Peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia pada tahun 2022 menempati posisi ke-69 dari 80 negara di dunia. PISA merupakan program penilaian siswa secara internasional yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Program ini mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun. Tujuannya tidak sekadar mengukur kemampuan akademik murni, melainkan juga menilai sejauh mana siswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks kehidupan nyata. Namun, fenomena literasi instan yang marak saat ini sering menghambat kemampuan siswa untuk menggali pemahaman yang lebih mendalam.
Hasil penilaian PISA dapat digunakan sebagai indikator kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) suatu negara. Secara sederhana, semakin rendah skor PISA yang diperoleh suatu negara, maka kualitas pendidikan dan SDM-nya dinilai masih rendah dan perlu ditingkatkan. Kondisi ini semakin diperparah dengan budaya literasi instan yang membuat proses belajar menjadi superfisial dan kurang substansial.
Selain PISA, ada riset lain yang berfokus pada kualitas literasi dan minat baca masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 berjudul World’s Most Literate Nations Ranked menempatkan Indonesia pada posisi kedua dari bawah, yaitu ke-60 dari 61 negara, hanya di atas Botswana. Padahal, menurut Anis Baswedan, dari sisi komponen infrastruktur perpustakaan, Indonesia berada di peringkat ke-34, mengungguli negara-negara seperti Jerman, Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Namun, kelengkapan infrastruktur perpustakaan ini ternyata tidak sejalan dengan tingginya minat baca masyarakat, yang semakin tergerus oleh budaya literasi instan.
Literasi Instan dan Dampaknya Terhadap Pandangan Keagamaan
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya al-Fatawa Baina al-Indibath wa al-Tasayyub memperkenalkan istilah unik, zaman sandwich. Istilah ini menggambarkan fenomena masyarakat yang lebih suka mengonsumsi informasi instan tanpa verifikasi kebenaran dibanding membaca sumber pengetahuan primer yang kredibel (mu’tamad). Ciri masyarakat semacam ini adalah ketidakmampuan untuk duduk dan menyimak materi secara mendalam selama satu jam penuh. Mereka lebih suka menikmati tulisan-tulisan ringan dan praktis yang menjadi ciri khas literasi instan.
Dalam konteks masyarakat modern, konsumen literasi sandwich ini ditandai dengan minat baca buku yang rendah, namun sangat aktif dan cerewet di media sosial. Jari-jarinya lebih cepat memberikan like, share, dan komentar dibanding kecepatan kerja otaknya dalam berpikir. Meski karya al-Qardhawi ini diterbitkan pada tahun 1980-an, fenomena literasi instan yang menggantikan literasi mendalam saat ini bahkan jauh lebih massif.
Data PISA 2022 menunjukkan lebih dari 70% siswa Indonesia tidak mampu menafsirkan, mengevaluasi, dan merefleksikan informasi dari teks yang kompleks. Hal ini tentu saja dipengaruhi kemampuan literasi yang rendah, yang disebabkan pula oleh maraknya budaya literasi instan. Para siswa lebih sering terpapar bacaan ringan dan konten tidak bermanfaat di media sosial. Keengganan membaca buku berkualitas secara mendalam yang dapat melatih nalar ilmiah dan argumentatif juga berkontribusi pada rendahnya kemampuan berpikir kritis.
Rendahnya literasi juga berpengaruh pada sikap hidup dan pandangan keagamaan seseorang. Individu dengan literasi keagamaan rendah rentan dimanipulasi oleh narasi ideologis yang diklaim sebagai bagian dari agama. Mereka tidak terbiasa menguji validitas dalil atau menelaah otoritas keagamaan secara kritis, terjebak dalam pola pikir literasi instan yang hanya menerima tanpa mempertanyakan. Akibatnya, muncul tindakan radikalisme atas nama agama, taklid buta, kultus individu, hingga kekakuan beragama yang menganggap diri dan kelompoknya paling benar. Semua itu adalah buah dari pemahaman teks agama yang sempit dan tidak dialogis.
Munculnya “Tuhan-Tuhan Kecil”
Manusia tetaplah manusia dan tidak bisa menjadi Tuhan, siapa pun itu, termasuk anak tokoh agama atau keturunan nabi sekalipun. Perilaku, pendapat, dan ucapannya tidak harus selalu diikuti apalagi dipertuhankan. Namun, masih ada orang yang mempertuhankan manusia lain karena menganggapnya lebih mulia — entah karena nasab, ilmu, atau kemampuan mengulang ayat suci dan sabda nabi. Fenomena ini diperparah oleh budaya literasi instan yang membuat orang sulit melakukan verifikasi dan berpikir kritis.
Orang dengan tingkat literasi rendah sulit berpikir kritis dan mendalam, sehingga mudah terombang-ambing oleh klaim dan doktrin yang terkesan religius. Mereka tidak bisa membedakan ulama berotoritas ilmiah dengan sekadar penceramah panggung. Karena itu, mereka merasa nyaman menyaksikan penceramah yang menyampaikan banyak hal bertentangan dengan sains atau kaidah pokok ilmu agama. Ayat dan hadits yang dikutip tanpa memperhatikan aspek tahrir mahal an-niza’, tahrir al-manath, tanqih al-manath, dan tahqiq al-manath dianggap sah-sah saja, meski berimplikasi fatal dalam konklusi hukum. Budaya literasi instan membuat persoalan ini kian sulit teratasi.
Ibnu Rusyd pernah mengatakan, “Idza aradta an tahakkama fi jahilin, fa ‘alaika an tughallifa kulla bathilin bi ghilafin diniyyin” (jika engkau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah kebatilan dengan kemasan agama). Fenomena ini akan terus berulang jika masyarakat muslim memandang setiap ceramah agama sebagai kebenaran ilahi yang mutlak tanpa sikap kritis, apalagi di era literasi instan seperti sekarang.
Memandang Esensi Kebenaran
Kebenaran seharusnya tidak diukur dari sosok, label, senioritas, atau banyaknya pengikut, melainkan dari esensi kebenaran itu sendiri. Ali ibn Abi Thalib mengingatkan, “La ta’rif al-haq bi ar-rijal, i’rif al-haq ta’rif ahlahu” (jangan ukur kebenaran dari sosok, tapi kenalilah kebenaran agar kau tahu siapa yang berdiri di atasnya).
Ilmuwan dan ulama pun terbuka untuk dikritik dan didiskusikan pendapatnya. Tidak semua harus diikuti secara membabi buta. Dalam filsafat dikenal argumentum ad verecundiam, yaitu kesalahan berpikir yang menyimpulkan kebenaran hanya karena otoritas pembicara, bukan berdasarkan bukti valid. Dari sini terlihat bahwa bahkan yang berotoritas ilmu masih bisa dikritik, apalagi yang tidak memiliki otoritas. Literasi instan membuat orang enggan menggali dan mempertimbangkan kritik terhadap pendapat otoritas tersebut.
Islam adalah agama yang menuntun umatnya kepada tauhid dan melarang penghambaan kepada selain Allah. Penghambaan sepenuh hati hanya untuk Tuhan sejati, Allah Azza wa Jalla. Maka sangat paradoks jika manusia mengangkat “tuhan-tuhan kecil” yang ditaati setiap ucapannya hanya karena minim literasi dan ketergantungan pada literasi instan.
Kegagalan Menempatkan Wilayah Empiris dan Transenden
Daya nalar yang lemah akibat kurang literasi juga menyebabkan ketidakmampuan membedakan wilayah empiris dan transenden. Berbagai fenomena yang seharusnya disikapi dengan pendekatan empiris malah diselesaikan dengan pendekatan transenden, yang makin diperparah oleh budaya literasi instan.
Misalnya, ada orang meninggal setelah menebang pohon tua besar lalu langsung dianggap dibunuh jin penunggu pohon tersebut. Seharusnya, langkah pertama adalah verifikasi empiris dengan pemeriksaan medis. Bukan langsung mengaitkan dengan hal ghaib. Fenomena ini disebut Tan Malaka sebagai logika mistika.
Begitu pula ketika terjadi bencana alam seperti banjir, longsor, dan gempa bumi, sering dikaitkan dengan kemaksiatan manusia. Padahal, aspek kerusakan ekologis akibat perilaku manusia seperti membuang sampah sembarangan, deforestasi, dan pembangunan di daerah resapan sering diabaikan. Memang bencana terjadi karena maksiat, tapi maksiat ekologis karena keserakahan manusia yang merusak alam, bukan semata maksiat seperti judi atau mabuk-mabukkan. Literasi instan seringkali menghalangi masyarakat untuk memahami hubungan kompleks ini secara mendalam.
Literasi Instan dan Pola Pikir Fatalistik
Sikap pasrah atas nama tawakal terhadap kesengsaraan seperti kemiskinan, sulitnya akses kesehatan, pendidikan yang buruk, korupsi, dan sempitnya lapangan kerja juga sering berujung pada ketidaktindakan. Padahal, seluruh masalah ini bisa diatasi oleh tangan manusia dan perjuangan nyata agar tercipta peradaban Islam yang bermartabat. Ironisnya, pola pikir fatalistik semacam ini sering ditekankan oleh banyak penceramah agama secara masif, dan diperparah oleh budaya literasi instan yang memudahkan penyebaran pandangan sempit tersebut.
Perjalanan membangun peradaban Islam yang megah masih sangat panjang. Masih banyak masalah umat yang muncul bukan dari serangan eksternal, melainkan dari cara berpikir yang keliru terhadap dunia. Bagaimana bisa maju bersama jika pondasi pemikiran kita masih rapuh karena terpengaruh oleh literasi instan?
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita menengok kembali keislaman kita. Tidak ada jalan lain selain kembali kepada perintah pertama Allah yang diturunkan dalam kitab suci-Nya: Iqra’! — Bacalah! Agar terlepas dari jebakan literasi instan dan mampu membangun peradaban yang kuat.
Editor: Assalimi
jempong kodya