Oleh: Royyan Mahmuda*
Dewasa ini istilah kiai di lingkungan Muhammadiyah mulai banyak dipergunakan. Semisal KH. Yunahar Ilyas (Allahu Yarham), KH. Sirajudin Syamsudin (Din Syamsuddin), KH. Haedar Nashir dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya. Hal ini cukup menarik karena beberapa waktu yang lalu kultur warga Muhammadiyah tidak terlalu dekat dengan istilah kiai.
Menurut menurut Prof. Syafiq Mughni, dilansir dari pwmu.co, salah satu sebab kurangnya kiai dalam Muhammadiyah disebabkan oleh prinsip modernitas yang dianut oleh Muhammadiyah. Anak-cucu kiai Muhammadiyah tidak serta-merta diistimewakan. Tidak banyak orang berdatangan untuk minta barakah kepada kiai Muhammadiyah. Egalitarianisme menyebabkan kedudukan kyai dalam Muhammadiyah tidak lagi istimewa. Namun bukan berarti berkurangnya sematan kiai dalam Muhammadiyah itu menghilangkan ghiroh dakwah Islam. Tetap banyak ulama di Muhammadiyah yang kompetensinya tidak diragukan lagi dan layak disebut kiai. .
Namun, jika menilik sejarah, ikatan antara istilah kiai dan Muhammadiyah tidak bisa lepas satu dengan yang lainnya. Sebelum periode 1995, hampir seluruh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendapat gelar kiai. Tentu ini bukan tanpa alasan. Karena kiprah kiai dalam dakwah Muhammadiyah sangat signifikan.
Dahulu di setiap daerah pasti ada kiai Muhammadiyah yang sangat dihormati, baik oleh warga Muhammadiyah sendiri maupun Ormas Islam lainnya. Dalam sebuah buku yang merupakan hasil penelitian UMS dengan judul “KH. Nasucha: Ulama Pembina“, banyak informasi tentang sumbangsih kiai Muhammadiyah khususnya di daerah Bumiayu. Kebetulan kiai (KH. Nasucha) yang diteliti tersebut adalah simbah dari istri saya. Di tempat asal istri saya, KH. Nasucha merupakan sosok tokoh yang tidak bisa dilupakan oleh segenap masyarakat, entah Muhammadiyah, NU, ataupun Ormas lainnya.
Biografi
KH. Nasucha adalah putra sulung dari pasangan KH. Fadhol dan Nyai Hj. Zubaedah yang lahir di Bumiayu pada tahun 1909 M. Saat usianya menginjak 13 tahun, Nasucha kecil dikirim oleh orangtuanya untuk ikut berangkat haji dengan kakeknya ke kota Mekkah. Untuk waktu yang cukup lama ia tinggal dan belajar di Mekkah. Barulah tahun 1929 ia pulang ke kampung halaman.
Selama menuntut ilmu di Mekkah Nasucha kecil sangat antusias dalam menyelami ilmu pengetahuan. Bahkan saat mengikuti lomba kejuaraan kaligrafi ia mendapatkan peringkat pertama, mengalahkan kontestan Arab Saudi dan Yaman yang menduduki peringkat kedua dan ketiga. Sejak kecil bakat seni telah menonjol pada dirinya, sehingga saat berdakwah di Indonesia pun seni tidak bisa lepas dari strategi dakwahnya.
Pada tahun 1930, bersama dengan teman-teman sejawat, KH. Nasucha mengelola sebuah Madrasah yang diberi nama Maahidulhuda. Madrasah ini berkembang dengan pesat dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Kefasihan KH. Nasucha dalam membaca Al-Quran serta berbahasa arabnya menjadi keistimewaan dari Madrasah yang ia kelola. Disamping itu kemampuan seni kaligrafi (khot) yang sangat tinggi membuat banyak murid yang ingin belajar padanya.
Menjadi Komandan Hizbullah
Pada tahun 1938, KH. Nasucha memutuskan hijrah ke Slawi karena merasa membutuhkan tantangan baru untuk berdakwah. Saat di Slawi ini lah keluwesan dakwah KH. Nasucha semakin terasah. Menjadi pengajar di Madrasah As-Syafi’iyah membuatnya dikagumi oleh masyarakat. Setiap ada kajian yang beliau isi, segenap masyarakat berbondong-bondong mengikuti.
Maka tidak heran pada saat agresi militer Belanda pada 21 Juli 1947, KH. Nasucha dipilih secara aklamasi untuk menjadi komandan Hizbullah dalam memerangi Belanda. Karena jabatan komandan ini, rumah Nasucha di Bumiayu diluluh-lantakkan penjajah. Bahkan ada edaran untuk menangkap Nasucha hidup atau mati. Saking dianggap berbahanya Nasucha bagi kolonial Belanda.
Setelah hampir 3 tahun menjadi komandan Hizbullah, terjadilah regenerasi kepemimpinan. KH. Nasucha memutuskan untuk menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada kiai yang lain. Lalu beliau melanjutkan perjuangan dakwahnya ke daerah lain. Langkah ini dipilih beliau karena merasa bahwa jalur dakwah melalui pendidikan adalah strategi perjuangan jangka panjang yang akan membuat bangsa ini bisa benar-benar merdeka. Maka di manapun berada beliau akan selalu mengajar para generasi muda yang akan mengubah nasib bangsa.
Mempersatukan NU dan Muhammadiyah
Daerah selanjutnya yang menjadi ladang dakwah KH. Nasucha adalah desa Kalibeber Wonosobo. Di luar perkiraan ternyata masyarakat sangat menyambut kedatangan beliau. Saking menggebu-gebunya masyarakat yang ingin mengaji, akhirnya beliau mendirikan Madrasah Awaliyah Islamiyah, yang kelak Madrasah ini berganti nama menjadi Madrasah Diniyah Muhammadiyah.
Ada fenomena penting dalam perjalanan dakwah KH. Nasucha di Wonosobo ini, yakni bagaimana kharismanya dapat mempersatukan warga Nahdliyin (NU) dengan Muhammadiyah.
KH. Nasucha sudah sejak lama merasa prihatin dengan ukhuwah islamiyah. Belum bersatunya orang-orang NU dan Muhammadiyah menjadi problema tersendiri. Padahal ikhtilafnya hanya pada perkara furu’iyah dan tidak prinsipil. Atas dasar itulah KH. Nasucha menyambung silaturahmi kepada seluruh elemen baik Muhammadiyah ataupun NU. Sehingga daerah tempat ia tinggal muncul persatuan dalam tubuh umat islam.
Hikmah
Andai prinsip-prinsip kiai Muhammadiyah pada masa dahulu itu dapat tumbuh dan berkembang pada kultur hidup masyarakat islam Indonesia saat ini, tentu akan sangat indah rasanya. Melihat semua elemen umat saling bersatu, meskipun memiliki cara pandang yang berbeda. Membayangkan tidak ada aksi saling tolak menolak untuk berdakwah, karena tujuannya sama agar islam merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat. Maka tidak menutup kemungkinan islam rahmatan lil ‘alamin akan semakin terwujud dengan kaffah di bumi Indonesia ini.
Andai saja.
Editor: Nabhan