Feature

Ketulusan Persahabatan Buya Yunahar dan Buya Syafii

4 Mins read

Pada hari Jum’at, 26 Juli 2019, Buya Yunahar Ilyas mengirim pesan kepada saya via WhatsApp: “Asww, Erik, Buya Syafii dirawat di ruang mana? Saya otw ke PKU Gamping. Wassalam.” Ketika itu, pesan ini baru saya baca dua hari kemudian setelah HP terpaksa dimatikan selama dua hari dua malam. Membuka dan membaca ulang percakapan ini, air mata saya tak terasa mengalir begitu saja. Maafkan saya, Buya Yunahar.

Buya Yunahar Ilyas kepada Buya Syafii

Tiga hari berikutnya, Senin, 29 Juli 2019, Buya Yunahar mengirim pesan lagi: “Asww, alhamdulillah, operasi batu ginjal pak Syafii berjalan sukses. Semoga cepat pulih seperti semula. Kemarin saya dan istri tiga kali ke PKU Gamping. Pagi dua kali, tapi pak Syafii sedang ke RS Sardjito dan sekali menjelang Isya, tapi pak Syafii sudah ke RS Hardjo Lugito. Syafakumullahu syifaan ‘ajilan. Syifaan lan yughadiru saqman. Aamiin. Wassalam. Yunahar Ilyas.”

Buya Yunahar saat itu sangat aktif memantau perkembangan kesehatan Buya Syafii yang tengah dirawat di PKU Muhammadiyah Gamping. Dalam sehari, Buya Yunahar sampai tiga kali berkunjung ke PKU Gamping untuk membesuk Buya Syafii. Namun tak sekalipun ia berkesempatan berjumpa dengan Buya Syafii karena harus dirujuk ke RS Sardjito dan RS Hardjo Lugito untuk menjalani perawatan lebih lanjut.

Meskipun tiga kali gagal berjumpa Buya Syafii, Buya Yunahar saat itu tetap menunjukkan perhatian yang tulus kepada Buya Syafii. Di hari yang sama, Senin, 29 Juli 2019, Buya Yunahar titip salam untuk Buya Syafii: “Sampaikan salam saya untuk Buya. Sabtu dan Ahad kemarin saya di Surabaya. Belum bisa membesuk Buya lagi.” Sejak saat itu, saya juga aktif mengabari Buya Yunahar tentang perkembangan kesehatan Buya Syafii.

Beberapa menit kemudian saya membalas pesan Buya Yunahar: “Siap, ustaz, salam sudah saya sampaikan secara langsung. Saya sedang bersama Buya Syafii. Buya Syafii sudah di rumah sejak hari ini pukul 09.30.” Kata Buya Yunahar kemudian: “Alhamdulillah Buya sudah di rumah. Terima kasih, Erik.” Tidak selesai sampai di situ, masih dalam situsi Buya Syafii yang belum pulih, pada 3 Agustus 2019 Buya Yunahar bertanya lagi: “Erik, kalau sekarang saya ke rumah Buya Syafii, kira-kira beliau ada nggak?” Saat itulah kemudian Buya Yunahar berjumpa dengan Buya Syafii di rumah, di kampung Nogotirto Sleman, setelah gagal berjumpa untuk yang kesekian kalinya.

Baca Juga  Arah Baru Gerak Santri

Kepedulian dan perhatian Buya Yunahar Ilyas kepada Buya Syafii tidak hanya tampak saat itu saja. Pada 11 November 2016 yang silam, ketika orang beramai-ramai merundung Buya Syafii di media sosial atas kasus Ahok, Buya Yunahar bersama Pak Haedar Nashir justru mengunjungi Buya Syafii di kediamannya untuk bertabayun sekaligus memberikan sokongan semangat. Selain mengedepankan kesantunan, Buya Yunahar adalah ulama yang menjunjung tinggi akhlak kepada sesama, khususnya kepada yang lebih tua darinya. Ia adalah ulama sejati.

Buya Syafii kepada Buya Yunahar

Pada permulaan Juni 2019, masih dalam suasana hari raya Idul Fitri, Buya Yunahar dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta Jl Ahmad Dahlan. Sejak saat itu ia harus secara rutin melakukan cuci darah karena gagal ginjal. Semua kegiatan, termasuk jadwal berdakwah, dihentikan. Buya Yunahar harus istirahat total. Pada hari Sabtu, 8 Juni 2019, sekitar pukul 10.00 Buya Syafii membesuk Buya Yunahar yang tengah terbaring di rumah sakit.

Dalam kunjungan itu, Buya Syafii tak henti-henti menghibur, memotivasi, dan mendoakan Buya Yunahar agar segera sembuh dari sakitnya. Umat merindukan kehadiran Buya Yunahar. Tapi, sebagaimana pesan Buya Syafii, sesibuk apapun kita di jalan dakwah, kesehatan tetap dijaga. Dua pejuang Muhammadiyah ini hanyut dalam suasana persahabatan yang tulus.

