Akidah

Kenapa Politeisme Lebih Mudah Memiliki Hubungan Baik dengan Kepercayaan Lain?

3 Mins read

Indonesia dikenal sebagai negara yang beragam budaya, bahasa dan agama. Mengenai ragamnya agama tidak bisa terlepas dari esensi di dalamnya, yakni ketuhanan. Sebagaimana dalam tulisan ini akan membahas salah satu kepercayaan akan banyak Tuhan, yakni politeisme

Politeisme dalam lingkup dunia memiliki sejarah masing-masing yang berbeda pada setiap negara, baik Yunani, Mesir, Romawi dan beberapa negara lain yang dikenal negara politeis, pada masanya memiliki budaya yang lebih maju.

Dikarenakan adanya hierarki di antara para Dewa sehingga dalam pola komunikasi di masyarakat, setiap perintah pada wakil dari Dewa paling tinggi dapat diikuti dengan baik oleh pengikutnya.

Pengertian Politeisme

Politeisme berasal dari bahasa Yunani poly “banyak” dan theos yang memiliki arti “Dewa/Tuhan” yang berarti kepercayaan dan penyembahan pada banyak Tuhan atau biasa disebut Dewa.

Secara umum, politeisme didasarkan pada gagasan bahwa alam semesta diatur oleh lebih dari satu kekuatan, jadi terdapat Dewa langit, Dewa pencipta, Dewa air, Dewa kehidupan, Dewa gunung dan sebagainya

Kebanyakan masyarakat zaman dahulu dianggap sebagai penganut politeisme, misalnya seperti Dewa matahari yang di sebut Ra dalam agama Mesir kuno, sang pengatur kehidupan Dewa Shamas dalam agama Babylonia, Dewa Surya dalam agama Veda, dan Dewa Mytra dalam agama Persia kuno (Kasno, 2018).

Penamaan politeisme pertama kali dipakai oleh penulis Yahudi bernama Philo dari Alexandria untuk membantah orang-orang Yunani, yang menyatakan ketika agama Kristen menyebar di Eropa, non-Kristen hanya disebut non-Yahudi.

Kemudian di masa modern, istilah ini dihidupkan kembali dalam bahasa Prancis melalui Jean Bodin pada tahun 1580, diikuti oleh penggunaan Samuel Purchas dalam bahasa Inggris pada tahun 1614.

Sejarah Politeisme di Dunia dan Indonesia

Pada abad ke-19, Politeisme kadang dianggap sebagai suatu langkah pertama dalam evolusi agama. Sosiolog Prancis Emile Durkheim (1858-1917) mengungkapkan teorinya bahwa salah satu bentuk politeisme yakni totemisme merupakan bentuk agama orisinal dari kemunculan semua agama.

Baca Juga  Fitnah Dajjal: Pagi Hari Beriman, Sore Hari Kafir

Sedangkan antropolog Inggris Sir E. B. Tylor (1832-1917) menganggap bahwa ide tentang jiwa dan roh di dalam agama animistis merupakan tahap pertama dalam perkembangan agama.

Kemunculan berbagai teori tersebut menegaskan bahwa manusia pra-sejarah sudah dapat membedakan antara tubuh, fisik, dan jiwa yang mendukung kepercayaan pada berbagai roh, baik manusia maupun hewan, tumbuhan bahkan benda.

Hal ini dapat menyebar keseluruh dunia pada zamannya berkat orang Mesir yang memiliki sistem kepercayaan berdasarkan banyak Dewa

Kemudian setelah itu muncul Dewa Yunani mengambil wujud manusia dan kepribadian yang berbeda. Ketika kekaisaran Romawi menaklukkan orang Yunani, budaya politeistik Yunani berasimilasi dan sejak itu politeisme menyebar ke seluruh Afrika, Eropa, dan Amerika

Bagi penganut politeisme, agama penting karena Dewa-Dewa yang diyakini memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan dapat membantu mereka dalam berbagai cara dalam aspek kehidupan sehari-hari, oleh karena itu para Dewa dipuja tergantung pada karakteristiknya.

Sedangkan di Indonesia, Dr. Kruyt, seorang teolog kelahiran Jawa Timur menguraikan politeisme masuk di Indonesia diawali dengan masuknya kebudayaan dan agama suku-suku bangsa yang datang ke Indonesia abad demi abad, karena hal ini selalu terbawa serta suatu kebudayaan dan agama yang lebih tinggi, sehingga dinamisme suku-suku di Indonesia lama-kelamaan diperkaya dengan tanggapan-tanggapan animistis. Lalu agama animistis diperkaya dengan kesadaran kepercayaan akan Dewa atau tuhan

Kepercayaan menampakkan ciri kemajemukan kebudayaan, perpaduan taraf-taraf pemikiran dinamisme, animisme, dan politeisme, menjadikan mereka memiliki ritual yang beragam.

Oleh sebab itu tidak heran apabila hampir berbagai daerah terdapat upacara ritual adat persembahan yang berbeda-beda kepada kepercayaan yang di yakininya (Suprihadi, 1981)

Karakteristik Politeisme dan Kenapa Ia Mudah Memiliki Hubungan Baik dengan Kepercayaan Lain

Beberapa karakteristik yang menonjol dalam agama ini. Pertama, didasarkan pada pemujaan terhadap banyak Dewa yang diatur menurut hierarki mereka.

Baca Juga  Islam dan Status Quo (1): Kala Monoteisme Muhammad Menggugat Politeisme Arab

Kedua, setiap ketuhanan politeisme mengarah pada aspek kehidupan tertentu, yang mana memiliki ciri khas masing-masing sehinga mudah dibedakan dan dikenali

Ketiga, para Dewa dapat dipanggil secara individu atau kelompok, tergantung pada jenis kekuatan yang mereka nikmati.

Keempat, mereka yang memiliki kepercayaan pada kekuatan iblis atau selain Dewa, dianggap memiliki watak jahat.

Kelima, penganut agama politeisme sangat mudah memiliki hubungan yang baik dengan kepercayaan yang lain.

Karakteristik kelima ini diamini pula oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, bahwa wawasan politeisme bersifat inklusif terhadap toleransi beragama secara luas.

Karena penganut politeisme percaya, di satu sisi ada kekuatan tertinggi yang sama sekali tidak berkepentingan dan di sisi lain banyak pemegang kekuatan yang bias dan parsial. (Harari, 2011)

Oleh karena itu, tidak ada kesulitan bagi para pengikut satu Dewa untuk menerima keberadaan dan kehebatan Dewa-Dewi lain.

Politeisme pada dasarnya berpemikiran terbuka, dan jarang menghukumi “kafir” dan kaum “bid’ah”. Bahkan ketika para penganut politeisme menaklukkan imperium-imperium besar, mereka tidak mencoba membuat rakyat taklukkan berpindah agama.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Sukoharjo 2020
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read
Semua agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada artian lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds