buzzer. Mereka memperburuk keadaan, akhirnya kebodohan buzzer menghancurkan reputasi polisi dan pemerintah.
Sebelum tulisan ini masuk ke pembahasan inti, saya menegaskan bahwa kubu Prabowo sama saja. Tidak peduli dengan tuntutan rakyat via mahasiswa. Buzzer-buzzernya juga sibuk dengan isunya sendiri, tak bersimpati pada rakyat. Istilah Jawa-nya ora ana ambune! Jadi, tidak ada pembelaan untuk kubu Prabowo di tulisan ini, ya.
Kebodohan Buzzer Menghancurkan Polisi dan Pemerintah
Kesalahan berat dan beruntun yang saya sebut sebagai “kebodohan” dimulai dari masa-masa aksi #GejayanMemanggil. Tagar-tagar demonstran yang baru dimulai sejak 22 September tidak direspons dengan baik oleh para buzzer. Trending topics dikuasai oleh tagar yang diinisiasi mahasiswa serta rakyat—dapat dibuktikan melalui analisis Drone Emprit yang dipaparkan Ismail Fahmi.
Pada tanggal 23 September, buzzer resmi kalah. Trending Topics Indonesia di Twitter—setidaknya peringkat 5 teratas—dikuasai oleh mahasiswa. Bahkan, tagar #HidupMahasiswa yang memuncaki peringkat teratas mencapai jumlah 1 juta cuitan. Selain menguasai Trending Topics Indonesia, juga menguasai Trending Topics Dunia.
Selanjutnya, buzzer pemerintah mengangkat isu ambulans Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang memuat batu dan bensin. Dalam video yang tersebar, ambulans terkait didatangi brimob secara heroik. Tenaga medis yang bertugas diintimidasi oleh polisi.
Dinamika selanjutnya mengejutkan. Alih-alih menjadi serangan balik, isu ini berhasil dipatahkan warganet. Terbukti bahwa ambulans tersebut tidak membawa batu maupun bensin untuk bahan bom molotov. Petugasnya pun tidak terlibat sama sekali. Padahal, polisi sudah terlanjur menangkap dan memperlakukan petugas medis dengan kekerasan.
Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga Pula
Lain isu ambulans, lain lagi isu penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu. Dandhy Laksono adalah aktivis kemanusiaan yang ditangkap polisi dan menjadi tersangka pada dengan tuduhan “pasal karet”, pasal 28 UU ITE. Pada saat Dandhy ditangkap, dengan segera muncul tagar #BebaskanDandhyLaksono, kepolisian disorot. Bahkan Budiman Sudjatmiko, seorang anggota DPR yang berseberangan dengan Dandhy juga ikut bersimpati pada Dandhy.
Sementara itu, Ananda Badudu adalah musisi jebolan grup band Banda Neira. Ia merupakan penghimpun dana donasi untuk aksi-aksi mahasiswa melalui platform kitabisa.com, terutama pada aksi 23 September di Jakarta. Ia ditangkap dengan tuduhan mentransfer dana pada mahasiswa dan provokasi kerusuhan. Begitu Badudu diangkut polisi, tagar #BebaskanAnandaBadudu mengudara. Memuncaki trending topics dan memberikan tekanan pada kepolisian.
Dalam penangkapan Dandhy dan Badudu, buzzer kepolisian kembali terpukul mundur. Tidak ada tagar dari buzzer yang bisa menyaingi atau memberi bantahan. Walhasil, beberapa jam setelah ditangkap Dandhy maupun Badudu segera dilepaskan. Dandhy berstatus tersangka sementara Badudu berstatus saksi.
Fakta terbaru dan paling konyol adalah aksi buzzer kepolisian yang menyebarkan isu bahwa pelajar SMK anarkis dan terorganisasi dalam aksi 30 September. Tersebar screenshoot chat WA group yang menunjukkan bahwa siswa SMK dibayar untuk ikut aksi 30 September. Isu ini menggenapi keberhasilan buzzer yang mampu meredam tagar-tagar pro demokrasi di trending topics Twitter.
Namun, penelusuran warganet pro-demokrasi membuktikan bahwa nomor-nomor di WA group tersebut bukanlah nomor siswa SMK. Nomor-nomor tersebut adalah milik anggota kepolisian! Terbukti melalui aplikasi gratisan yang diakses oleh warganet. Ditambah lagi, menurut Privacy Policy Twitter, membagikan nomor telepon lewat twit adalah terlarang.
