Review

Kenapa Umat Islam Susah Disekularkan?

3 Mins read

“Sekular” atau “sekularisasi” adalah sebuah kata “sensitif” yang bisa memicu problematika jika diperdengarkan ke telinga beberapa kalangan umat Islam. Ketika mendengarnya, imajinasi mereka seketika langsung terbang ke sebuah adegan dimana ada sebuah gelombang “kekuatan” yang berusaha memisahkan agama dari urusan-urusan publik, khususnya urusan negara.

Imajinasi seperti itu tidaklah muncul tiba-tiba. Ia dibentuk dari tumpukan-tumpukan episode sejarah Islam awal yang tak mengenal kata “pemisahan” antara urusan agama dan urusan negara. Bernard Lewis, dalam artikelnya berjudul State and Society under Islam (1989), secara detail mengulas musabab kenapa umat Islam tak akan bisa berdamai dengan kata “sekular” serta upaya “sekularisasi”.

Itu semua bermula dari figur Muhammad yang merepresentasikan dua hal; Nabi utusan Tuhan sekaligus pimpinan negara. Supaya pembaca lebih mudah memahami maksudnya, Bernard Lewis kemudian menyuguhkan ilustrasi komparatif antara agama Kristen dan Islam dalam kaitannya dengan urusan kenegaraan.

Dalam catatan sejarah, Kristen lahir sebagai sebuah agama yang “tertindas”. Ia baru memperoleh kejayaannya dan mendapat tempat di kekuasaan setelah kaisar Roma secara resmi memeluk agama Kristen. Setelahnya, Kristen menjadi agama yang dominan di seantero wilayah kekaisaran Roma.

Sementara itu, Islam memiliki kisah lain. Pada mulanya, ia memang agama pinggiran yang ditindas oleh para pembesar-pembesar pagan dari Mekkah. Karena penindasannya semakin menjadi-jadi, Muhammad, sang pembawa risalah Islam, memilih langkah eksodus ke Madinah diiringi oleh para pengikut setianya. Di sana, ia aktif menyebarkan ajaran Islam sekaligus membangun sebuah “negara” yang ia pimpin sendiri.

***

Singkat cerita, negara yang didirikan Muhammad di atas prinsip ajaran Islam tersebut, semakin luas dan berpengaruh. Ia sukses sebagai Nabi penyebar ajaran Islam dan gemilang menjadi kepala negara. Model kepemimpinan Muhammad inilah yang menginspirasi para penerusnya; sosok agamawan sekaligus pemimpin negara. Empat khalifah penerus estafet Nabi hingga para khalifah di zaman dinasti keislaman berperan ganda sebagaimana yang dijalankan Nabi; agamawan sekaligus pemimpin negara. Berpijak dari rekaman sejarah tadi, maka mafhum kenapa banyak umat Islam yang menolak sekularisasi, karena memang sejak awal sejarahnya, Islam dan negara sudah menyatu dalam sosok khalifah/pemimpin.

Baca Juga  Membongkar Misteri Tidurnya Gus Dur

Setelah peristiwa Renaissance dan revolusi Perancis, isu tentang sekularisasi atau pemisahan agama dari urusan negara semakin menguat. Beberapa negara Barat yang mayoritas warganya memeluk agama Kristen, tidak keberatan untuk menerapkan paham sekularisme dalam sistem negaranya. Jika kita flashback ke sejarah kekristenan, kesatu-paduan antara agama dengan negara memang bukanlah “DNA” dari agama Kristen. Jika mereka menghendaki sekularisasi, artinya mereka hanya kembali ke “fitrah”nya saja.

Maraknya isu sekularisasi di Barat, tidak terlalu menarik perhatian negara-negara Islam. Beberapa sarjana muslim, lebih cocok dengan isu lain yang datang bersamaan dengan isu sekularisme, yaitu nasionalisme dan liberalisme. Dua isu tersebut dapat diterima karena domain agama bisa disesuaikan di dalamnya dan tidak serta merta “dicampakkan”. Isu nasionalisme berhasil mengubah cara pandang umat Islam terkait hubungan agama dengan negara. Yang semula beranggapan bahwa “Umat Islam itu adalah satu komunitas yang terbagi ke beberapa negara seperti Turki, Arab, Persia, dan lain-lain”, menjadi “Arab itu adalah sebuah negara yang di dalamnya terdapat umat Islam, Kristen, dan lain-lain”. Sementara, spirit liberalisme mulai “diperhitungkan” oleh beberapa sarjana Muslim setelah sadar akan ketertinggalan umat Islam dari kedigdayaan Barat karena terjerembab pada paham-paham keagamaan yang jumud dan anti-modernitas.

***

Hingga beberapa dekade setelahnya, sekularisme tak benar-benar bisa bercokol secara paripurna di negara-negara Islam. Malahan, muncul tanda-tanda penolakannya diiringi dengan tumbuhnya berbagai aktivitas dan organisasi yang menginginkan kembalinya kejayaan Islam masa lampau. Gerakan-gerakan ini berupaya menampilkan tanda-tanda & simbol-simbol yang menjadi ciri khas tradisi Islam di ruang publik. Salwa Ismail dalam bukunya Rethinking Islamist Politics; Culture, the State and Islamism menyebut gerakan ini sebagai “Islamist Politics”.

Baca Juga  Nurcholish Madjid: Modernisasi itu Bukan Sekularisasi!

Menurut Salwa Ismail, Islamist Politics atau Re-Islamization bisa dimasukkan ke domain kajian Islamism yang dalam beberapa dekade terakhir ini menjadi wilayah kajian yang digandrungi oleh sarjana Barat. Semua simbol Islam yang nampak dan menjamur di ruang publik seperti penggunaan hijab, konsumsi literatur-literatur keagamaan, sistem perbankan Islam, dll, dikategorikannya sebagai Islamist Poltics.

Saat menganalisa fenomena di atas, Salwa Ismail memakai pendekatan terintegrasi (integrated approach). Pendekatan ini meniscayakan dua hal; penggunaan pemahaman komparasi historis dan gerakan islamis kontemporer (Comparative-Historical and Contemporary Islamist Movements Understanding). Pendekatan ini menekankan andil posisi sejarah dalam gerakan islamis itu sendiri.

Jadi, munculnya gerakan Islamist Politics ini juga tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Islam yang panjang. Gerakan ini tak serta merta timbul karena rusaknya moral manusia zaman sekarang dan tekanan ekonomi masyarakat Muslim. Keterlibatan akar sejarah juga berperan penting atas munculnya gerakan ini.

***

Peter Mandaville, mempunyai istilah dan konklusi lain saat mengamati gejala munculnya simbol-simbol Islam. Ia menamainya sebagai “Muslim Politics”. Dalam bukunya yang berjudul Global Political Islam, ia beranggapan bahwa simbol-simbol dan istilah-istilah yang berkaitan dengan Islamism secara berangsur-angsur mengalami transformasi yang cukup signifikan.

Mandaville mengatakan bahwa Islamisme gaya lama yang ingin merebut kekuasaan negara secara totalitas, harus berhadapan dengan kalangan Muslim lain yang memiliki cara berpolitik yang berbeda. Tranformasi gaya politik Islamism ini, menurut Mandaville, merupakan sebuah keniscayaan untuk dilakukan supaya bisa meraup simpatisan yang lebih luas lagi, mengingat lawan-lawannya juga melakukan hal yang sama.

Supaya tetap relevan dengan zaman, menurut Mandaville, para Islamis harus aware dan memahami betul konteks dan lingkungan di mana mereka berjuang.     

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa gaya berpolitik sebagian umat Islam yang selalu membawa identitas keislamannya tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masa lalu. Kesatuan agama dan negara sebagai kunci sukses sebuah pemerintahan tak akan bisa lepas dari benak beberapa kalangan umat Islam selama imajinasi idealisme kejayaan Islam masa lampau masih tertancap kuat. Sekian.

Baca Juga  Benarkah Ada Krisis di Dunia Islam?
Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds