Perspektif

Kiai Jangan Dikultuskan, Mazhab Tak Perlu Dibela Mati-Matian

3 Mins read

Tulisan ini merupakan pengalaman saya selama nyantri di Ponpes Modern Darusysyukur Ngaliyan asuhan Prof. Suparman Syukur, Kiai Suparman.

Pengaruh Averoism sangat melekat pada dirinya. Pengaruh tersebut bermula ketika Kiai Suparman menempa pendidikan santrinya di Ponpes Gontor.

Kitab Bidayah al-Mujtahid adalah awal mula perkenalannya dengan Ibnu Rusyd. Pengaruh ini hingga terpatri dalam setiap buku-bukunya, salah satunya yang berjudul Epistemologi Islam Skolatik.

Tak Perlu Mengkultuskan Kiai

Dalam asuhan beliau, para santri selalu diajari untuk bersikap moderat bukan hanya pada agama saja, melainkan antar mazhab maupun organisasi.

Memang saya akui beliau sebagai kiai sangatlah sederhana. Dalam pembelajarannya, Kiai Suparman selalu menghindari sekat antara santri dan kiai. Ia lakukan karena sebagai preventif dari sifat pengkultusan kepadanya.

Di sela mengajarnya, untuk mengajak para santrinya berpikir kritis, ia selalu berkata, “Takon o, wani karo kiai ora kualat ora…” artinya: bertanyalah, berani sama kiai itu gak akan kualat.

Maksud perkataan beliau bukan berarti kita semena-mena tanpa adab melawan Kiai. Melainkan, adalah jangan takut mengkritik ketika kiai berbuat salah, sebab kiai juga manusia biasa.

Para santri juga diberikan kebebasan untuk berpikir. Menurutnya, “Berpikir bebas itu boleh. Akan tetapi, apabila bebas dalam ber-aqidah, no…!”.

Dari beliau, saya mulai suka dengan pemikiran-pemikiran Islam. Namun, di ponpes bukan hanya diajari tentang pemikiran Islam saja. Aliran Barat terkadang juga diajarkan. Contohnya, Rene Descartes, Immanuel Kant, dan Ruddolf Otto.

Beliau selalu menekankan kepada santrinya untuk banyak membaca. Buku bacaannya pun bebas tidak harus berisi tentang Keislaman. Tujuannya, agar santri berpengetahuan luas.

Penyebab Kemajuan Keilmuan Islam

Seperti ilmu filsafat juga diperkenalkan, mulai dari filsafat Aristoteles, Plato, dan Sokrates. Karena menurutnya, kemajuan Islam tidak bisa dipisahkan dari pengaruh filsafat Yunani.

Baca Juga  Puritanisme Modern dan Kegagapan Adaptasi Modernitas

Salah satu kemajuan Islam pada era golden age adalah karena bersatunya tiga keilmuan; Romawi, Persia, dan Arab-Yahudi. Akibat dari persatuan ini, lahirnya suatu bom pengetahuan.

Sedangkan penyebab kemunduran Islam, karena terjadinya kodifikasi-kodifikasi mazhab yang membuat Islam mulai terkotak-kotak. Serta, terbelenggu kebebasan berpikir.

Cerita penyebab golden age dan kemunduran Islam sering beliau ceritakan.

Teman kampus saya selalu mengira bahwa Ponpes saya merupakan Ponpes dari salah satu Ormas Islam Muhammadiyah. Terlalu sentimen berbicara tentang Ormas di salah satu kampus saya ini.

Saya maklumi karena teman-teman hanya melihat dari sisi latar belakang kiai saja. Padahal ponpes tidak terikat dengan ormas apapun. Semua santri bebas menjalankan atau mengikuti kegiatan ormas Islam-nya.

Ketika masuk ke dalam Ponpes, dua foto tokoh besar Ormas Islam terpampang di dinding aula, yaitu KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari.

Di antara kitab idola saya ketika nyantri adalah Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq. Kitab ini menyajikan berbagai tema keislaman dengan luas. 

Saya mengenal kitab ini ketika nyantri di Ponpes asuhan Kiai Suparman Syukur. Kebutulan, saya diajar langsung oleh beliau.

Tidak Fanatik kepada Mazhab

Penekanan dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq adalah mengajak umat Islam agar tidak ta’asub terhadap salah satu mazhab.

Dalam kitab Fiqh al-Sunnah, misal menerangkan tentang bab wudu. Di dalamnya, tidak hanya menerangkan dari sudut pandang satu mazhab saja, banyak sekali rujukan mazhab untuk diikuti di dalamnya.

Selesai Kiai menjelaskan isi kitab, beliau selalu berkata, “Ayo meh milih (mazhab) sing ndi? Ono dalil e kabeh to?”artinya: ayo mau milih (mazhab) yang mana? Ada dalilnya semua kan?

Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah tidak Bermazhab?

Menurut Kiai Suparman, mazhab itu adalah human contruction (kontruksi manusia). Maka, kebutuhan kontruksi manusia pada masa lalu adalah kebutuhan yang sesuai dengan konteks masa lalu.

Dengan demikian, bukan berarti kita tidak boleh untuk tidak bermazhab. Bermazhab itu perlu, namun jika mazhab atau kontruksi itu sudah kuno, maka wajib untuk diperbarui.

“Kita tidak boleh menghancurkan mazhab, karena jika kita analogikan mazhab sebagai rumah, bukan berarti semuanya sudah tidak berguna. Pasti masih ada yang berguna, baik itu engselnya, pintunya, atau gentingnya.” imbuhnya.

Sebuah analogi yang cerdas, disela beliau mengajar berkata, “Kamu mau jadi Malikiyah boleh, Zahiriyah boleh, bebas asalkan ada dalilnya. Baik NU maupun Muhammadiyah adalah wadah, kalian bebas memilihnya.”

Dalam candanya, beliau menawarkan salah satu mazhab baru kepada para santrinya, “Kalian jadi Suparmaniyah juga boleh” candanya. Semua santri akhirnya tertawa dan bahkan ada yang mengiyakan.

Beliau menambahkan lagi, “Perlu kalian mengerti, bahwasanya di Italia itu ada aliran Averoism.” aliran ini merupakan pra-Renesains yang berkembang di Italia, namun dibatasi oleh tirani Gereja karena pengaruhnya.

Editor: Yahya FR

Jiwo Prasojo
2 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo semarang. Tertarik terhadap kajian hukum Islam Kontemporer. Beralamat di Instagram: @jisojo_
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds