Perspektif

Makna, Hukum, dan Hikmah Kurban

3 Mins read

Secara bahasa, kurban merupakan ism mashdar dari kata qaraba, yang berarti dekat. Ada juga kata qarraba yang bermakna mendekatkan atau mempersembahkan. Dalam surah al-Maidah ayat 5, misalnya, diceritakan bagaimana kedua putra Nabi Adam melakukan persembahan, yang dalam redaksi ayatnya menggunakan diksi qurbaan.

Dalam fikih, kurban merujuk pada kata al-udhiyyah yang berarti penyembelihan. Secara istilah, kurban adalah sesuatu (umumnya hewan ternak seperti unta, sapi, dan kambing) yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt yang dilaksanakan pada waktu khusus, yaitu hari raya iduladha dan hari-hari tasyrik atau 10-13 Zulhijah, dan memiliki syarat-syarat khusus (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jil. 5, hlm. 74).

Hewan yang disembelih dapat dikatakan sebagai kurban hanya jika ia diniatkan sebagai kurban dan dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan. Penyembelihan hewan dengan tujuan akikah, jual beli, atau lainnya tidak dianggap sebagai kurban. Atau, kendati ia diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti untuk sedekah, juga tidak dapat dianggap sebagai kurban jika dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukan.

Hukum Kurban

Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa melaksanakan kurban (penyembelihan) di hari Idul Adha atau hari-hari tasyrik adalah sunah muakkad (sunah yang sangat dianjurkan). Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafii, Maliki, dan Hanbali.

Kesunahan kurban bagi ketiga mazhab di atas didasarkan pada sebuah hadis yang artinya, “Jika telah tiba sepuluh Zulhijah, dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, janganlah ia mencukur rambut dan memotong kukunya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1977).

Adanya redaksi, “… dan salah seorang dari kalian ingin…” pada hadis di atas merupakan dalil kesunahan kurban. Seandainya kurban adalah wajib, maka Nabi Muhammad tidak akan menyebutkan redaksi tersebut.

Baca Juga  Apa Saya Masih (Dianggap) Muhammadiyah Sedangkan Saya Merokok?

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib. Dalil wajibnya kurban bagi beliau adalah al-Qur’an surah al-Kautsar ayat 2 (Dan salatlah karena Tuhanmu, lalu laksanakan kurban). Bagi Imam Abu Hanifah, apa yang diwajibkan kepada Nabi Muhammad Saw, maka wajib juga bagi umatnya karena beliau adalah suri teladan.

Dalil lain yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah adalah hadis Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

” مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا “

Siapa saja yang memiliki keluasan harta dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati mushala kami.” (HR. Ibn Majah, no. 3123).

***

Bagi beliau, hadis di atas merupakan wa’iid (peringatan atau ancaman keras) bagi siapa saja yang tidak melaksanakan kurban padahal ia mampu. Wa’iid, menurut Imam Abu Hanifah, muncul ketika ada kewajiban yang ditinggalkan (Mausu’ah al-Fiqhiyyah, jil. 5, hlm. 76).

Buya Yahya dalam bukunya Fiqih Kurban menjelaskan bahwa kurban dapat menjadi wajib bagi seseorang jika terdapat satu dari dua hal. Pertama, adanya nazar. Misalnya, seseorang berkata, “Aku wajibkan diriku berkurban di tahun ini.” Maka kurban menjadi wajib baginya pada tahun tersebut, tidak peduli apakah dia kaya atau miskin.

Kedua, adanya maksud yang jelas untuk berkurban. Misalnya, seseorang yang memiliki kambing berkata, “Akan kujadikan kambing ini sebagai kambing kurban. Maka, berkurban dengan kambing tersebut adalah wajib.

Dengan demikian, hukum kurban menurut pendapat mayoritas ulama adalah sunah yang sangat dianjurkan. Kesunahannya berlaku setiap tahun, tidak sekali seumur hidup sebagaimana yang dipahami oleh sebagian muslim.

Hikmah Kurban

Setiap peristiwa mengandung hikmah yang penting untuk direnungkan, terlebih jika hal itu berkaitan dengan ibadah yang sarat akan makna dan sejarah. Kurban yang kini menjadi ibadah dalam agama Islam merujuk pada peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail.

Baca Juga  Membaca Buya Syafii: Posisi Perempuan dalam Islam

Sudah maklum bagi mayoritas muslim bahwa kurban merupakan teladan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ketika diminta oleh Allah untuk mengurbankan buah hati yang sangat dicintainya. Dalam Tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim baru memiliki anak di usia 86 tahun. Setelah puluhan tahun menunggu diberikan anak kemudian dikurbankan, merupakan ujian yang sangat berat bagi siapa saja, termasuk nabi.

Dalam peristiwa ini, Nabi Ibrahim mengajarkan bagaimana pun cinta dan ketaatan kepada adalah yang paling utama dan harus diutamakan. Kecintaan terhadap anak dan dunia tidak boleh melebihi cinta kepada-Nya. Berkali-kali al-Qur’an mengingatkan hal ini (lih. QS. al-Munafiqun: 9; QS. al-Baqarah: 165; QS. al-Taubah: 24).

Dengan merenungi kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, kita juga dapat mengambil pelajaran tentang keikhlasan. Ridha Allah adalah tujuan utama dalam hidup seorang muslim. Nabi Ibrahim mengajarkan kerelaan dan keteguhan hati untuk melepas sesuatu yang sangat dicintainya demi menggapai rida Ilahi.

***

Mereka yang berkurban sejatinya mencari keridhaan Allah dengan mengorbankan harta mereka. Bagi sebagian orang, berkurban adalah ibadah yang mudah dan murah. Namun, bagi mereka yang hidup dalam ekonomi menengah ke bawah, berkurban bisa jadi menghabiskan hampir semua harta yang dimiliki. Tetapi, apalah artinya harta jika tidak mendapatkan ridha Allah.

Berkurban juga dapat menjadi sebab terciptanya solidaritas dalam masyarakat. Rangkaian proses kurban, dimulai dari proses persiapan, penyembelihan, pemotongan bagian-bagian hewan kurban, hingga membagi-bagikan daging kurban biasanya tidak hanya dilakukan seorang diri. Ia melibatkan banyak orang, baik keluarga mau pun tidak. Momentum ini dapat menghangatkan suasana dan menciptakan silaturahmi.  

Maka, hari Idul Adha merupakan kesempatan baik untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai sarana untuk memupuk persaudaraan. Jangan jadikan kurban sebatas adu gengsi dan pamer kekayaan.

Baca Juga  KPK Dilemahkan dan Upaya Cegah Korupsi Sejak Dini

Editor: Soleh

Avatar
17 posts

About author
Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kotabaru
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Anti Filsafat: Membaca Ulang Pemikiran Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Ketika sejarah mencatat guncangan besar dalam dunia Islam pada abad ke-13, satu nama yang terus bergema hingga hari ini adalah Ibn Taimiyyah….
Perspektif

Dua Wajah Pengurus Masjid

5 Mins read
Kata matsal atau perumpamaan dalam kamus Bahasa Arab Lisanul Arab karangan Imam Ibn Mandhur al-Afriqiy atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Mandzur…
Perspektif

Kiai, Santri, dan Kekuatan Pesantren sebagai Institusi Tradisi

3 Mins read
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan Islam di Nusantara. Sejarah pesantren adalah kaleidoskop perjuangan umat Islam dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *