Momentum sakral Tahun Baru Islam 1444H, Raja Salman memerintahkan Kain Kiswah Baitullah diganti tidak lagi ditanggal 9 Zulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah.
Akan tetapi tahun ini dan insya Allah seterusnya akan dilakukan setiap tanggal 1 Muharram, keputusan bersejarah ini tentu akan berdampak luas setidaknya untuk umat Islam setiap Tahun Baru Hijrah mempunyai tradisi baru penggantian ‘”jubah kiswah baitullah” yang menjadi kebanggaan umat Islam Seluruh Dunia.
Kebijakan baru Raja Salman ini mengundang ratusan ribu jamaah dari seluruh dunia bahkan penduduk asli Mekkah sejak Magrib hari jumat 29 Juli 2022, memadati Masjidil Haram untuk melakukan ibadah umroh, tawwaf di baitullah atau sekedar berjamaah salat magrib dan isya.
Layaknya pergantian tahun Masehi, umat Islam yang berkumpul di kawasan Masjidil Haram menanti momen pergantian Tahun dengan memperbanyak ibadah dan berdoa kepada Allah SWT agar Tahun Baru ini lebih banyak keberkahan yang diturunkan Allah SWT kepada semua umat Islam. Tergambar padatnya jamaah yang melakukan tawaf Jumat malam itu seperti saat puncak haji yang nyaris semua lantai dipenuhi jamaah.
Berbeda dengan tahun Masehi yang pergantiannya pada pukul 00.00 malam, penanggalan model Umar bin Khattab Hijrah dimulai saat matahari tenggelam atau menjelang salat magrib.
Sistem penanggalan Kalender Hijrah dibuat oleh umat Islam pada abad ke-7, sistem kalender ini merupakan warisan sejarah di masa Umar bin Khattab, tepatnya 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW.
Penyebutan “Hijrah” diambil dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah pada 622 Masehi. Yang kemudian, ditetapkan sebagai dimulainya perhitungan tahun Hijrah. Yang kemudian, digunakan oleh umat muslim dan negara-negara Islam.
***
Pembuatan kalender Hijrah berdasarkan permasalahan surat-menyurat kala itu yang dialami pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin. Kesulitan dalam mengidentifikasi dokumen berdasarkan tahun bulan dan hari menjadi landasan utama era penanggalan Islam kala itu. Salah satu landasan teologisnya sebagaimana tercantum dalam QS. Surat Al-Isra ayat 12:
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
Dalam kajian Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, dalam menafsirkan makna “dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan”.
Sebab tidak mungkin diketahui bilangan tahun dan perhitungan bulan dan hari kecuali dengan pergantian siang malam. Jika merujuk pada pendapat pertama dalam penafsiran tanda malam yang tidak disebutkan tentang bulan, maka bilangan tahun yang dimaksud adalah tahun Syamsiyah (Masehi). Dan jika merujuk pada pendapat kedua, maka yang dimaksud adalah bilangan tahun Qamariyah (Hijriyah).
Tentang Kiswah yang Melegenda
Kiswah adalah potongan kain bersulam emas yang digunakan untuk menutupi Ka’bah. Kiswah dalam bahasa Arab berarti ‘selubung’ dan seasal dengan kata kisui dalam bahasa Ibrani.
Saat ini, Kiswah Ka’bah sudah diproduksi di Mekkah yang sebelumnya selama ratusan tahun diproduski di Mesir. Mesir menyerahkan Kiswah itu ke pemimpin Bani Shaibi pemegang kunci Ka’bah. Tradisi ini berlanjut sampai Perang Dunia I.
Dalam catatan laman ihram.co.id, diulas banyak buku sejarah Islam sepakat Kiswah telah ada sejak Nabi Ibrahim, dan orang pertama yang membuatnya adalah Ismail – putra Ibrahim.