Pada 4 November 2019 siang hari, Buya Syafii mengirimkan pesan via WA secara tiba-tiba yang membuat saya terenyuh. Saat itu Buya Syafii membesuk Buya Yunahar untuk yang kedua kali di PKU Muhammadiyah Yogyakarta di ruang Zam-zam. Kata Buya Syafii: “Saya baru menjenguk Yunahar yang sedang cuci darah di PKU. Mohon doa, paru-paru juga kena. Saya tadi menangis di sana.”

Buya Syafii terus mengikuti perkembangan kesehatan Buya Yunahar di samping doa kesembuhan yang juga tak henti dipanjatkan. Dalam beberapa kali kesempatan yang saya jumpai, Buya Syafii selalu menyebut nama Yunahar sambil agak menunduk dan dengan raut wajah yang sedih, khususnya saat Buya Yunahar dirawat di rumah sakit Sardjito.

Baca Juga  Budaya Melayu (5): Bahasa, Kekerabatan, dan Sistem Pemerintahan Suku Minangkabau

Pada hari Kamis, 2 Januari 2020 pukul 23.47 WIB, Buya Yunahar menghembuskan napas yang terakhir. Muhammadiyah, umat Islam, dan Bangsa Indonesia kehilangan seorang ulama besar yang santun. Orang tidak ada yang tahu kapan ajal akan datang sekaligus tidak ada yang kuasa untuk menahannya. Semua pasti akan menyusul, cepat atau lambat.

Sebagai sahabat seperjuangan di jalan dakwah, Buya Syafii langsung menuju kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jl Cik Ditiro Yogyakarta untuk bertakziah. Buya Syafii datang bersama istri dengan pakaian koko berwarna putih dan bersongkok hitam. Di hadapan jenazah almarhum Buya Yunahar, Buya Syafii tak dapat menyembunyikan rasa sedihnya. Ia menahan diri untuk tidak menangisi kepergian sahabatnya itu. Maka Buya Syafii segera bergegas menuju ruang kumpul keluarga almarhum.

Hampir selama di kantor PP Muhammadiyah itu, sambil berjalan, Buya Syafii menggenggam lengan saya kuat-kuat. Ia berusaha tegar. Sedangkan ibu Syafii telah lebih dahulu duduk di samping istri almarhum. Semua saling mendoakan dan menguatkan. Khusus kepada Hasnan Nahar, putra almarhum, Buya Syafii berpesan agar tabah dan tegar. Hasnan, sebagaimana nasihat Buya, bersyukur punya ayah seorang ulama yang juga penulis produktif. Perjuangannya harus diteruskan.

Setelah dari kantor PP Muhammadiyah, Buya Syafii selanjutnya juga turut mengiringi jenazah hingga ke Masjid Gedhe di Kauman. Buya Syafii yang saat itu dapat tempat di emperan masjid bagian bawah tampak tertunduk, khusuk. Pelayat yang datang berjubun memenuhi area masjid. Bahkan sebagian dari mereka datang jauh-jauh dari luar daerah. Begitu banyak yang mendoakan almarhum.

Kata Terakhir

Tahun 2011-2012, Hasnan Nahar, putra dari Buya Yunahar, adalah siswa kelas enam di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu saya selaku musyrifnya di asrama. Lantas hal itu menjadikan hubungan saya pribadi dengan almarhum Buya Yunahar terasa dekat. Komunikasi kami begitu lancar.

Baca Juga  Siti Noordjannah Djohantini: Meniti Jalan sebagai Aktivis Perempuan

Pernah satu ketika, saat Hasnan sedang sakit dan dirawat di asrama, Buya Yunahar menelepon saya. Kebetulan posisi saya ketika itu ada di samping Hasnan, sedangkan Buya Yunahar ternyata sudah di depan pintu kamar tanpa saya sadari. Maka jadilah kami saling bertemu berhadapan, padahal posisi masih saling berbicara via telepon. Lalu, pada 25 April 2012, Buya Yunahar menghadiahi saya sebuah buku tentang Buya Hamka karya Akmal Sjafril.

Pada 3 Oktober 2019, ketika saya mengirimkan sebuat artikel pendek tulisan saya sendiri berjudul Buya Syafii, Lip, dan Bapisah Bukannyo Bacarai dari ibtimes.id kepada Buya Yunahar, beliau kemudian merespon: “Erik beruntung dapat momen emas bersama dua orang hebat tersebut.” Saya pun membalas: “Saya selalu berdoa semoga Buya Yunahar selalu dilimpahi kesehatan dan keberkahan.” Lalu kata Buya Yunahar: “Aamiin. Terima kasih, Erik.” Percakapan ini menjadi percakapan terakhir saya dengan almarhum Buya Yunahar di WA.

Buya Yunahar dan Buya Syafii adalah sahabat sejati. Jalinan persahabatan yang terjalin sejak lama itu abadi di atas ketulusan yang autentik. Keduanya saling memberikan perhatian satu dengan lainnya, saling melengkapi, dan saling mendoakan. Keteladanan mereka patut dibaca dan direnungkan oleh generasi selanjutnya.

Akhirnya, selamat jalan, Buya Yunahar Ilyas. Namamu akan tetap harum dan abadi bersama dengan amal saleh dan karya tulismu. Semoga engkau mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Allah Swt. Aamiin.

Editor: Nabhan Mudrik Alyaum

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds