Di tengah gejolak dunia Islam abad ke-13 dan 14 — ketika invasi Mongol mengguncang Baghdad dan kekuatan Salib masih mengancam dari Barat. Muncul seorang pemikir Ḥanbalī yang menyuarakan reformasi keagamaan dengan keberanian dan semangat tajdid: Aḥmad ibn Taimiyyah (1263–1328). Ia dikenal karena kritiknya terhadap praktik bid‘ah dan penolakan terhadap sinkretisme. Namun, di balik retorika keras itu, tersimpan satu gagasan penting dalam wacana spiritualitas Islam: konsep wali yang membumi.
Artikel ini mencoba mengurai pemikiran Ibn Taimiyyah tentang walāyah sebagaimana tertuang dalam risalah terkenalnya Al-Furqān baina Auliyā’ al-Raḥmān wa-Auliyā’ al-Syaithān (Pembeda antara Wali Allah dan Wali Setan).
Ibn Taimiyyah: Walāyah Bukan Hak Elitis
Salah satu misi utama Ibn Taimiyyah dalam Al-Furqān adalah memurnikan konsep kewalian dari dominasi narasi mistik-elitistik. Ia menolak pandangan bahwa walāyah adalah status spiritual eksklusif milik sekelompok sufi elit. Bagi Ibn Taimiyyah, setiap Muslim, baik petani, pedagang, ulama, maupun rakyat biasa — berpotensi menjadi wali, selama mereka bertakwa dan mengikuti Nabi Muhammad secara lahir dan batin.
Spiritualitas yang ditawarkannya adalah bentuk kesalehan yang membumi, realistis, dan terbuka. Ia menolak klaim karāmah sebagai pembenar tindakan ekstrem atau penyimpangan dari syariat.
Nabi Muhammad sebagai Satu-Satunya Jalan
Menurut Ibn Taimiyyah, jalan satu-satunya menuju kedekatan dengan Allah adalah melalui mengikuti Nabi Muhammad. Walāyah hanya sah jika selaras dengan syariat. Ia menolak klaim kewalian dari orang-orang yang tidak tunduk pada risalah Nabi, betapapun zuhud atau karismatiknya mereka.
Dengan itu, ia mengkritik tegas pandangan sufistik seperti milik Ibn ‘Arabī yang mengklaim adanya wali-wali yang memiliki derajat lebih tinggi dari nabi. Struktur mistik seperti abdāl, nuqabā’, awtād, dan qutb dianggap sebagai konstruksi spiritual tanpa dasar dari generasi salaf.
Tipologi Wali: Dua Jenis Walāyah
Dalam menafsirkan QS. Al-Wāqi‘ah, Ibn Taimiyyah membagi wali menjadi dua kategori:
- Al-sābiqūn al-muqarrabūn – mereka yang mendekat kepada Allah dengan amal wajib dan sunnah.
- Aṣḥāb al-yamīn – mereka yang memenuhi kewajiban dasar.
Keduanya adalah wali Allah, meski berada pada tingkat spiritualitas yang berbeda. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas Ibn Taimiyyah dalam menerima keragaman jalan menuju Tuhan, selama tetap berada dalam koridor wahyu.
Karāmah: Mukjizat atau Tipu Daya?
Ibn Taimiyyah tidak menolak realitas karāmah — keajaiban yang dapat terjadi pada wali. Namun, ia memberikan batasan yang sangat tegas untuk membedakan antara karāmah sejati dan bentuk penyimpangan spiritual. Menurutnya, tidak semua tindakan spektakuler merupakan tanda kedekatan seseorang dengan Allah. Bahkan, jika suatu fenomena tampak luar biasa di mata manusia, seperti berjalan di atas air, mengetahui hal gaib, atau kebal terhadap senjata. Hal tersebut tidak dapat dijadikan bukti valid tentang status kewalian seseorang apabila bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Bagi Ibn Taimiyyah, karāmah yang sahih harus selaras dengan ajaran Nabi dan tidak membawa pelakunya merasa lebih tinggi dari Rasulullah atau mengklaim otoritas keagamaan yang melampaui wahyu. Ia menekankan bahwa keajaiban sejati tidak dapat bertentangan dengan akhlak Islami, hukum syariat, dan tidak dijadikan alat legitimasi untuk mempengaruhi umat secara manipulatif.
Kritik kerasnya diarahkan pada fenomena muwallāh — orang-orang yang dianggap wali oleh masyarakat meskipun mereka hidup dalam pelanggaran syariat. Sosok-sosok ini sering kali menunjukkan perilaku eksentrik seperti tidak salat, telanjang di tempat umum. Atau tinggal di tempat najis, namun tetap dihormati karena diyakini memiliki karāmah. Ibn Taimiyyah melihat fenomena ini sebagai bentuk penyimpangan kolektif dalam masyarakat Muslim, di mana spiritualitas dipisahkan dari syariat dan digantikan dengan romantisasi terhadap kegilaan atau eksentrik spiritual.
Fanā’ dan Ḥaqīqah: Penolakan terhadap Mistisisme Ekstrem
Ibn Taimiyyah menolak paham fanā’ sebagai penyatuan esensial manusia dan Tuhan. Ia menggantinya dengan fanā’ irādī — peleburan kehendak hamba kepada Tuhan. Demikian pula, ḥaqīqah bukanlah rahasia mistik, melainkan kebenaran terbuka dalam syariat.
Ia mengajarkan bahwa wali tetap bisa melakukan kesalahan. Bahkan, jika seorang wali mendapatkan ilhām (inspirasi spiritual), maka itu pun harus diuji dengan wahyu. Sosok seperti ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, meskipun dikenal sebagai muḥaddath, tidak pernah menjadikan ilhām sebagai otoritas hukum, melainkan tetap tunduk pada Nabi.
Ibn Taimiyyah: Menolak Kultus dan Kasta Spiritual
Ibn Taimiyyah mengecam keras praktik pengkultusan tokoh-tokoh sufi, yang menurutnya merupakan bentuk penyimpangan teologis dan berbahaya bagi kemurnian akidah Islam. Ia melihat fenomena ini sebagai cermin dari kecenderungan manusia untuk mencari figur otoritatif di luar wahyu, yang dalam kasus ekstrem dapat menjurus pada taqlid buta dan bahkan syirik terselubung. Dalam pandangannya, ketika seseorang menganggap seorang syekh, mursyid, atau guru spiritual sebagai otoritas absolut dalam segala hal — bahkan melampaui teks suci — maka posisi orang tersebut telah digeser menjadi semacam “tuhan selain Allah,” sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kristen dengan pendeta dan rahib.
Penilaian Ibn Taimiyyah ini bukan tanpa dasar. Ia mengacu pada firman Allah dalam QS. At-Taubah: 31, yang mengkritik umat terdahulu karena menjadikan pendeta dan rahib sebagai tandingan Allah dalam penetapan hukum. Ia menyamakan perilaku sebagian pengikut tarekat yang menerima semua ucapan gurunya tanpa kritis, atau yang menganggap bahwa perkataan sang mursyid adalah kebenaran mutlak, sebagai bentuk pengulangan dari penyimpangan umat terdahulu. Dalam situasi ini, loyalitas terhadap manusia telah melampaui loyalitas terhadap Tuhan.
Ibn Taimiyyah: Walāyah sebagai Jalan untuk Semua
Bagi Ibn Taimiyyah, walāyah bukan klaim eksklusif, melainkan potensi spiritual semua Muslim yang bertakwa. Tak perlu menjadi sufi ekstrem atau mengalami ekstase mistik untuk dicintai Tuhan. Di tengah keresahan spiritual modern, konsep wali yang membumi menawarkan jalan tengah: mendalam tapi tetap syar‘i, inklusif dan realistis, terbuka bagi semua, bukan hanya para khawāṣṣ.
Gagasan ini menjadi penting terutama dalam konteks kontemporer, ketika banyak Muslim merasa terasing dari spiritualitas karena dianggap tidak cukup “sufi” atau tidak memiliki akses terhadap pengalaman mistik. Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa kedekatan dengan Allah tidak ditentukan oleh status sosial, kemampuan supranatural, atau afiliasi tarekat tertentu, melainkan oleh ketakwaan, keikhlasan, dan konsistensi dalam mengikuti ajaran Nabi.
Editor: Assalimi