Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Badawi, Persyarikatan Muhammadiyah pernah dalam posisi sulit ketika rezim Orde Lama memberi tekanan kepada ormas-ormas Islam yang tidak sehaluan dengan politik NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dakwah Islam berhadapan langsung dengan kekuasaan, termasuk dakwah Muhammadiyah, ketika dipimpin oleh KH Ahmad Badawi. Ketika kelompok sosialis dan komunis berhasil mendominasi parlemen, kelompok islamis dan modernis tersingkir. Puncaknya pada 1959 ketika Partai Masyumi dibubarkan (Penetapan Presiden No. 7/1959). Muhammadiyah turut terkena imbasnya karena Partai Masyumi lahir dari rahim persyarikatan.
Pasca Pembubaran Masyumi
Ketika karir organisasi Ahmad Badawi mencapai puncaknya pada tahun 1962 ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (periode 1962-1965). Di sinilah peran vital Ahmad Badawi dalam ormas-ormas Islam agar tidak dibubarkan oleh rezim Orde Lama. Kyai Badawi menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sekitar tiga tahun pasca pembubaran Partai Masyumi.
Perubahan peta politik di parlemen dan kebijakan politik NASAKOM menyebabkan kekuatan umat Islam semakin lemah. Proses pelemahan kekuatan politik umat Islam justru dilakukan secara struktural-politik dengan cara membungkam ormas-ormas Islam yang kritis. Puncaknya ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Partai Masyumi sangat dekat. Sebab, partai ini memang lahir dari rahim Persyarikatan Muhammadiyah. Ketika Partai Masyumi berhasil dibubarkan, muncul desakan kuat agar Muhammadiyah juga dibubarkan. Organisasi kemahasiswaan kritis pada waktu itu tidak luput dari bidikan rezim NASAKOM. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mendapat tekanan dari kelompok sosialis dan komunis supaya dibubarkan. Tidak hanya HMI, Pelajar Islam Indonesia (PII) juga mendapat perlakuan yang sama.
“Sebagaimana diketahui sebenarnja, Masjumi hanja namanja sadja jang bubar, tetapi pendukungnja masih utuh, di antara lain jaitu Muhammadijah bekas anggauta istimewanja. Tjukup diketahui bahwa Muhammadijah membahajakan pemerintah Sukarno dan Nasakomnja. Tidaklah heran bagi pihak lawan menghasut presiden supaja membubarkan Muhammadijah…”
tulis Djarnawi Hadikusuma (1971) dalam artikel “Menghadapi Bung Karno” ketika mengenang dua tahun wafat Kyai Badawi.
KH Ahmad Badawi Berdakwah di Jalur Kekuasaan
Muhammadiyah didesak oleh lawan-lawan politiknya supaya dibubarkan. Inilah tantangan terberat Kyai Badawi sekalipun ia sedang menjabat sebagai Penasehat Presiden pada waktu itu. Ia menjalankan strategi dakwah di jalur kekuasaan. Kekuasaan rezim yang didukung oleh kelompok sosialis dan komunis pada waktu itu menghendaki pembungkaman suara umat Islam.
Momentum pembubaran Partai Masyumi yang menjadi lawan terberat kelompok sosialis dan komunis menjadi bukti nyata pembungkaman suara umat Islam pada waktu itu. Setelah Partai Masyumi dibubarkan, sasaran bidik diarahkan kepada ormas-ormas Islam kritis seperti HMI, PII, dan bahkan Muhammadiyah tidak luput dari sasaran.
Pada November 1965, PP Muhammadiyah melayangkan surat kepada Bung Karno yang berisi permohonan agar Muhammadiyah diberi wewenang membentuk partai politik baru pasca pembubaran Partai Masyumi. Namun Bung Karno berdalih selalu sibuk, tidak sempat membaca surat PP Muhammadiyah. Kyai Badawi selaku Penasehat Presiden terus mengawal surat tersebut sampai pada titik akhir batas kesabarannya, ia bersikap tegas. “Bacalah Bung! Tidak akan makan waktu lebih dari lima menit!” hardik Kyai Badawi kepada Bung Karno. Akhirnya, Sang Presiden pun membaca surat PP Muhammadiyah sampai selesai (Djarnawi Hadikusuma, 1971: 40).
***
Selain memperjuangkan Muhammadiyah, HMI, dan PII supaya tidak dibubarkan oleh pemerintah, Kyai Badawi juga sangat getol menyelamatkan organisasi Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang diambil alih oleh kelompok sosialis dan komunis lewat Kementerian Transmigrasi dan Koperasi (Transkop) pada waktu itu. HA Djoenaidi, Ketua GKBI pada waktu itu, memberikan kesaksian ketika Kyai Badawi tanpa pamrih memperjuangkan organisasi umat Islam dari serangan kelompok kiri ini.
“Umat Islam Indonesia tidak meragukan lagi, bahwa Bapak KHA Badawi selama hajatnja dikenal sebagai seorang tokoh dan pedjuang di dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, bai di bidang organisasi jang dipimpin beliau maupun di lapangan sosial dan ekonomi, termasuk lapangan usaha jang mendjadi sendi kehidupan dan perekonomian bangsa Indonesia dengan wadah KOPERASI…,” tulisnya (1971: 8).
Djoenaidi mengisahkan konflik antara GKBI dengan kelompok sosialis dan komunis,
“Bagi GKBI sedjak mulai berdirinja sampai sekarang pun tetap menganut prinsip2 dan landasan koperasi jang wadjar, jakni non politik dan non religious. Kalaupun GKBI banjak mengeluarkan dana2 dan zakat hal ini adalah sesuai dengan Anggaran Dasarnja dan sebagian besar anggota2nja terdiri dari orang2 atau pengusaha2 pembatikan jang beragama Islam, sehingga aktipitas di bidang usaha dan sosialnja pun dilandasi pada adjaran Islam. Oleh karena prinsip2 jang dianut oleh GKBI inilah, akibatnja pengusaha Orde Lama PKI beserta antek2nja mengobrak abrik GKBI jang pada bulan September 1965 ex.”
Kyai Badawi mengawal kasus GKBI agar sampai didengar oleh Bung Karno. Maka pada hari Kamis pukul 12.00 di istana negara, Bung Karno, Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Achadi), HA Djoenaidi (perwakilan pengurus GKBI), Kyai Badawi, disaksikan Dasa’ad (anggota DPA), bertemu membahas masa depan GKBI. Bung Karno menjanjikan penyelesaian kasus GKBI selesai dalam seminggu. Setelah pertemuan membahas kasus GKBI ini, pada malamnya meletus G30 S/PKI (HA Djoenaidi, 1971: 9).
***
Itulah sekelumit jalan dakwah Kyai Badawi. Setelah purna tugas dari pemerintahan (jabatan terakhir sebagai anggota DPA RI), Kyai Badawi kembali ke Muhammadiyah. Sekalipun sering sakit-sakitan di akhir hayatnya, tetapi Kyai Badawi masih tetap melanjutkan tugas berdakwah. Posisi terakhir Kyai Badawi di PP Muhammadiyah ketika ia menjabat sebagai Penasehat. Pada hari Jumat tanggal 25 April 1969, tepatnya pukul 09.25 WIB, Kyai Badawi meninggal dunia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam usia 67 tahun.
Dalam posisi sulit, peran KH Ahmad Badawi—Penasehat Pribadi Presiden dalam Bidang Agama (1963) dan sekaligus Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah—sangat vital ketika memperjuangkan ormas-ormas Islam, khususnya Muhammadiyah, agar tetap eksis. Keponakan KH Ahmad Dahlan inilah yang pada Muktamar ke-35 di Jakarta (Muktamar Setengah Abad) terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (periode 1962-1965) dan Muktamar ke-36 di Bandung terpilih kembali sebagai Ketua Umum (periode 1956-1968).