Kuliah Pewayangan
Wayang Suket – Selepas dari pesantren, ia hijrah ke Jakarta. Ia ngangsu kawruh (menuntut ilmu) ke IKJ (Institut Kesenian Jakarta) mengambil jurusan teater. Di tempat inilah, ia belajar seni vokal maupun seni teater.
Pendalaman akan ilmu teater ini kelak nampak pada kemampuannya mendalang. Meski gerak tubuhnya terbatas, ia mampu menyihir penonton dengan kemampuan olah vokal dan mimik ritmis tubuhnya. Gundono kemudian meneruskan laku ngelmunya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (ISI) Surakarta mengambil jurusan pedalangan.
Akrab dengan Dunia Pewayangan Sejak Kecil
Gundono kecil sebenarnya sudah karib dengan dunia pewayangan. Suara angin malam tidak membuat dirinya terlelap dalam tidur pulas. Gundono kecil justru sedang menanti siaran favoritnya. Ia mendengarkan channel atau siaran radio Wonocolo yang disiarkan dari Surabaya.
Sembari menggelar tikar dan mendengarkan Ki Narto Sabdo, ia menikmati cahaya rembulan dan suasana malam. Ia berguru kepada Ki Narto Sabdo meski lewat radio selama 6 tahun. Ia pun sampai hafal teks dan juga gaya mendalangnya. Kelak, gaya Ki Narto Sabdo ini melekat sampai ia bawa ke ISI Surakarta.
Mendengar muridnya (Gundono) meguru (berguru) kepada rivalnya Ki Narto Sabdo, Ki Gondo Darman kemudian mengajak Gundono untuk belajar wayang di rumahnya, Sragen. Kelak Ki Gondo Darman pun meninggal dunia. Gundono menjadi sedih dan merasa kehilangan.
Ia kemudian belajar kepada Ki Mudjoko Raharjo, melalui gemblengan Ki Mudjoko, Gundono hampir saja menjadi dalang wayang klasik. Tak lama berselang Ki Mudjoko pun meninggal dunia.
Bak anak ayam kehilangan induknya, Gundono seperti kehilangan dua pegangan. Kekosongan inilah yang membuat Gundono harus menjalani topo broto (bertapa). Ia menepi dan menghindar dari keramaian.
Suatu kali, ia mendapat tanggapan wayang di Riau. Gundono berpikir bagaimana membawa seperangkat alat gamelan yang begitu banyak dan rombongan pentasnya ke seberang pulau. Ia pun berpikir keras bagaimana agar mendapati jalan tengah agar bisa tampil mendalang. Di saat-saat seperti itulah muncul ide wayang suket.
Dengan tambolin seadanya dan juga rumput itulah, Gundono memainkan wayangnya. Wayang suket yang ia bangun dan temukan ini kelak akan mengantarkannya pada penghargaan Prince Clause Award dari Kerajaan Belanda tahun 2005.
Laku Kreatif
Seorang dalang dituntut kreatif. Meski saat ia tampil, ia harus menuruti permintaan penanggap. Kreatifitas sang dalang terletak pada kemampuannya memainkan wayang sekaligus membuat penontonnya betah menyaksikan pertunjukannya.
Kemampuan dalang memiliki kekhasan masing-masing. Kekhasan itu bisa dilihat dari cara dalang memainkan wayangnya, perpaduan artistiknya, atau cerita sang dalang.
Gundono memahami betul bagaimana pendahulunya. Gundono berpijak pada dua karakter wayang, wayang tradisional dan modern. Gundono bisa memainkan dua karakter itu dalam satu panggung. Yang tradisi dan modern menyatu dalam pementasan wayangnya.
Sebagai dalang, Gundono memahami masyarakat yang sudah berubah, generasi milenial yang berubah, yang menuntut dalang menyuguhkan wayang yang sifatnya kontemporer namun tidak melepaskan pesan yang bakal diserap para generasi milenial yang menjadi penontonnya.
Generasi yang semakin menjauh dari wayang dan seni tradisi lainnya. Generasi sekarang memang identik dengan budaya pop dan budaya instan. Mereka enggan menonton wayang yang waktunya semalam suntuk.
Kegemaran mereka dengan dunia yang cepat, instan, adalah tantangan tersendiri menghadirkan wayang yang bisa menarik minat mereka mencintai tradisi mereka.
Filosofi Wayang Suket
Konsep serta filosofi wayang suket sendiri sangat menarik. Wayang suket diciptakan Gundono identik dengan kepedulian terhadap orang pinggir, terpinggirkan. Suket atau rumput adalah simbol dari yang pinggir dan dipinggirkan. Gundono melihat suket memiliki keterhubungan antara barat dan timur. Disamping itu, suket adalah simbol dari pertumbuhan dan tak lekang oleh waktu.
Dengan wayang suket itulah, Gundono menunjukkan kreativitasnya. Gundono menolak pakem sejak dari segi penampilan. Ia tampil tidak seperti dalang biasanya. Bila dalang biasanya menggunakan pakaian beskap, dengan blankon, dan juga keris.
Maka Gundono tampil dengan apa adanya dengan pakaian layaknya seorang yang sedang menggembala kambing. Ia sering tampil menggunakan tambolin, serta perkakas wayangnya yang amat sederhana.
Dalang biasanya tampil dengan waktu semalam suntuk, maka Gundono bisa menampilkan wayangnya dengan singkat juga bisa dengan waktu yang panjang. Tema-tema yang diangakat Gundono dalam wayang suket adalah persoalan sederhana dan keseharian mulai dari kemiskinan, korupsi, dan persoalan lingkungan.
Wayang suket akrab dengan persoalan sosial dan juga kritik sosial. Hubungan penguasa dan wong cilik ditafsir Gundono dengan menautkan antara lakon cerita wayang dengan cerita sehari-hari.
Sehingga orang yang menyaksikan pertunjukkan wayang Gundono menjadi betah karena ditemani ger-geran (gurauan) khas sehari-hari serta temanya lekat dengan peristiwa kekinian yang selalu aktual.
Menyesuaikan Selera Anak Muda
Gundono membawakan wayang dengan nuansa anak muda. Musiknya yang kadang ngerock dan ngejazz membuat anak muda menjadi tertarik. Ini berbeda dengan wayang yang menggunakan musik gamelan. Selain membuat anak muda lekas ngantuk, gamelan juga diiringi nyanyian sinden yang berbahasa jawa halus yang kadang tidak dimengerti liriknya.
Sebagai seorang dalang, Gundono juga sangat luwes memainkan wayang klasik. Penguasaannya pada cerita dan pakem wayang klasik membuatnya lihai bergerak antara yang klasik dengan yang modern.
Saat ia memainkan lakon “Aswatama Nylandak” misalnya, Gundono terlihat sekali memadukan antara yang klasik dengan modern. Gundono mampu memadukan antara cerita wayang yang pakem dengan nyanyian yang modern yang mengandung pesan yang dalam dengan kehidupan ini. logat khas tegalnya menjadi satu padu dengan lirik yang dinyanyikan sinden meski menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan lirik bahasa indonesia sebagai iringan dalam wayang ini menjadi bagian dari kreativitas Gundono dalam memodifikasi dan membuat wayang luwes bergerak antara yang modern dan klasik tanpa meninggalkan pesan dari cerita wayang itu sendiri.
Editor: Yahya FR