Pagi ini, saya mendapat email dari Rektor ENS Jean-Francois Pinton untuk mengikuti “upacara hening cipta” bagi Samuel Paty, 47 tahun. Guru sejarah dan geografi di Colege (sekolah menengah pertama, SMP) Conflans-Sainte-Honorine, Yvelines ini ditebas oleh remaja 18 tahun dari Chechnya Rusia. Remaja ini marah pada Paty, gara-gara ia menjadikan karikatur Nabi Muhammad yang terbit di Majalah Charlie Hebdo tahun 2015, sebagai bahan diskusi anak-anak didiknya. Paty adalah seorang guru yang mengajarkan pendidikan moral dan sipil secara antusias di kelas. Ia menjadikan karikatur tersebut sebagai bahan diskusi tentang kebebasan pendapat di Perancis.
Guru Sejarah Ditebas Remaja Muslim
Kasus guru sejarah ditebas remaja muslim ini, sejatinya, menimbulkan kontroversi di kalangan orang tua siswa (Muslim). Paty dianggap rasis dan mengobarkan sentiman anti-Islam (islamofobia). Rasisme dan Islamofobia adalah tindakan buruk yang dikutuk Konstitusi Prancis. Di media sosial, isu ini ramai. Hingga, pada Jumat, 16 Oktober lalu, sepulang dari mengajar di SMP, Samuel Paty tetiba didatangi imigran Chechnya pencari suaka di Prancis itu menebas lehernya. Publik geger. Seluruh guru, dosen, dan civitas akademika di Prancis berkumpul untuk mengenang Samuel Paty.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, beberapa waktu lalu, menyatakan secara serius bahwa “Dunia Muslim sedang mengalami krisis”. Salah satu krisis besar yang disorot Macron adalah isu radikalisme dan terorisme yang tumbuh dari kalangan Islam. Implikasi dari pernyataannya adalah bahwa Perancis perlu kembali membentengi diri dari anasir-anasir yang dapat merontokkan nilai sekularisme dan kebebasan yang telah dianut sejak masa Pencerahan.
Untuk itu, Pemerintah Macron mengajukan sebuah RUU Separatisme — yang menurut para ahli, diambil untuk memerangi radikalisme dan ektremisme agama. Paham ini dianggap berupaya “memisahkan diri dari Konstitusi dan Budaya Prancis yang sekular dan demokratis” dan “hendak memisahkan diri secara — setidaknya, legal formal dari aturan hukum nasional Perancis”. Segregasi legal formal dan kultural ini, dalam beberapa tahun terakhir, diwujudkan dalam banalisasi simbol-simbol keagamaan dan kebudayaan di ruang publik dan politik.
RUU ini kontroversial, tidak hanya di kalangan politik Prancis, tetapi juga dikalangan komunitas Muslim Prancis. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa RUU Separatisme ini perlu. Serangan Charlie Hebdo dan Saint-Dennis Paris pada 2015, dan pemenggalan guru sejarah Samuel Paty pada Jumat,16 Oktober lalu–tampaknya, menjadi argumen kuat pengundangan RUU ini. Fakta segregasi sosial dan kultural pinggir-pinggir kota besar seperti paris, Lyon, Marseille, Toulouse dan lainnya yang ditandai tumbuhnya budaya komunitarisme merupakan indikasi melemahnya prinsip liberte (freedom) dan laicite (sekularisme) Perancis.
Kriminal Biasa Atau Terorisme?
Sebaliknya, bagi yang menolak, RUU ini adalah upaya nyata Macron dan rejimnya melakukan stigmatisasi negatif bagi Islam dan penganutnya. Seiring dengan krisis ekonomi sejak 2008 hingga krisis kesehatan 2020 ini, politik populisme kanan dan atau ektrem kanan di Perancis dan juga di Eropa acap kali memanfaatkan “krisis peradaban umat Islam” — ini yang patut diakui, sebagai senjata ampuh untuk menjaga status quo politik. Debat mengenai hal ini bertubi-tubi. Datang silih berganti.
Dalam dunia akademik, terkait isu radikalisasi di kalangan Muslim, publik terbelah di sekitar Olivier Roy dan Gilles Kepel. Dua sahabat karib pengikut Trotskis dan Maois yang berseteru dalam. Roy menolak teori Islam adalah agama radikal, ia mengunggah teori “kriminalisasi agama Islam”. Para kriminal itulah yang menjadikan kitab suci dan tradisi Nabi sebagai justifikasi dan legitimasi kejahatannya. Jelas, bagi Roy. Mereka kriminal biasa. Sedang, karib dan seterunya, Kepel sebaliknya. Kepel — sebenarnya seperti Bernard Lewis, Elie Kedourie, dan Caroline Fourest, melihat ada masalah di dalam doktrin Islam itu sendiri.
Lagi-lagi, Dunia Islam tampaknya tidak perlu reaksioner. Tanggapan Presiden Turki yang tak terima kritik Macron perlu didengar. Tapi tak perlu, hal itu merobek tenunan kain peradaban Barat dan Timur atawa Barat dan Dunia Muslim. Tak perlu juga melihat Prancis dan Eropa secara kategoris: musuh Islam. Tidak. Barat tidak lah monolitik atau monovokal. Ia adalah mozaik yang terus bergerak dinamis. Prancis tetap negara sekuler, yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuk agama dan keyakinan. Selama tak mericuh pondasi liberte, egalite dan fraternite, agama mendapatkan tempat di negara fashion dan anggur ini.
Upaya Penyembuhan Krisis Peradaban Islam
Dunia Muslim, terutama pemimpin-pemimpin Muslim, perlu menggiatkan upaya penyembuhan krisis peradaban Islam — sejak keruntuhan Spanyol Islam pada abad-15 dan jatuhnya dunia-dunia Muslim pada kolonialisme Barat. Sebuah “azmah wa mihnah kubra” yang perlu kesabaran, keuletan, dan kelenturan dalam menanganinya. Kita perlu kembali membuka-buka buku dan mematut-matut diri di depan cermin sejarah peradaban Islam yang berona dan warna-wani secara apa-adanya. Dan lalu mengupayakan apa yang perlu dilakukan at our best.
Umat Islam, mungkin, memang, sedang dalam krisis multidemensi. Kita perlu berlapang dada mengakui. Gumpalan kemalasan masih menggunung. Prestasi masih miskin. Kita pun suka congkrah antar sesama. Sikap mental rendah diri dan naluri sakit masih mendominasi sanubari dan akal budi sebagian umat Islam. Tindakan kekerasan dianggap sebagai ‘cara terbaik’ untuk membangun peradaban adiluhung. Tidak. Kita memang sedang kalah dan di buritan sejarah dan peradaban modern. Kita musti insafi kenyataan ini.
Tapi, bukankah, menginsafi ketidakberdayaan secara positif adalah sebuah langkah awal bagi sebuah ‘nahdlah’ untuk memperbaiki diri dan melihat lalu lintas sejarah dan peradaban manusia ini dengan lebih baik lagi?
19 Oktober,
Lyon, Prancis
Editor: Nabhan