Sontak hal ini menjadi blunder paling parah dan memalukan. Klarifikasi dari kepolisian pun tidak berhasil menjawab tudingan dengan jelas. Gara-gara buzzer, kepolisian dan pemerintah bak peribahasa “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula“.
Admin Akun Resmi Sama Saja
Akun resmi pemerintah dan kepolisian sebenarnya dapat meredam dampak buruk dari aktivitas buzzer. Sayangnya, sepanjang masa-masa aksi mahasiswa, hal ini tidak terjadi. Contohnya akun resmi TMC Polda Metro Jaya yang justru melakukan blunder. Akun ini mengafirmasi informasi palsu terkait isu ambulans Dinkes DKI yang sudah saya sebutkan di atas.
Bahkan informasi palsu ini sudah dimuat media mainstream. Baru kemudian dikonfirmasi oleh kepolisian bahwa informasi yang satu ini salah. Iya sih, admin tidak sampai dihukum, tapi malunya itu lho, pak.
Admin akun resmi Presiden Jokowi nggak mau kalah dalam lomba melakukan blunder. Beberapa waktu lalu, saat video udara Jambi yang memerah karena asap karhutla tersebar, kelakuan admin membuat geleng-geleng kepala. Bukannya merespon dengan ucapan simpatik, admin merespon dengan video Presiden Jokowi menikmati pagi bersama cucunya yang bernama Jan Ethes.
Sebagai penegasan, video semacam ini tidak salah. Bahkan justru bersahabat dan populis. Namun, karhutla yang makin parah di mana-mana dan membuat rakyat sulit bernapas tidak etis direspons dengan kebahagiaan kepala negara yang menikmati udara segara bersama cucunya. Kesalahan ini disempurnakan dengan tersebarnya foto pencitraan Presiden Jokowi di Riau saat meninjau lokasi karhutla.
Dalam foto tersebut, alih-alih terlihat memimpin koordinasi atau ikut memadamkan kebakaran, Presiden Jokowi justru sibuk berpose. Menambah parah perundungan (bullying) yang dialamatkan ke akun resmi Presiden Jokowi. Sebenarnya keadaan bisa membaik jika respons selanjutnya menuruti kehendak warganet, namun ternyata tidak ada respons lanjutan yang berarti.
Saya kira, kesalahan barisan admin pemerintah berhenti sampai di situ, ternyata tidak. Pada 30 September saat demonstrasi mahasiswa di Jakarta sedang ricuh, akun Twitter Sekretariat Kabinet mengunggah konten yang (lagi-lagi) tidak simpatik. Konten ini berisikan keterangan dan foto bahwa musisi-musisi ternama Indonesia semacam Ahmad Albar, Siti Badriah, Iwa K, hingga Kikan dan Ike Nurjannah akan mengadakan konser.
Sekali lagi, mirip dengan kasus video Jokowi dan Jan Ethes, post ini sebenarnya netral. Namun menjadi buruk dampaknya ketika dihubungkan dengan lambatnya respon pemerintah menindaklanjuti tuntutan mahasiswa. Bahasa kasarnya, tuntutan belum dikabulkan, rakyat menderita, bukannya mengabulkan dulu kok malah mengutamakan konser musik?
Apa yang Salah?
Buzzer-buzzer pro-pemerintah dan kepolisian bertekuk lutut di hadapan warganet pro-demokrasi. Menjadi gambaran jelas bahwa warganet yang kebanyakan merupakan generasi Y dan Z dapat menguasai media sosial. Mereka menguasai arena permainan mereka sendiri. Membuat buzzer-buzzer yang pada Pilpres lalu gagah, justru saat ini berbalik menghancurkan reputasi polisi dan pemerintah.
Warganet sukses bekerja sama dengan fleksibel. Menghajar habis isu dan informasi palsu. Menjaga aksi sepanjang September tetap bertenaga, tetap pada jalurnya. Warganet juga membuktikan bahwa mereka bersama rakyat sementara buzzer hanya bersama akun siluman dan penjaja giveaway murahan.
***
Saya sendiri gemas dengan fakta ini. Maka, bagi pembaca sekalian yang mengetahui urusan medsos pemerintah dan kepolisian harap disampaikan, saya menawarkan diri dan siap jadi admin akun resmi—atau buzzer juga tidak apa-apa deh.
Ya, meskipun saya hanya admin dan analis medsos amatir, setidaknya saya paham etika. Saya juga bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah. Daripada mengandalkan yang sekarang, nyata-nyata kebodohan buzzer menghancurkan reputasi polisi dan pemerintah.
Atau, mau membiarkan saja rakyat terus-terusan tidak percaya polisi dan pemerintah?