Raja Tub’a dari Yaman, yang menduduki Makkah dan Madinah, melanjutkan tradisi ini. Ada banyak cerita tentang Raja Tub’a. Versi Yahudi mengisahkan bahwa Tub’a menjadi pengikuti Judaisme.
Sejarawan Ibnu Hisyam mengatakan Raja Tub’a melakukan ibadah haji. Sang raja bermimpi menyelimuti Ka’bah dengan kain. Ia mewujudkannya, dan Ka’bah diselimuti dengan kain warna-warni khas Yaman; kuning dan hijau.
Pada masa pra-Islam, tradisi Kiswah terus berlanjut. Suku-suku Arab melakukan semua itu sebagai penghormatan terhadap peninggalkan nenek moyang mereka. Sampai akhirnya, kaum Quraish menguasai Makkah cukup lama.
***
Pada masa Islam, Kiswah mulai dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an. Terutama surat Al Ikhlas, serta kalimat Allahu Akbar, dan syahadat. Namun, Rasulullah belum mengganti warna Kiswah. Ia masih tetap menggunakan warna Yaman, peninggalkan Tub’a.
Pada masa khalifah Abu Bakar, Umar ibn al Khattab dan Utsman bin Affan, warnah Kiswah berganti. Ketiganya lebih menyukai warna Koptik khas Mesir.
Pada masa Dinasti Mu’awiyah, Kiswah berganti warna lagi. Warna Koptik khas Mesir ditanggalkan, diganti dengan warna merah, putih, hijau, dan warna tradisional hitam. Saat itu, telah muncul perdebatan apa warna yang pantas untuk Kiswah. Semua sepakat, Kiswah harus berwarna hitam.
Raja Muzaffar dari Yaman, yang memimpin Dinasti Abbasiyah, yang kali pertama membuat Kiswah dalam bentuk baju. Pembuatan dilakukan di Mesir, karena saat itu kekuasaan Abbassyiah mencapai Mesir.
Tradisi pembuatan Kiswah di Mesir berlanjut sampai kekuasaan Daulah Utsmaniah. Setiap tahun, sebuah iring-iringan panjang pembawa Kiswah berangkat dari Mesir. Mereka tidak hanya membawa Kiswah, tapi juga bantuan makanan untuk penduduk Mekkah.
Demikian kharismatiknya Kiswah dalam konteks peradaban umat Islam yang senantiasa mendapatkan tempat khusus dalam catatan sejarah perkembangan Islam sampai abad modern saat ini.
Kiswah di Era Raja Salman
Ir. Faris Al Mathrafi Asisten Wakil Sekretaris Majma’ Malik Abdul Aziz menerangkan bahwa Majma’ Malik Abdul Aziz li Kiswatil Ka’bah Al-Mustarrafah adalah salah satu pusat peradaban di Makkah. Di dalamnya, tergabung sekitar 220 teknisi, seniman Arab Saudi yang ikut bekerja dalam membuat kiswah.
Kiswah adalah pusaka kebanggaan kerajaan Arab Saudi. Maka, mereka totalitas dalam membangun pusat produksi Kiswah dengan bahan yang paling mahal di dunia. Setiap tahun biayanya sekitar 25 juta Riyal Saudi setara dengan 100 milliar rupiah. Bahan itu terdiri dari 760 kg sutra Italia. Serta, 120 kg emas dan 100 kg perak dari Jerman.
Syekh Mukhtar Alam salah satu penulis kaligrafi Majma’ Malik Abdul Aziz, terkait bagian Kiswah yang menjadi penutup Kabah. Menurutnya, kiswah penutup Kabah yang berukuran 6,3 m x 3,3 m. Di dalamnya tertera tulisan beberapa ayat Al-Qur’an dan Asmaul Husna, dalam bentuk yang berbeda-beda, ada yang kotak, panjang, dan lainnya.
Karakter khat yang digunakan adalah tsulutsi dengan besaran yang beda-beda, ada yang kecil dan besar, di bagian atas, ada tulisan Allahu Rabbi, Hasbiyallah, dan Allahu Rabbi.
Pada bagian lain, tertera tulisan ayat qad naraa taqalluba wajhika fis-samaa’ ayat Al-Qur’an QS. Al-Baqarah 144 yang artinya: Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Dan pada bagian pinggir Kiswah, ada tulisan surat Al-Fatihah sebagai penghormatan terhadap Ummul Qur’an.
***
Karakter tulisan Tsulutsi adalah jenis khat (font) yang paling tua, sejak abad 3 Hijrah. Khat Tsulutsi juga paling bagus dan rumit. Khat ini membantu para penulis untuk berkreasi lebih bebas, bisa menyesuaikan dengan tempat, bisa lebih besar atau kecil, untuk proses pembuatan Kiswah Kabah dibuat hingga selesai dalam rentang waktu 8-10 bulan.
Titah Raja Salman Raja Arab Saudi ketujuh ini, yang sekaligus sebagai Penjaga Dua Kota Suci, dan pemimpin Wangsa Saud atau bani saud saat ini, selain proses penggantian jubah ka’bah di bulan Muharram, juga diinstruksikan proses pencucian Kabah, akan dilakukan pada 15 Muharram setiap Tahunnya. Sepertinya rangkaian kebijakan ini menjadi bagian dari upaya memuliakan Bulan Muharram sebagai salah satu bulan mulia yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim.
Muharram Bulan Mulia Penuh Berkah
Kenapa Muharram sangat istimewa? Terang dalam Al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 36, Allah mengabarkan 4 bulan mulia yang wajib dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Dalam Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia dijelaskan sesungguhnya bilangan bulan-bulan dalam hukum Allah dan dalam catatan yang tertulis di lauhil mahfuzh ada dua belas bulan. pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Diantaranya ada empat bulan haram yang Allah mengharamkan peperangan di dalamnya, (yaitu bulan, Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharam, dan Rajab).
Demikianlah agama yang lurus. Maka, janganlah kalian menzalimi diri kalian di dalam bulan-bulan tersebut lantaran tingkat keharamannya bertambah dan dikarenakan perbuatan zalim padanya lebih parah dibandingkan bulan lainnya. Bukan berarti kezaliman di bulan lain boleh.
Dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka telah memerangi kalian semua. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dengan dukungan dan pertolongan-Nya.
Pada bulan-bulan ini umat Islam dilarang menganiaya diri sendiri dan sebaliknya diperintahkan memperbanyak amal saleh. Hal ini sepertinya yang menginspirasi Raja Salman menerapkan kebijakan strategis pemindahan tradisi pemasangan Kiswah Baru dan pencucian Ka’bah di bulan Muharram yang penuh berkah.
Pada surat lain (Surat Al-Fajar ayat 1-3), Allah berfirman dengan kalimat seakan-akan bersumpah: ‘Wal-Fajri (demi waktu Fajar), wa laya lin ‘Asyrin (demi malam yang sepuluh), wassyaf’i wal-watri (demi yang genap dan yang ganjil).
Para mufasir menjelaskan ayat “Demi malam yang sepuluh” itu adalah 10 hari terakhir bulan Ramadan, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan 10 hari pertama bulan Muharram.
Bagaimana dengan umat Islam di Indonesia, mampukah kita menjaga kemuliaan bulan-bulan istimewa tersebut dengan konsisten menjaga diri untuk tidak berbuat kezaliman haliman terhadap diri sendiri maupun terhadap bangsa dan negara, menghentikan budaya buruk saling menghina, dan membenci, “membinasakan” prilaku korup terhadap kebijakan dan uang rakyat. Beranikah kita satu kata “memerangi” kaum musyrikin yang bersikap jahat terhadap Islam, dengan cara yang dibenarkan hukum positif di Indonesia.
Wallahul musta’an fastabiqul khairat.
Editor: Yahya FR