Perspektif

Kepergian Gus Sholah dan Krisis Ulama

3 Mins read

Oleh: Arif Yudistira*

Kepergian Gus Sholah meninggalkan duka mendalam bagi kita. Peranan Gus Sholah dalam perdamaian, dalam masalah kemanusiaan tidak diragukan lagi. Pengasuh pesantren Tebu Ireng ini tidak hanya mewarisi misi Islam inklusif dan toleran, namun juga dikenal sebagai tokoh NU yang mengembangkan Islam rasional.

Sebagai ulama yang menempuh pendidikan akademik yang baik, Gus Sholah sering menolak hal-hal yang ngawur, tanpa ilmu. Ia pun rajin menulis dan membaca buku, dan membagi pemikiran-pemikirannya melalui media massa.

Setiap ada ulama meninggal, selalu saja ada kesedihan yang tak terperi. Ada saja perasaan kehilangan sosok guru, tokoh, yang menjadi teladan kita semua. Hidup ulama yang asketis semakin membuat kita kagum dan takjub. Meski kita mendapatkan berita dari Gus Muh kalau di Tebu Ireng sudah ada persiapan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan setelah Gus Sholah.

Gus Sholah adalah buah dari didikan Solichah ibunda Gus Dur. Ibunda Gus Dur meski bukan seorang ulama, ia menyadari perannya sebagai istri ulama yang meneruskan cita-cita suaminya Wahid Hasyim. Menurut penuturan Greg Barton di buku biografi Gus Dur, Sholahudin lahir di kala penjajahan Jepang.

Tentu saja ini membekas di ingatan Gus Sholah. Gus Sholah juga dilahirkan di tiga era, orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Melalui pengalaman yang cukup panjang di tiga rezim inilah, Gus Sholah mampu memainkan perannya baik sebagai ulama di kalangan NU, maupun di kalangan Komnas HAM dan kerja-kerja kemanusiaan lainnya.

Pendidikan ulama di kalangan organisasi Islam memang cenderung kurang terlihat. Di kalangan NU, pendidikan ulama lebih condong pada pengkaderan para anak dan putra kiai. Putra anak kiai inilah yang diharapkan meneruskan perjuangan orangtua mereka dan memiliki kiprah yang lebih luas dibanding orangtuanya.

Baca Juga  Segregasi Politik: dari Komunisme ke Radikalisme

Di kalangan NU, ulama yang memiliki kiprah luas dan terlibat dalam banyak bidang cenderung minim. Biasanya ketokohan Kiai NU sering hanya terbatas pada lingkungan tertentu. Setelah era Gus Dur, peranan Kiai menjadi semakin nampak dan meluas.

Mereka para Kiai tidak hanya dilibatkan dan digeret untuk merespon persoalan-persoalan publik, tapi juga diharapkan bersuara terhadap persoalan sosial kebangsaan. Ini pula yang berhasil dilakukan oleh tokoh NU seperti Mbah Maimoen, Gus Sholah, maupun Gus Dur.

Hadirnya PKB yang mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden, mau tidak mau menuntut para Kiai dan ulama untuk mengirim kader politiknya agar memiliki peran dan kiprah yang lebih luas dalam kehidupan kebangsaan kita.

Hadirnya Taj Yasin, putra Mbah Maimoen, sebagai wakil gubernur, misalnya, adalah contoh dari perluasan spektrum ulama agar dakwahnya dirasakan oleh banyak pihak.

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah lebih mengutamakan perkaderan resmi dalam mendidik dan menciptakan penerus ulama. Muhammadiyah memiliki PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah).

Meskipun secara khusus menyebut tarjih, lembaga ini diharapkan melahirkan ulama yang memiliki kemampuan yang luas dalam pengetahuan Al-Qur’an dan hadis. Mereka diharapkan mampu memberikan dakwah yang menyejukkan di kalangan warga Muhammadiyah.

Di sisi lain, Muhammadiyah lebih condong pada pendidikan formal berupa pesantren modern dan sekolah modern, hingga perguruan tinggi untuk membentuk ulama. Karena itulah, sepeninggal Kiai Yunahar Ilyas, muncul kekhawatiran siapa penerus Kiai Yun yang menjadi ulama, menyejukkan dan memberi nafas bagi dakwah Islam di kalangan Muhammadiyah.

Sering dalam guyonan anak muda Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah memiliki ulama?, memang seringnya Muhammadiyah berkiprah di dalam lingkup dakwah pendidikan dan sosial, sehingga jarang ada Kiai Muhammadiyah memiliki jamaah pengajian yang banyak yang rutin dirawat oleh Muhammadiyah.

Baca Juga  Riset: Pesantren, Politik Dinasti, dan Oligarki Kekuasaan

Kritik Muhammadiyah kurang memiliki sentuhan dakwah di kalangan akar rumput sudah menjadi tema lawas. Tantangan di era sekarang adalah bagaimana muncul ulama dari kalangan Muhammadiyah yang bisa membumi di kalangan remaja, pemuda, maupun orangtua.

Muncul kesan bahwa pengajian Muhammadiyah kini hanya diisi oleh orangtua. Hal ini membuat kita prithatin sebab para anak muda sering membagikan kultum, ceramah, tanpa tahu kesahihan, keabsahan dari dasar atau dalil yang melandasinya.

Sepeninggal Gus Sholah, Gus Dur, maupun Mbah Maimoen, Nahdlatul ulama mungkin masih memiliki kiai-kiai yang ada di desa atau pesantren mereka. Sehingga dalam mencari rujukan, panutan dan teladan dalam beragama masih tidak terlampau sulit.

Di kalangan Muhammadiyah, hal ini akan menjadi masalah tersendiri, saat anak-anak mudanya cenderung semakin menjauh dari kajian Al-Qur’an dan hadis.

Bagi kalangan Nahdlatul Ulama, mereka masih beruntung memiliki warisan berupa kitab tafsir dan kitab kuning yang bisa dijadikan acuan, pedoman, serta rujukan dalam belajar agama. Sedangkan bagi kalangan Muhammadiyah sendiri, kehilangan  para ulama menjadi kesedihan yang amat mendalam, karena beriringan hilangnya ulama itu pula, kita kehilangan panutan, referensi, dan rujukan dalam belajar agama. Terlebih masih sedikit ulama Muhammadiyah yang menuliskan kitab tafsir dan buku.

Semakin hilangnya ulama dari masa ke masa, baik di kalangan Muhammadiyah, NU, maupun warga bangsa, menandakan kita semakin kehilangan sosok panutan, teladan, tokoh yang bisa diterima oleh semua orang.

Yang menyerukan Islam damai, Islam toleran, dan Islam yang menyejukkan di semua umat. Menjadi teladan dalam berkiprah baik di bidang agama, maupun di bidang kemanusiaan.

* Tuan Rumah Pondok Filsafat, Pegiat Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah
Editor: Yahya FR
Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *