Sebelumnya telah dikaji signifikansi dan justifikasi awal bagi argumentasi eksistensi ma’ad. Selanjutnya melalui tulisan ini akan dijabarkan dua argumentasi rasional ma’ad yang berkisar pada kebijaksanaan dan keadilan ilahi.
Adapun kebijakan dan keadilan itu adalah manifestasi dari sifat-sifat Tuhan selaku sang pencipta realitas. Keduanya menjadi premis awal yang menyangga eksistensi ma’ad. Pertanyaan mungkin muncul mengenai kebenaran dari kedua sifat kemahaan Tuhan itu. Guna merespon pertanyaan tersebut akan dijelaskan mula-mula mengapa Tuhan memiliki keduanya.
Sebab Lebih Sempurna dibanding Akibat
Dalam kaidah logika ontologi dikenal pasal ‘sebab lebih sempurna dari akibat’. Pasal ini berlaku pada setiap hal. Katakan mesin-mesin yang manusia ciptakan, secanggih dan sehebat apapun mereka tidak akan bisa sesempurna penciptanya. Manusia memiliki empati autentik, kesadaran dan kebebasan yang tidak akan dimiliki mesin-mesin dalam derajat yang sama.
Tapi manusia itu sendiri juga makhluk yang diciptakan oleh sang pencipta (Tuhan). Mengikuti kaidah dari pasal di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sang pencipta manusia juga lebih sempurna daripada ciptaannya. Bahwa Tuhan jauh lebih empati, menyadari dan bebas sekehendak hatinya.
Bahkan bisa disimpulkan jika Tuhan adalah dzat yang Maha Sempurna yang melampaui segalanya. Ini jelas karena fakta bahwa Tuhan itu adalah ‘sebab dari segala sebab’ yang mana tiada akibat apapun yang berada diluar kuasa penyebaban Tuhan. Maka, setiap sifat yang ada pada ciptaan-Nya, seperti adil dan bijaksana pada manusia, juga dimiliki Tuhan dan malah pada derajat yang tidak hanya ‘lebih’ namun ‘sepenuhnya’ sempurna.
Manusia bisa lupa akan kesalahan dan kebaikan orang. Manusia bisa saja bias dan enggan menghukum orang yang salah atau memberi hadiah kepada orang yang berjasa. Manusia juga tidak bisa memberi ganjaran yang setimpal. Hanya Tuhan, sang pencipta manusia yang dapat mengingat secara presisi, objektif dan mengganjar dengan penuh ketelitian dan ketepatan.
Kemahabijaksanaan Tuhan
Bijaksana adalah melakukan sesuatu dengan sempurna, tanpa cela, atau yang paling baik. Tindakan yang bijak berarti juga tidak menciptakan kesia-siaan atau tindakan yang ujungnya tidak memiliki makna atau manfaat. Termasuk manusia serta seluruh alam semesta semua diciptakan dengan maksud dan tidak sia-sia.
Manusia pada fitrahnya adalah makhluk yang lemah, sementara dan bermateri. Karena itu mereka bisa sakit, terpuruk dan binasa. Betapapun hebat, cerdas dan berkuasa manusia mustahil untuk menghindar dari kematian.
Demikian pula benda-benda lain pun selaku makhluk Tuhan juga mengalami nasib seperti manusia. Mereka tidak niscaya Ada dalam keabadian. Melainkan, benda-benda itu juga akan mengalami kehancuran.
Meskipun alam dan manusia itu akan hancur, prinsip kebijaksanaan Tuhan menjelaskan bahwa telah Dia persiapkan alam berikutnya, yang jauh lebih elok bagi manusia. Alam itu menegaskan kehidupan manusia di dunia tidak sia-sia dengan akhir ketiadaan. Melainkan, ada alam baru tempat manusia akan dibangkitkan kembali untuk menuai amalannya. Alam itu adalah ma’ad.
Ma’ad sebagai Kebijaksanaan Paripurna
Ma’ad merupakan bukti kebijaksanaan yang sempurna oleh Tuhan. Ma’ad memastikan bahwa setiap ganjaran yang diterima tidak melewatkan sedikitpun kebaikan maupun keburukan manusia. Hal ini berbeda dengan ganjaran yang bisa diberikan oleh satu manusia kepada manusia lain di dunia. Demikian itu sangat terbatas, banyak cela dan bisa jadi sia-sia.
Keterbatasan ganjaran di dunia sangat maklum karena alam dunia itu sendiri diciptakan dengan sangat terbatas. Seseorang misalnya bisa jadi melakukan suatu amal perbuatan yang berdampak beratus generasi. Namun, balasan yang ia dapat di dunia hanya bisa dinikmati sebentar dan tidak sebanding dengan manfaat kebaikannya yang belum putus bahkan saat ia meninggal.
Sebaliknya pula ada orang yang telah melakukan kejahatan yang begitu keji seperti para pelaku genosida yang memberangus nyawa ribuan orang. Hukuman mati yang diberlakukan padanya tentu tidak cukup. Ia hanya bisa dikenai hukuman mati sekali padahal nyawa yang melayang karena perbuatannya demikian banyak dan kemalangan yang ia ciptakan mungkin masih berlanjut hingga puluhan tahun berikutnya.
Kebijaksanaan Tuhan menjadikan alam dunia ini adalah tempat untuk manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Namun, balasan yang paling bijak bagi manusia baru bisa diberikan setelah dunia itu hancur dan dampak segala perbuatan manusia bisa ditaksir utuh-seluruhnya.
Keadilan Tuhan
Adil bermakna mampu meletakkan dengan tepat sesuai porsi yang ideal pada setiap penerima. Bahwa seseorang yang adil akan memberikan ganjaran kepada orang lain sesuai besaran timbangan kebaikan maupun keburukan seseorang.
Katakan seorang belajar dengan tekun, mengerjakan tugas dan menjawab ujian dengan benar bahkan lebih mendalam dari yang diharapkan. Maka, guru yang adil adalah yang memberikan penilaian terbaik kepada siswa itu. Sesuai dengan usaha yang telah diupayakan oleh si siswa.
Berkaitan dengan relasi Tuhan-Manusia, keadilan bermakna pembalasan yang setimpal dari Tuhan kepada sekecil dan sebesar apapun kebaikan maupun keburukan yang diperbuat manusia. Keadilan ini tercantum misalnya dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Artinya: Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Al-Zalzalah Ayat 7-8).
Ma’ad sebagai Keadilan Paripurna
Pada realitasnya, manusia ada bermacam-macam. Namun ditinjau dari sikapnya atas berbagai petunjuk dan ketentuan Tuhan maka manusia dapat dibagi menjadi dua belaka: pelaksana dan pengingkar. Masing-masing dari kelompok manusia itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatannya. Ma’ad merupakan bentuk keadilan paling sempurna yang diberikan kepada masing-masing kelompok itu.
Pengadilan di ma’ad juga merupakan penghakiman terbaik karena disitu hukuman atau hadiah hakiki akan didapatkan oleh sang pelaku itu sendiri. Misalkan saja ada seseorang yang mencuri dan dihukumi penjara. Hukuman yang diterimanya itu tidaklah sepenuhnya adil karena dalam saat yang bersamaan menciptakan kerugian pada orang lain. Keluarga para narapidana pada banyak kasus turut menderita untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Di sisi lain juga banyak yang mendapatkan kenikmatan atau balasan di dunia padahal tidak secara langsung berhak atasnya. Keluarga dari para pahlawan atau tokoh masyarakat misalnya bisa menikmati berbagai penghormatan dan harta hadiah yang luar biasa padahal mereka tidak ikut terjun dalam perang atau benar-benar berkontribusi kepada masyarakat.
Sebab itu adalah ma’ad tempat penghakiman yang seadil-adilnya. Pada ma’ad itu seseorang mendapatkan ganjaran tidak lebih dan tidak kurang pada dirinya. Tidak lagi ia menanggung ganjaran orang lain atau memberikan tanggungan kepada selain dirinya.
Kesimpulan
Berpijak pada apa yang telah diterangkan dapat dipahami bahwa ma’ad adalah konsekuensi dari sifat kemahaan Tuhan dalam keadilan dan kebijaksanaan. Dengan ma’ad penciptaan dan kehidupan seseorang tidak akan sia-sia. Pun, dengan ma’ad setiap amalan perbuatan, sekecil dan sebesar apapun akan diberi ganjaran yang setimbang.
Editor: Soleh