Bukan Pak AR kalau tidak punya cerita yang mengundang gelagak tawa. Cerita tentang Pak AR yang anekdotis memang berangkat dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Kali ini cerita Pak AR yang akan mengikuti ujian untuk mendapatkan SIM. Dituturkan secara lugas oleh Syukriyanto AR, yang tidak lain putra Pak AR sendiri, dalam buku Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR (2005).
Singkat cerita, pada sekitar tahun 1956, Pak AR menjadi anggota DPR DIY. Ada kebijakan baru bahwa setiap anggota DPR mendapat fasilitas kredit untuk pembelian sepeda motor, tidak terkecuali Pak AR pun menikmati fasilitas ini.
Konon, sebagaimana yang dituturkan Syukriyanto AR, sepeda motor yang jadi program kreditan itu bermerek IFA. Tentu saja Pak AR harus punya SIM untuk bisa mengendarai sepeda motor itu. Karena belum memiliki SIM, Pak AR pun harus mengikuti ujian untuk mendapatkan SIM dari kepolisian.
Diceritakan oleh Syukriyanto AR, konon ada dua jenis ujian yang harus ditempuh Pak AR: teori dan praktek. Setelah lulus ujian teori, Pak AR harus melanjutkan ujian praktek. Nah, di sinilah cerita kocak Pak AR dimulai.
Dalam ujian praktik tersebut, biasanya polisi penguji akan di depan, mengendarai sepeda motor di jalan raya untuk diikuti oleh Pak AR. Ada juga pak polisi yang mengikuti dari belakang. Pak polisi yang di depan kemudian masuk ke jalan gang, lalu ke jalan-jalan yang agak sulit seperti tikungan dan lorong sempit. Nah, ketika sampai di jalan yang sempit dan licin, Pak AR berhenti lalu turun dari sepeda motornya. Dengan hati-hati ia menutun sepeda motor itu.
Pak polisi yang mengikuti dari belakang kaget, “Pak, kok motornya dituntun ?”
Mau tahu apa jawaban kocak Pak AR?
“Lha saya ujian SIM ini ingin selamat! Kalau saya ketemu jalan seperti ini, daripada jatuh, lebih baik saya tuntun,” jawab Pak AR.
Mendengar jawaban Pak AR, polisi itu pun tertawa geli. Dan yang lebih menggelikan lagi, toh Pak AR lulus juga.