Perspektif

Membaca untuk Islam Indonesia yang Berkemajuan

6 Mins read

Oleh: Nur Hidayah

Setiap 17 Ramadhan, umat Islam memperingati Nuzul Qur’an, peristiwa diturunkannya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW. Islam, sebagai agama rahmatan lil `alamin (pembawa rahmat bagi alam semesta), diawali dengan wahyu QS al-`Alaq: 1-5 yang memerintahkan umatnya untuk selalu membaca, baik ayah-ayat qauliyah (Quran dan Sunnah) maupun kauniyah (alam semesta).

Pembacaan kedua macam ayat qauliyah dan kauniyah ini pun diperintahkan baik secara sinkronik (meluas dalam konteks ruang tetapi terbatas dalam suatu kurun waktu) maupun diakronik (meluas dari satu kurun waktu kepada kurun-kurun waktu berikutnya). Islam mendorong umatnya untuk selalu membaca dan mengambil i`tibar/pelajaran dari masa lalu untuk direfleksikan pada masa kini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.  

Bila kita membaca sejarah Islam, kita akan melihat benang merah bagaimana nilai-nilai ajaran Islam selalu diupayakan oleh umatnya untuk dibaca, ditafsirkan, dan dikembangkan sebagai agama yang menekankan semangat kemajuan. Periodisasi dakwah Rasulullah SAW dari periode Makkah menjadi periode Madinah menunjukkan strategi membangun kemajuan umat.

Ayat-ayat Makiyah diturunkan dengan semangat universalisme kemanusiaan (banyak diawali dengan kata-kata “Ya Ayyuhan Nas/Wahai Manusia) untuk menyeru manusia pada fondasi Ketauhidan (Keesaan Allah) yang selanjutnya menurunkan berbagai prinsip-prinisp nilai Islam mengenai kemanusiaan, kemaslahatan, keadilan, dan kesetaraan.

Sebaliknya, ayat-ayat Madinah diwahyukan dengan semangat pengajaran bagaimana nilai-nilai universalisme Islam dalam ayat-ayat Makiyyah dapat dikembangkan dalam konteks budaya Madinah dengan berbagai norma aturan yang lebih terperinci dan mendetil.

Apakah nilai-nilai universalisme Islam itu berhenti dengan selesainya risalah Islam seiring wafatnya Rasulullah SAW? Kemunculan berbagai persoalan-persoalan baru sepeninggal Rasulullah SAW menuntut para Sahabat dan generasi Islam selanjutnya untuk terus membaca ulang ajaran-ajaran Islam dan menfasirkannya kembali untuk menjawab tantangan dan menemukan solusi dari berbagai persoalan baru yang muncul, yang landasannya telah diajarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits: Nabi mengutus Muaz ke Yaman. Maka Nabi bertanya kepadanya: “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum apabila dibawa kepada kamu sesuatu permasalahan?” Muaz menjawab: “Saya akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah” Nabi bertanya lagi: “Sekiranya kamu tidak mendapati di dalam kitab Allah?” Jawab Muaz: “Saya akan memutuskan berdasarkan Sunnah.” Tanya Nabi lagi: “Sekiranya kamu tidak menemui di dalam Sunnah?” Muaz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pandanganku. Nabi pun bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah” (Riwayat Ahmad dalam Musnad (22007) (22061) (22100), Abu Daud (3592), al-Termizi (1327), dan lain-lain).

Ajaran Ijtihad inilah yang telah mendorong Islam terus berkembang hingga mencapai masa keemasannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Ijtihad, yang dimaknai sebagai upaya membaca ulang Islam dan menafasirkannya kembali, inilah yang melahirkan berbagai aliran dan mazhab dalam Islam dengan berbagai keragamannya. Apakah keragaman ini merupakan sesuatu yang positif ataukah negatif?

Baca Juga  Pak Abdul Mu'ti, Aku Padamu

Sejarah menujukkan bahwa justru dengan keragaman inilah Islam menjadi agama yang dinamis dalam merespon berbagai tantangan zaman dan keragaman budaya masyarakatnya. Berbagai keilmuan Islam hasil pembacaan dan penafsiran ayat-ayat qauliyah seperti tafsir, hadits, kalam, falsafah, fiqh, ushul fiqh, dan seterusnya berkembang.

Para ulama dengan tekun menyebarkan dan mengembangkan keilmuwan mereka dengan melahirkan karya-karya monumental mereka seperti Imam Hanafi, Syafi`i, Maliki, Hambali, Hasan al-Bashri, al-Thobari, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Demikian pula berbagai keilmuan dari hasil pembacaan ayat-ayat kauniyah terus berkembang yang melahirkan para ilmuwan di berbagai bidang seperti kedokteran, sains, sosiologi, dan seterusnya yang melahirkan ilmuwan terkemuka seperti al-Jabar, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Ibnu Khaldun.

Namun sayangnya kemajuan peradaban ini perlahan mengalami kemunduran seiring ditutupnya pintu ijtihad tatkala berbagai keragaman pendapat dan kemunculan berbagai aliran mazhab dianggap oleh para penguasa politik saat itu akan menjadi pemicu perpecahan umat. Padahal, sepanjang perbedaan ini masih dalam koridor Islam, keragaman ini justru akan mendorong dialektika (tesa, anti-tesa, dan sintesa) di kalangan umat, sehingga ilmu akan terus berkembang.

Sayangnya, sisi baik dari keragaman keilmuan ini justru harus tunduk pada kepentingan politik untuk meredam perpecahan umat. Sebagai akibat ditutupnya pintu ijtihad ini, perkembangan keilmuan Islam mengalami kejumudan/stagnasi. Hal ini semakin diperparah dengan kolonialisme Barat terhadap wilayah-wilayah Islam yang membuat umat semakin terpuruk dalam penguasaan dan pengembangan ilmu, ekonomi, budaya, dan politik.

Dalam keterpurukan ini, perlahan umat Islam, dengan dipelopori oleh para ulama dan cendikiawan, menawarkan berbagai upaya untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Isyarat ini pun disinyalir dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbarui agamanya” (HR. Abu Daud)

Maka pada awal abad 20, di tengah masa kejumudan Islam dan berkecamuknya kolonialisme Barat di dunia Muslim, muncul para pembaharu Islam seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang menyerukan dibukanya kembali pintu ijtihad dalam Islam. Seruan ini muncul sebagai respon atas berbagai ketertinggalan umat Islam di bidang ilmu dan teknologi dari Barat dengan seruan kembali membaca dan menafsirkan ulang ajaran Qur’an dan Sunnah untuk menjawab berbagai persolan umat.

Semangat membaca dan menfasirkan ulang Islam dalam bentuk ijtihad inilah yang mendorong para ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia untuk melahirkan apa yang disebut sebagai mazhab “Islam Indonesia.” Kelahiran mazhab Islam Indonesia bisa dirunut sejak perdebatan mengenai piagam Jakarta, antara kelompok yang menafsirkan Islam secara lebih kharfiyah (literal) dan waqi`iyah (kontesktual).

Baca Juga  Islam Progresif: Pandangan Keislaman yang Paling Relevan Saat ini

Kelompok literal menyerukan Indonesia menjadi sebuah negara Islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Sebaliknya, kelompok kontekstual berlega hati mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta, “kewajiban menjalankan syariah Islam bagi para pemeluknya,” dengan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang lebih akomodatif terhadap kelompok minoritas non-Muslim yang mengancam akan memisahkan diri dari Republik Indonesia bila Piagam Jakarta akan tetap diberlakukan.

Sesungguhnya, dialektika dan perkembangan mazhab Islam Indonesia ini terus berlangsung di kalangan umat Islam dari masa ke masa seriring perkembangan Islam Indonesia hingga kini. Namun seiring waktu, terlihat perubahan sosial yang sangat siginfikan di kalangan umat Islam. Pada awal kemerdekaan, perdebatan konstitusi terus berlangsung dengan berbagai pergantian dari UUD 1945, menjadi UUD RIS, hingga UUDS 1950 hingga konstituate kembali kepada UUD 1945.

Di kalangan Muslim santri, keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia masih cukup kuat, bahkan di beberapa daerah mayoritas Muslim muncul pemberontakan DI/TII seperti di Aceh dengan tokoh seperti Daud Beuruh, di Jawa Barat dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, dan di Sulawesi Selatan dengan tokohnya Kahar Mudzakar.

Namun seiring meningkatnya kesadaran umat kalangan Muslim, mayoritas umat Islam telah berubah sikap dengan lebih membaca dan menafsirkan ulang Islam secara lebih waqi`iyah (kontekstual). Berbagai ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya telah menerima 4 pilar kebangsaan: Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 1945 (versi amademen) sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai “harga mati”, dan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap tetap satu) sebagai semboyan negara.     

Mengapa terjadi perubahan yang sangat signifikan dari kecenderungan keagamaan di kalangan umat Islam dari yang yang semula penekanannya pada kharfiyah (literal) menjadi waqi`iyah (kontekstual)? Hal ini tidak dapat dilepaskan oleh faktor semakin luasnya akses pendidikan dan mobilitas vertikal umat Islam serta tumbuhnya kelas menengah Muslim yang melahirkan banyak intelektual dan cendekiawan Muslim.

Pada awal kemerdekaan, beberapa ulama seperti Hasbi Ash-Shiddiqiey dan Hazairin telah menyerukan pembentukan mazhab Islam Indonesia. Dengan berargumen pada perbedaan budaya antara Islam di Indonesia dengan Islam di tanah kelahirannya, Timur Tengah, mereka menekankan perlunya Islam di Indonesia melahirkan mazhab Islam Indonesia yang berbeda dari Islam di Timur Tengah. Hal ini pun diperkuat dengan argument bahwa banyak aturan-aturan fiqh yang diterima dari Timur Tengah merupakan warisan fiqh masa Islam klasik abad 7 H yang secara konteks sejarah masih perlu banyak dilakukan kontekstualiasi untuk dapat diterapkan pada era kontemporer ini.

Baca Juga  Tiga Tawaran Moderasi Keindonesiaan dari Muhammadiyah

Semangat pembaharuan Islam ini terus dilanjutkan di masa selanjutnya. Orde Baru, di bawah rezim otoritarianisme Soeharto, melalaui kebijakan-kebijakan antagonismenya terhadap Islam di paruh awal Orde Baru, banyak memarjinalkan umat Islam. Ketegangan dan konflik antara regime Soeharto yang sekuler dengan para aktivis Muslim yang memperjuangan hak-hak umat Islam terus memakan korban, seperti peristiwa Talang Sari dan Malari.

Di tengah ketegangan ini, lahirlah cendekiawan Muslim seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Nurcholish Madjid dengan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, menawarkan jalan tengah di tengah dead-lock antara rezim dan aktivis Muslim. Menurutnya, Islam sebagai agama perlu ditempatkan pada posisinya yang sakral. Tuntutan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, menurutnya, justru hanya akan merendahkan derajat Islam sebagai agama suci menjadi alat dan kendaraan politik yang mudah ditunggangi dan disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan profan yang duniawi. Ia menyerukan agar energi umat Islam yang selama ini terkuras habis untuk berkonflik dengan rezim Orde Baru untuk hal-hal yang bersifat politis akan lebih baik disalurkan untuk membangun dan mengembangkan kehidupan umat di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi.

Demikian pula, Abdurrahman Wahid dengan slogan “pribumisasi Islam di Indonesia” menyerukan umat untuk lebih mengkonteksttualisasi ajaran-ajaran Islam agar lebih membumi dalam konteks budaya Islam di Indonesia. Seruan pembaruan inilah yang telah menggugah kesadaran umat Islam Indonesia untuk lebih berfikir substantif mengenai Islam dan bertindak strategis untuk kemajuan umat; ketimbang menghabiskan energi untuk berkonflik pada isu-isu khilafiyah yang hanya mengakibatkan urusan-urusan umat yang lebih penting terabaikan.

Semangat pembaruan dengan membaca dan menafsirkan Islam dalam sinaran zamannya ini terus berlanjut di era reformasi. NU sebagai ormas Islam tradisionalis Indonesia terbesar melahirkan gerakan Islam Nusantara yang menekankan pembaruan Islam dalam bingkai kearifan lokal Nusantara. Demikian pula Muhammadiyah sebagai ormas Islam modernis Indonesia terbesar melahirkan gerakan Islam Berkemajuan yang terus menggelokan semangat tajdid dengan konteks Islam keIndonesiaan dan kemodernan. MUI sebagai lembaga yang menaungi hampir seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia juga terus mendakwahkan Islam wasathiyyah (moderat) sebagai upaya mengembangkan Islam di Indonesia dalam bingkainya sebagai agama yang rahmatan lil`alamin.

Oleh karena itu, mari kita teruskan semangat membaca Islam dalam sinaran pembaruan agar Islam menjadi agama yang berkemajuan dalam bingkai rahmatan lil `alamin. Wallahu a`lam bish shawab.

*) Nur Hidayah, S.Ag, S.E, M.A, M.A, Ph.D, dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Editor: Arif

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *