Perspektif

Paradigma Baru PTKI di Tengah Menguatnya Privatisasi Pendidikan Tinggi

5 Mins read

Praktik privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia, sejak disahkannya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menuai kontroversi karena dianggap diskriminatif. Meskipun menuai kontroversi, UU tersebut memiliki kesaktian tingkat tinggi karena menjadi pengganti UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Lalu menjadi dasar bagi kemunculan Permendikbud nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum.

Privatisasi Pendidikan Tinggi

Di kalangan masyarakat, kemunculan praktik privatisasi ini mengarah pada respon negatif dan positif.

Pertama, kelompok masyarakat yang merespon negatif. Di mana privatsisasi pendidikan, bagi kelompok ini, dianggap telah melahirkan praktik komersialisasi pendidikan yang merupakan bagian dari sistem neoliberal. Karena akses layanan ketersediaan pendidikan lebih ditentukan oleh dominasi ekonomi.

Pendidikan akan diorientasikan pada bisnis dan profit. Privatisasi pendidikan hanya akan menguntungkan orang kaya (the have) dan mendiskriminasi orang miskin (the have not).

Selain itu, dampak privatisasi sebagai produk neoliberalisme juga berakibat terhadap ancaman persaingan antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Di mana dengan privatisasi masing-masing perguruan tinggi saling berkompetisi untuk mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya.

Hal ini dirasa tidak adil karena privatisasi perguruan tinggi akan lebih menguntungkan perguruan tinggi negeri dibanding swasta. Namun,  dampak persaingan paling terasa pada perguruan tinggi keagamaan, khususnya Islam. Konsekuensi dari privatisasi perguruan tinggi, adalah kebebasan membuka prodi umum di perguruan tinggi Islam atau sebaliknya, perguruan tinggi umum membuka prodi keagamaan.

Sementara di berbagai perguruan tinggi keagamaan Islam sudah mengkhawatirkan. Beberapa jurusan atau program studi tidak banyak diminati masyarakat.

Pengaruh Neoliberalisme

Privatisasi pendidikan, merupakan usaha mengelola pendidikan secara mandiri oleh institusi pendidikan tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari profit dengan dalih penjualan jasa layanan pendidikan. Akibatnya perguruan tinggi seenaknya mengelola pendanaannya sendiri. Di titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu perusahaan yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan.

Pengaruh neoliberalisme menjadi penentu dari pola dan strategi pengelolaan modal ekonomi ke dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan neoliberalisme bahwa kunci keberhasilan pendidikan ditentukan oleh persaingan. Persaingan dianggap dapat meningkatkan mutu karena prinsip survival of the fittest, yaitu institusi pendidikan yang tidak menghasilkan produk akan tersingkir atau disingkirkan secara alami.

Dalam konteks perguruan tinggi, dampak dari neoliberalis adalah sebuah program studi yang tidak memenuhi target pencapaian jumlah mahasiswa harus dihilangkan. Atau mahasiswa yang tidak mampu mencapai standar minimum ujian harus atau mahasiswa yang melibihi dari 14 semester harus dikeluarkan (DO).

Baca Juga  Muhammadiyah adalah Jawaban dari Kemunduran Umat Islam

Kedua, adalah masyarakat yang pro dengan privatisasi. Pemerintah termasuk di dalamnya. Bagi kelompok ini, privatisasi harus disetujui karena privatisasi merupakan bagian dari tuntutan zaman. Dikatakan bahwa persaingan dalam pencapaian mutu pendidikan sebagai akibat dari pengaruh neoliberalisme dalam bentuk privatisasi tidak bisa ditolak.

Di antara tokoh yang mendukung privatisasi pendidikan tinggi adalah Ki Supriyoko yang mengatakan mengatakan bahwa “neoliberalisasi pendidikan dalam bentuk privatisasi sulit dihindari oleh pemerintah dan masyarakat dunia manapun dewasa ini, karena gerakan tersebut didukung oleh kekuatan ekonomi yang menentukan arus perubahan global”, (Ki Supriyoko, “Melawan Liberalisasi Pendidikan, dalam https://;journal.amikom.ac.id). 

Persaingan dalam pendidikan tidak bisa dihindari. Komponen-komponen pendidikan harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan global. Kompetensi tenaga pendidik, sarana pendidikan, metodologi pembelajaran, penerapan kurikulum yang terstandar KKNI, dan manajamen yang baik harus dimiliki oleh institusi pendidikan tinggi dalam rangka menghadapi persaingan global. 

Perspektif yang Lebih Holistik

Dampak dari neoliberalisme dan industrialisasi ditandai dengan gelombang informasi yang tidak bisa dibendung. Pendidikan di Indonesia dewasa ini dan di masa yang akan datang mendapat tantangan yang cukup serius dalam menghadapi persaingan global tersebut.

Pada era globalisasi tantangan pendidikan berada pada kemampuan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indikator kemajuan bangsa saat ini adalah kemajuan ipteknya. Untuk itu, pendidikan harus melakukan transformasi besar-besaran, dengan harapan akan membawa perubahan besar sebagaimana disebut Karl Polanji sebagai the great transformation.

Pendidikan tidak hanya untuk mencerdaskan otak manusia, namun harus ditransformasikan dalam perspektif yang lebih holistik. Dalam hal ini adalah dalam rangka mencerdaskan perilaku secara keseluruhan dalam menghadapi kehidupan. Menyiapkan manusia yang sanggup hadir sebagai model ekonomi, sosial, maupun budaya.

Dalam konteks persaingan pendidikan tinggi sebagai dampak dari privatisasi pendidikan tinggi, posisi perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) harus siap memposisikan diri dalam perubahan era saat ini. PTKI harus mampu menjawab persoalan utama yang diahadapi pada era yang penuh perubahan saat ini, yaitu mampu mengatasi masalah kualitas lulusan yang dihasilkan, dan memiliki sumbangan pada pembangunan ilmu agama Islam sebagai identitas ke-PTKI-an.

Secara kuantitas, baik institusi perguruan tinggi maupun jumlah lulusan PTKI yang dihasilkan sudah sangat banyak. Semakin tahun semakin banyak, namun secara kualitas kondisinya masih jauh dari memuaskan. Mutu kebanyakan lulusan PTAI masih dianggap belum memenuhi harapan masyarakat.

Baca Juga  The Lazy Man's Guide To Travel You to Our Moms

Kemudian dalam masalah sumbangan PTKI terhadap pembangunan ilmu, teknologi, seni, dan budaya yang bernafaskan Islam juga dinilai masyarakat masih kurang siginifikan. Masyarakat belum melihat PTKI sebagai pusat kajian ilmu agama tempat mereka menoleh apabila ada persoalan-persoalan yang menyangkut agama, yang seharusnya menjadi identititas PTKI.

Paradigma Baru PTKI

Apalagi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang bernafaskan Islam, PTKI masih jauh dari harapan masyarakat. Dalam masalah-masalah agama misalnya, masyarakat masih lebih suka menoleh kelembaga keagamaan lain diluar PTKI, seperti Majelis Ulama Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lembaga Bahtsul Masail PBNU dan lain-lain.

Dalam konteks ini pendidikan tinggi keagamaan Islam dituntut untuk memiliki paradigma baru dalam menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan juga kebutuhan pasar. Tentu dengan tidak menghilangkan identitas keagamaan yang melekat sebagai pusat pengembangan ke Islaman. Baik yang berhubungan dengan penyiapan output dalam pasar dunia kerja maupun penyediaan program-program studi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sejalan dengan adanya tuntutan paradigma baru tersebut, PTKI harus memunculkan paradigma lain di luar paradigma kapitalis yang bukan dimaksudkan untuk meniadakan ataupun melawan. Melainkan bekerjasama dalam suasana egaliter dalam mengimbangi kapitalisme, sebagaimana dikatakan Y.B Mangunwijaya dalam tulisannya yang berjudul “Mencari Visi Dasar Pendidikan” (Sindhunata.ed.,: Kanisius, 2001).

Dengan kata lain, diperlukan kerangka berpikir di luar kerangka dikotomis untung-rugi finansial dalam penyelenggaraan pendidikan. Paulo Fraire menegaskan, para penyelenggara pendidikan harus memiliki kesadaran tentang perlunya kerangka non-kapitalis dan tentang tugas kodrati-mendasar-mulia untuk menyelenggarakan pendidikan sejati yang menyadarkan.

Dalam perspektif Fraire, paradigma kesadaran kritis menjadi hal penting dalam menghadapi situasi pendidikan yang serba kompleks dalam konstelasi arus perubahan. Paradigma kesadaran kritis dibentuk dari pengetahuan ilmiah dan kesadaran diri mereka masing-masing (Fakih: Pustaka Pelajar, 2013). Kesadaran kritis berbeda dengan kesadaran magis, ataupun kesadaran naïf.

Menurut Paulo Fraire kesadaran magis bersifat fatalis, yang berpandangan primitif dalam menghadapi sebuah realitas dengan pemasrahan diri pada kekuatan supra indrawi (ghaib). Dalam kontes pendidikan, kesadaran magis tidak begitu peduli dan menyerahkan semuanya pada hal-hal yang abstrak, karena tidak mampu mengurai hubungan antara faktor mana yang perlu diperbaiki atau diantisipasi dalam realitas pendidikan.

Baca Juga  Makna Sa’i: dari Hidup Optimis hingga Muliakan Air

Perlawanan Industrialisasi

Kemudian dalam kesadaran naif, merupakan kebalikan kesadaran magis, karena berbasis pada masalah kekuatan manusia sebagai penentu realitas sosial. Dalam perspektif kesadaran naïf, kegagalan dan keberhasilan pendidikan tergantung pada satu faktor yang mempengaruhi.

Misalnya, manusia menjadi faktor dari berhasil dan tidaknya pendidikan. Kesadaran naïf, akan melahirkan anarkisme jika terlalu ekstrem. Pandangan kesadaran naif ini jika dilihat dari perspektif Karl Marx akan melahirkan gerakan perlawanan yang besar dari adanya ketidakadilan sistem yang dihadapi.

Jika sistem privatisasi pendidikan tinggi merupakan sebuah sistem kapitalis sebagai sesuatu yang kejam dan eksploitatif, serta menindas, sebagai bagian dari sistem industrialisasi pendidikan, maka untuk merubah sistem tersebut adalah dengan melakukan perlawanan.

Dalam perspektif Marx telah terjadi model industrialisasi pendidikan yang diakibatkan oleh, pertama, perubahan dalam teknologi terutama yang didasarkan pada kepada penerapan ilmu pengetahuan ilmiah ke dalam wilayah produksi dan mendorong perubahan di bidang sosial dan ekonomi. Kedua, pendidikan bagi masyarakat luas dengan standar tertentu, terutama pendidikan tinggi menjadi sesuatu yang vital dalam mempertahankan kelangsungan ekonomi, (Maliki: Gadjah Mada University Presss, 2008).

Paradigma Kritis PTKI

Dalam menyikapi problem privatisasi yang merupakan bagian dari pengaruh neoliberalisasi bagi perguruan tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia yang secara sadar dipahami sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi dan politik, khususnya pada perguruan tinggi Islam yang menyebabkan ketidakmandirian, maka jembatan paradigma kritis setidaknya dilakukan dengan cara:

Pertama, sistem pendidikan negara harus bersikap kritis terhadap paradigma kapitalis, yaitu penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak berorientasi pada profit semata. Pendidikan harus dijauhkan dari keuntungan ekonomi. Jika penyelenggara berkutat pada keuntungan profit, maka yang terjadi adalah pendidikan akan membuat struktur pemiskinan kultural, sosial, dan politik bagi masyarakat.

Kedua, privatisasi pendidikan tinggi harus mampu melihat konteks lokalitas dan harus berpihak kepada seluruh komponen masyarakat, dengan mengambil hal-hal positif dari model Barat. Karena secara sadar pula, kemajuan bidang pendidikan saat ini dilihat keberhasilannya adalah merujuk pada pendidikan Barat.

Dengan kata lain, orientasi kependidikan tinggi di negara maju harus diarahkan pada penggalian aspek-aspek dasar identitas atau jati diri yang membuat pendidikan tinggi negara maju mampu mengimbangi arus neoliberalisme.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Direktur Eksekutif Gerak Literasi Indonesia dan Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *