Oleh: Royyan Mahmuda*
Dahulu saat saya masih menempuh pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, ada sebuah kisah dalam pelajaran hadis yang diajarkan oleh ustaz saya. Pada waktu itu saya agak meremehkannya, karena merasa tidak akan mendapati hal yang ada dalam cerita di kehidupan nyata. Akan tetapi setelah bekerja di dunia ke-penjara-an barulah saya sadar, bahwa apa yang dulu disampaikan oleh ustaz saya itu sangat benar adanya.
Cerita Pembunuh yang bertaubat
Saat itu beliau menceritakan tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 99 (sembilan puluh sembilan) orang, datang ke seorang ahli agama untuk meminta arahan tentang cara yang harus ditempuh untuk bertaubat. Si pembunuh bertanya kepada ahli agama tadi, apakah Tuhan masih menerima taubatnya? Lantas si ahli agama malah menekankan bahwa dia telah melakukan dosa besar dan tidak akan diampuni meskipun ia bertaubat. Sontak saja pernyataan tersebut membuat si pembunuh terbakar oleh amarah. Lalu dibunuh lah si ahli agama tersebut.
Setelah itu ia mencari ahli agama yang lain dengan niat untuk bertaubat lagi. Awalnya dia merasa pesimis untuk bertaubat, karena mungkin semua ahli agama sama saja. Namun, ahli agama yang ditemuinya kali ini berbeda. Ucapannya dapat menenangkan hati si pembunuh karena berkata bahwa Tuhan masih mau menerima taubatnya asalkan dia hijrah dari tempat tinggalnya. Menurut ahli agama tersebut desa tempat ia tinggal adalah sarang maksiat sehingga tidak memungkinkan untuk bisa berubah menjadi orang baik. Lalu diikutilah petuah ahli agama tersebut, dia pun berangkat untuk hijrah.
Takdir Tuhan berkata lain, si pembunuh meninggal saat perjalanan akan bertaubat. Lalu malaikat menghitung langkah perjalanannya, apakah lebih dekat ke tempat hijrahnya atau tempat asalnya. Ternyata lebih dekat ke tempat hijrahnya. Sehingga pada akhirnya si pembunuh dapat masuk ke dalam surga.
Cerita ini sungguh memberikan banyak inspirasi, hikmah dan pelajaran bagi saya yang bekerja di dunia kepenjaraan. Saya sering melihat bahwa perubahan yang dialami oleh narapidana itu tidak selalu dengan kata-kata atau nasihat yang menyudutkan serta mengancam, misal mengatakan bahwa perbuatan ini salah kamu harus bertaubat atau kamu sudah berdosa melakukan ini jadi harus segera insyaf.
Penjara dan Kemanusiaan
Namun, ucapan-ucapan yang menyejukan serta memberi harapan-harapan tentang masa depan malah membuat mereka sadar dan mau berubah. Seperti, “sudah jangan larut dalam penyesalan”, “masih ada kesempatan kedua”, atau “Tuhan itu masih mau menerima taubat kita dengan memberikan kita hidup” dan kata-kata semacamnya.
Artinya, ketimbang dimarahi dengan berbungkus nasihat, ucapan sederhana tapi menyejukan serta dibungkus dengan empati kemanusiaan itu lebih mengena ke hati narapidana. Dan tidak sedikit yang berubah karenanya. Lalu pertanyaannya mengapa bisa demikian?
Menurut pengamatan saya sebagai seorang pegawai penjara, proses masuknya narapidana ke penjara itu tidak lepas dari kompleksitas problematika hidup yang mereka alami. Sebenarnya mereka tahu dan paham bahwa tindakannya itu salah serta menyimpang dari nilai-nilai kehidupan masyarakat. Namun kondisi seringkali memaksa mereka untuk melakukan itu. Entah atas dasar kebutuhan, emosi atau bahkan kesehatan dan mental yang tidak stabil.
Alhasil saat diadili-pun mereka tetap tidak tersentuh hatinya untuk berubah, hanya sebatas tahu dan meng-iya-kan bahwa mereka salah. Toh pada akhirnya mereka menganggap akan tetap dimarginalkan oleh lingkungan. Maka kami sebagai petugas penjara lebih memilih melakukan pendekatan secara humanis dan persuasif daripada menyudutkan mereka dengan berbagai ucapan menyalahkan.
Karena semua orang telah memvonis mereka salah dan mereka pun tahu bahwa mereka bersalah. Namun yang mau membina dan memberikan pencerahan ke arah yang lebih baik sangat sedikit atau mungkin hampir tidak ada. Kadang kita harus bisa menjadi teman yang baik bagi narapidana agar lebih mudah untuk bisa memberi nasihat yang baik.
Tujuannya sederhana, agar mewujudkan cita-cita Undang-Undang, yaitu memulihkan kembali narapidana untuk dapat kembali ke masyarakat.
Ilmu yang (Tidak) Sepele
Gara-gara penjara saya jadi sadar bahwa kita tidak boleh menyepelekan ilmu meskipun itu terkesan sangat sederhana. Karena kita tidak tahu dengan takdir Allah SWT. Bisa saja ilmu yang pernah kita sepelekan menjadi suatu hal yang akan sering kita jumpai di masa yang akan datang, seperti pengalaman saya ini.
Lalu gara-gara kisah yang disampaikan ustaz saya dahulu itu, saya jadi tahu bahwa sebagai sesama muslim apapun statusnya tidak berhak untuk menjustifikasi seseorang, termasuk perihal pertaubatan. Paling tidak kata-kata, ucapan atau perkataan itu sangat kuat pengaruhnya bagi narapidana yang saya temui sehari-hari.
Tidak dipungkiri pula bahwa kata-kata itu dapat merubah perilaku seseorang yang dulunya jahat. Adakalanya ucapan yang menenangkan dan mendukung itu lebih baik daripada kalimat mendiskreditkan. Seperti ucapan ahli agama yang menyejukan bagi si pembunuh tadi. Bahkan agama pun menganjurkan agar memperbanyak berkata baik, kalau tidak bisa maka dianjurkan diam. Qul Khoiron Au Yasmuth.
*) Alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Saat ini bekerja di Kementerian Hukum dan HAM pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Pekalongan.
Editor: Nabhan