Inspiring

Ki Bagus Hadikusumo (1): Sang Mujahid Konstitusi

3 Mins read

Sang Mujahid Konstitusi, demikianlah gelar yang dituliskan dalam buku Toedjoeh Kata karya Nunu A Hamijaya dkk. Buku itu saya dapatkan selepas mengikuti acara bedah film dan buku Toedjoeh Kata yang dilaksanakan di serambi Masjid Gedhe Kauman. Saya masih ingat ketika itu di pelataran Masjid Gedhe, ketika panitia mempromosikan buku karya Nunu dkk tersebut.

Pikir saya, karena pasti murah, maka saya terobsesi untuk memilikinya. Waktu itu, panitia pasang harga Rp 110.000, dan alhamdulillahnya, saya membawa lebih, yaitu Rp 250.000. Akan tetapi, uang itu adalah uang yang seharusnya saya bayarkan untuk syahriyah di PUTM. Walhasil saya gelapkan sebagian untuk membeli buku tersebut, hehehe. Jangan ditiru ya gaes, tapi uang itu saya ganti dengan jatah uang saku bulanan saya kok.

Tindakan saya tersebut merupakan buah doktrin dari guru saya Ustadz Anton Ismunanto. Saat di kelas, beliau memberikan nasehat kepada kami para tholabah PUTM, bahwa bentuk jihad harta seorang penuntut ilmu adalah dengan menyisihkan uang sakunya yang kemudian digunakan untuk membeli buku. Demikianlah, sedikit basa-basi yang semoga ada manfaat di dalamnya.

Dalam menguraikan pembahasan ini, saya gunakan teori studi tokoh pemikiran Islam oleh Syahrin Harahap. Upaya yang harus diperhatikan dalam menggali ketokohan Ki Bagus, diperlukan beberapa hal yang urgen, yaitu:

Pertama, penegasan dua objek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Kedua, pengenalan tokoh yang meliputi penjelasan latar belakang internal dan eksternal. Ketiga, metode berpikir dan perkembangannya. Dan keempat, pengaruh dan keterpengaruhan.

Akan tetapi, dalam sajian kali ini, saya mencoba memaparkan poin-poin urgen yang berkaitan dengan studi ketokohan Ki Bagus Hadikusumo.

Biografi Ki Bagus Hadikusumo, Sang Mujahid Konstitusi

Ki Bagus Hadikusumo lahir di Kauman Yogyakarta pada hari Senin Pahing, 11 Rabiul Akhir tahun Ehe 1308, yang bertepatan pada tanggal 24 November 1890. Mempunyai panggilan kecil Hidayat atau Raden Hidayat.

Baca Juga  Badiuzzaman Said Nursi (3): Perang Dunia, Masa Pengasingan, & Risalah Nur

Menurut Gunawan Budiyanto selaku cucu dari Ki Bagus Hadikusumo, bahwa berkenaan dengan nama Ki Bagus Hadikusumo, merupakan nama yang sering beliau tuliskan dalam salah satu karyanya, “Poestaka Hadi”.

Dalam adat Jawa, telah menjadi sebuah tradisi adanya jeneng cilik dan jeneng tuwo. Nama Hidayat apabila ditinjau berdasarkan kultur budaya Jawa, menunjukkan bahwa dirinya berasal dari keluarga santri.

Adapun sebutan Ki bermakna seorang kakek, dan juga gelar sosial masyarakat Jawa yang menunjukkan kedudukan tertentu yang mendapatkan pengakuan secara kolektif dari masyarakat.

Bila dikaitkan dalam sudut keagamaan, gelar Ki menunjukkan sebutan Kiai. Sedangkan “bagus” merupakan paraban (panggilan) yang berlaku di lingkungan masyarakat elit Jawa atau pesantren yang terkadang bisa juga disebut “Gus”. Sehingga nama Ki Bagus Hadikusumo menunjukkan bahwa Raden Hidayat adalah seorang santri dari kalangan priyayi Jawa.

Menyikapi Latar Belakang Sang Santri Priyayi

Raden Hidayat merupakan anak ke-4 dari Raden Kaji Lurah Hasyim. Dalam beberapa literatur yang lain, disebutkan bahwa Ki Bagus Hadikusumo adalah anak ke-3 dari 8 bersaudara. Selain daripada itu, keluarganya memiliki hubungan baik dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, yang menandakan bahwa keluarga Ki Bagus adalah sosok keluarga yang sangat dihormati oleh penduduk Yogyakarta.

Seperti yang tertulis dalam buku Ensiklopedi Muhammadiyah oleh Mustofa W. Hasyim, setelah menamatkan sekolah Ongko Loro, Ki Bagus melanjutkan belajarnya di pondok pesantren Wonokromo Yogyakarta.

Di sana, beliau belajar dan mengkaji kitab-kitab warisan ulama. Beberapa waktu menyempatkan untuk belajar sastra Jawa, Melayu, dan Belanda dengan Ngabehi Sasrasoeganda. Ki Bagus juga belajar Bahasa Inggris kepada Mirza Wali Ahmad Baig.

Beliau juga dikenal sebagai santri yang mempunya perangai yang bagus, serta senantiasa komit terhadap ajaran agama Islam. Cerita yang paling masyhur adalah saat Ki Bagus menolak seruan Jepang yang mengharuskan kepada seluruh sekolah untuk ikut melaksanakan seikirei (ritual sujud) yang akan menjatuhkan ke dalam kesyirikan. Ki Bagus juga pernah menolak untuk minum miras saat diberikan jamuan oleh Jepang.

Baca Juga  Peringatan Hari Konstitusi: Membangun Mental Konstitusional

Ki Bagus wafat saat berumur 64 tahun. Kondisi yang semakin tua sangat mempengharuhi kesehatannya yang terus menurun. Sering mengalami batuk dan sesak nafas mengharuskannya untuk dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta.

Ki Bagus wafat pada hari Jumat Legi, 3 September 1954, pukul 01.00 dini hari. Jasad Ki Bagus kemudian dikebumikan di Kuncen Yogyakarta, bersebelahan dengan makam kakak kandungnya, H. Fachruddin.

Latar Belakang Pendidikan Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagus Hadikusumo terlahir dari keluarga yang taat dengan agama Islam. Begitu pula kampung halamannya, Kauman, yang pada waktu itu telah dikenal sebagai Kampung adherence to Islam yang menjadi pusat keagamaan Keraton Yogyakarta.

Lingkungan yang sangat agamis dan juga kental dengan budaya Jawa memberikan pengaruh pada gaya berpakaiannya. Dalam seluruh aktivitasnya, beliau lebih sering menggunakan pakaian Jawa daripada bersorban sebagaimana fashion para kiai pada umumnya. Beliau lebih sering memakai blangkon dan beskap dengan kombinasi kain sarung.

Pendidikan formal dan informal telah beliau tempuh. Untuk pendidikan pertamanya beliau dapatkan dari orang tuanya secara langsung. Selanjutnya, Ki Bagus juga berguru dengan ulama dan tokoh-tokoh lain untuk mendalami agama Islam.

Salah satu ulama dan tokoh yang pernah dirinya berguru adalah KH Ahmad Dahlan yang mengajarkan beberapa ilmu lainnya seperti bahasa Inggris, leadership, dan ilmu logika. Dari beliau juga, Ki Bagus dapat berpikir matang dalam suatu permasalahan organisasi. KH Ahmad Dahlan juga mengajarkan ilmu seperti Tafsir al-Manar, kitab karya Imam Ibnu Taimiyyah, Imam al-Ghazali, Imam Ibnu ar-Rusydi.

Menurut Muhamad Hisyam, Ki Bagus Hadikusumo dikenal sebagai tauladan yang gemar belajar sendiri (otodidak). Ki Bagus senantiasa belajar kepada siapapun. Hal ini membentuk cara pandang yang cemerlang. Ada riwayat bahwa Ki Bagus Hadikusumo pernah belajar di Makkah, namun sampai sejauh ini penulis belum mendapatkan referensi yang pasti untuk menjelaskan riwayat tersebut.

Baca Juga  Jalan Menempuh “Islam Kita” ala Gus Dur

Bersambung.

Editor: Zahra

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Pendidikan Agama Islam
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds