Akbar Syah dalam Tareekh el-Islam menuturkan, Khalifah Ali mengirim Qa’qa’ bin Amr ke Basrah untuk mencari tahu apa maksud pasukan Perang Jamal Aisyah. Ali ingin membangun harapan perdamaian dengan mereka. Qa’qa’ adalah seorang yang dikenal fasih dan bijak.
Khalifah Ali Membangun Harapan Perdamaian
Qa’qa’ pertama kali datang kepada Aisyah, dengan mengatakan, “Wahai Ibunda! Apa alasan dan tujuan anda datang ke negeri ini?” Aisyah menjawab, “Wahai Puteraku! Satu satunya tujuanku adalah untuk memperbaiki umat dan membawa mereka kembali pada jalan yang telah ditentukan al-Quran.”
Dia kemudian mengajukan pertanyaan kepada Thalhah dan az-Zubair dan mendapatkan jawaban, “Untuk menghukum para pembunuh Utsman.” Kemudian Qa’qa’ bin Amr berkata kepada mereka, “Jika tujuan anda adalah membuat orang orang kembali kepada al-Quran, maka tujuan itu tidak akan tercapai dengan cara demikian.” Mereka menjawab, “al-Quran memerintahkan qishas maka kami akan menunaikannya.”
Qa’qa’ menjawab, “Bagaimana qishas bisa dilakukan dengan cara seperti ini? Kesatuan dan stabilitas kekhalifahan adalah lebih utama. Dengan demikian akan membawa kedamaian dan persatuan serta qishas terhadap Utsman tentu akan ditegakkan. Sekarang, dengan tiadanya kedamaian, pemerintah, dan seluruh sistem administrasi maka bagaimana mungkin qishas dapat ditegakkan? Kalian telah menghilangkan banyak nyawa di Basrah hanya untuk menunaikan qishas terhadap Utsman, tapi tidak menangkap Hurqus bin Zuhair (pemberontak).
Dan setelah mengejarnya, enam ribu orang berdiri di belakangnya dan siap melawan kalian. Bagaimana mungkin bagi kalian untuk melawan mereka dan memperburuk situasi? Dengan kondisi seperti ini, maka kekacauan akan menyebar dan para pembunuh Utsman akan tetap aman dari qishas.”
Qa’qa’ bin Amir berbicara dengan nada yang menyayat hati, “Hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah menciptakan perdamaian antara satu sama lain. Hingga kaum Muslim seluruhnya dapat hidup dalam kedamaian dan keamanan. Kalian adalah para panutan dan pemimpin yang terkemuka. Demi Allah, jangan buat kami dan umat Islam ke dalam situasi yang berbahaya dan penuh cobaan”.
Sikap Pasukan Aisyah
Aisyah, Thalhah dan az-Zubair menjadi tergerak dengan ucapan Qa’qa’. Mereka mengatakan, “Jika Ali memiliki pemikiran demikian dan memiliki niatan pasti untuk menunaikan qishas, maka tentu tak ada yang harus dipermasalahkan. Akan tetapi hingga saat ini kami menilai dia memiliki kemurahan hati kepada para pembunuh Utsman, hingga hasilnya mereka bergabung dengan pasukan Ali dan melaksanakan perintahnya.”
Qa’qa’ menanggapi, “Apa yang aku katakan adalah cerminan apa yang Ali pikirkan.” Mereka menjawab, “Kami pun tak memiliki alasan lain untuk melawannya.” Qa’qa’ lantas kembali ke pasukan Ali disertai beberapa tokoh penting Basrah.
Mereka ingin tahu apakah Khalifah Ali dan masyarakat Kufah dapat memberi harapan perdamaian dalam situasi Perang Jamal atau tidak. Juga tersebar kabar bohong bahwa jika Ali berhasil menaklukkan Basrah setelah Perang Jamal, dia akan membunuh seluruh laki-laki dan pemuda serta menjadikan wanita dan anak anak menjadi budak. Rumor ini disebarkan oleh para perusuh dan pemberontak yang tergabung ke dalam pasukan Ali.
Ketika Qa’qa’ bin Amr muncul sebelum Khalifah Ali, dia menceritakan dengan bahagia tentang perundingannya dengan Sayyidah Aisyah hingga menghilangkan suasana tegang antara dua pasukan kaum muslim. Kemudian Khalifah Ali muncul di hadapan mereka dan menyambut gembira berita dari Qa’qa’ bin Amr dengan harapan perdamaian.
Perundingan Terhadap Para Pemberontak
Setelah perundingan damai Qa’qa’ bin Amr sukses, Khalifah Ali dengan kefasihannya, menyampaikan pidato di hadapan pasukannya. Beliau kemudian memberi perintah untuk besok agar pasukan bersiap berangkat menuju ke Basrah.
Khalifah juga menjelaskan bahwa tujuan mereka bukanlah untuk berperang lagi melainkan menyampaikan kabar gembira tentang harapan perdamaian. Di samping itu, Khalifah juga mewanti-wanti pasukan Perang Jamal miliknya untuk menjauhkan diri dan menjaga jarak terhadap para perusuh dan pembunuh Khalifah Utsman. Hal ini membuat para perusuh menjadi khawatir.
Kelompok yang diduga terlibat dengan kerusuhan dan pembunuhan Utsman, sebenarnya dipisahkan dengan pasukan khalifah yang lain. Kelompok ini dalam Perang Jamal berjumlah 2500 orang, mereka di antaranya adalah tokoh yang memiliki pengaruh di komunitas muslim.
Akhirnya para para perusuh berkumpul dalam sebuah pertemuan rahasia, dalam rangka mengambil langkah lebih lanjut untuk menyelamatkan jiwa mereka. Singkat cerita, mereka memutuskan untuk tetap berada di tengah pasukan Khalifah. Mereka menimbang jika Khalifah mengusir mereka dari pasukan, maka mereka harus tetap berusaha dekat dengan pasukan dengan alasan untuk membantu jika perundingan gagal dan peperangan pecah hingga harapan perdamaian tak terwujud.
***
Mereka pun berusaha untuk mengadu domba antar pasukan Khalifah dan Aisyah, karena jika peperangan terjadi maka mereka akan selamat dari qishas. Karena tidak mungkin bagi para pemberontak yang hanya berjumlah 2.500 personil harus melawan secara bersamaan 20.000 pendukung Khalifah Ali dan 30.000 pendukung Thalhah dan az-Zubair.
Wallahu a’lam bi shawab.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan