Kiamat Sudah Dekat
Awalnya saya membaca Catatan Pinggir Om Goenawan Mohamad, bertajuk “Malaikat” (15/12/2019). Di artikel bernasnya itu, ia bercerita tentang Greta Thunberg, aktivis lingkungan berusia 16 tahun, yang mendapatkan panggung internasional dan mengecam para pemimpin negara-negara yang abai kerusakan lingkungan.
Dari Malaikat Greta itu, saya mencoba mengumpulkan bahan-bahan bacaan dan mencari tahu. Apakah benar bumi kita sedang sakit?
Ternyata benar, sedang sakit! Industri raksasa masa kini, telah membuat bumi cepat menua. Terutama pertambangan. Membuat alam yang hijau lebat menjadi gundul. Sumber air rusak, hewan-hewan punah secara bertahap, dan polusi udara seperti berlomba membuat busuk paru-paru bumi.
Tentu itu semua memicu lapisan ozon bumi sebagai tameng pelindung panas matahari semakin tipis. Pemanasan global bak oven yang memanggang ice cream: Melelehkan dan lama-lama mendidih. Pulau-pulau es di Antartika mencair. Pasti ada masa di mana suhu air laut secara global melampaui seratus derajat Celsius: Neraka!
Lingkungan yang Semakin Rusak!
Saat neraka belum muncul saja, sebenarnya kita sudah kehilangan banyak hal. Hutan-hutan lenyap karena dibakar secara keji oleh tangan-tangan ceroboh dan tuna tanggungjawab.
Bahkan, kebun dan sawah berubah menjadi lahan hunian. Seolah-olah bisnis properti telah berjasa dalam memperjuangkan tempat tinggal bagi populasi manusia yang semakin banyak.
Lama-lama rumah-rumah itu akan menumbuh-suburkan gedung-gedung. Dan jalan-jalan titian di kebun, akan menjadi gang-gang sempit yang pengap, kumuh, dan bau pesing. Saat ini saja, bangunan-bangunan pencakar langit benar-benar berdiri sangat angkuh, kasar dan tak berperasaan.
Di samping itu, karena perayaan kebodohan yang kita lakukan, sungai-sungai semakin dangkal dan penuh sampah. Padahal ketika masih perawan, sungai-sungai itu sangat layak minum. Dan juga, tempat hidup bagi banyak jenis ikan. Bagaimana jika nanti kita tidak punya sungai lagi? Apakah masih bisa membeli air mineral kemasan?
Raup Banyak Untung, Tapi Bumi Buntung
Industri berdalih bahwa apa yang dilakukannya adalah atas nama kelangsungan hidup manusia. Industri adalah penyumbang terbesar keuangan mayoritas negara di dunia. Dengan demikian, industri adalah tulang punggung bagi eksistensi ras manusia.
Akan tetapi, apakah dengan meraup untung sementara waktu, sementara menghancurkan bumi adalah bentuk dukungan pada eksistensi kita? Artinya, mungkin generasi kita mampu bertahan hidup. Tetapi generasi masa depan, akan menanggung imbas kerusakan bumi yang tak terobati.
Sebenarnya, jika kita merawat bumi, maka kita memperpanjang waktu tiba saatnya kiamat. Krisis ekologis yang sedang berlangsung, akan tertahan. Bahkan, pemanasan global bisa dikurangi secara bertahap.
Bayangkan saja, dari pertambangan emas misalnya, mungkin kita akan untung ratusan triliun rupiah. Dengan uang itu, kita akan mampu mempertahankan generasi lima puluh tahun ke depan.
Tapi ongkosnya, kita harus kehilangan alam yang sebenarnya mampu menafkahi ribuan tahun masa depan umat manusia. Kalau seandainya kontribusi alam dihitung dengan nominal rupiah, maka jelas tak terbatas angkanya.
Logika sederhana ini, tidak bisa ditangkap oleh logika kompleks kapitalisme. Akumulasi keuntungan bagi kapitalisme modern, pada akhirnya, sebenarnya berfungsi untuk menjamin kehidupan saat ini. Sementara kepentingan sustainabilitas ekonomi, tidak diproyeksikan bersifat jangka panjang, atau bahkan abadi.
Industri Eksploitatif yang Menggiurkan
Memang industri di bidang eksploitasi sumber daya alam (energi), sangat berpengaruh bagi pertumbuhan sebuah negara. Bahkan, mampu menjadikannya adidaya.
Lalu negara-negara kuat tersebut, bersaing dalam ekonomi, berdampak pada hubungan politik internasional, dan dalam konteks tertentu, berseteru secara militeristik.
Hal ini seperti kita bekerja keras agar mendapatkan uang banyak. Dengan begitu, kita mampu bertahan hidup. Setelah mampu bertahan, ingin lebih kaya dan menjadi yang terkuat.
Dalam rangka menjadi yang terhebat, perlu kekuatan militer yang dahsyat. Jadi, kita bersusah-payah menabung, hanya untuk membeli senjata dan bertengkar. Payah betul.
Jika sudah demikian, maka sebenarnya kemampuan bertahan hidup ras manusia sangat pendek. Jika alam rusak, jelas manusia tak berdaya. Bahkan seiring dengan rusaknya alam, manusia saling memusnahkan satu sama lain.
Greta, hanya mengingatkan kepada para pemimpin dunia, “Apakah tidak mungkin kita berdamai dengan alam?” Dan seruan Greta ini, menghantui pikiran orang-orang waras bahwa kenyataannya para pemimpin dunia memang tidak peduli masalah ini.
Masa Bodoh atas Konservasi Lingkungan
Donald Trump, Presiden Amerika, menolak menyisihkan anggaran negara untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Alasannya, ia memprioritaskan nasib rakyatnya sendiri.
Sementara itu Vladimir Putin menyatakan, isu bumi rusak ini adalah instrumen politik Eropa mengendalikan pasar dunia. Menurutnya, negara-negara miskin dan berkembang, tidak mungkin berpartisipasi merawat bumi karena masih kesusahan mengatasi kemiskinan rakyatnya sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Saya kira sama saja. Seolah-olah ingin melestarikan bumi, tapi di saat yang sama, membakar hutannya sendiri.
Gedung-gedung menjulang tinggi ditanam, tanpa regulasi mengenai dampak alam sekitarnya. Eksploitasi sumber daya alam terjadi tanpa rehabilitasi dan konservasi yang berarti.
Beberapa orang ingin membantah, “Kami punya regulasi mengenai tata aturan eksploitasi dan pelestarian lingkungan.” Tetapi sayangnya, pembuatan regulasi tersebut juga seringkali diinfiltrasi kepentingan industri. Hukum, kemanan dan politik, jelas bisa dibeli.
Kiamat Kian Dekat, Agama Tak Berdaya
Bagaimana dengan agama, orang beragama dan gerakan keagamaan? Agama melaknat perusakan bumi. Sayangnya orang beragama, sekedar untuk memikirkan secara serius pun tidak dilakukan. Sekiranya dipikirkan, mereka tetap tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan global yang destruktif.
Dan gerakan-gerakan keagamaan yang ada, tidak menganggap isu bumi ini sebagai isu prioritas yang diutamakan untuk diperjuangkan. Dakwah, copy-paste ayat-ayat suci, kelihaian menghafal dan beretorika masih menjadi trend dan kegemaran yang popular. Nonsense!
Cerita mengenai Greta, bumi yang sakit parah dan ketidakpedulian manusia membuat saya murung berhari-hari. Bukan hanya itu. Tetapi juga menyadari dan kecewa bahwa manusia itu punya sifat serakah yang gila.
Nanti, kalau panas di bumi mulai terganggu, maka tentu tameng atmosfirnya mulai terkikis dan rentan. Bisa saja mungkin menjadikan ketidakseimbangan, bumi keluar jalur dan barangkali tergelincir, lalu ditelan matahari.
Kalau begitu, yang harus kita tahu, sebenarnya kiamat sudah dekat.
Apakah kita kaum beragama yang baik, ketika rajin bersembahyang, mengaji dan berdakwah, tapi di saat yang sama, tidak memperjuangkan bumi? Jangan tersinggung. Hanya mohon kita pikirkan bersama.
Ah, ini semua salah Om Goenawan yang menulis tentang Greta di Majalah Tempo. Ini juga salah saya sendiri, kenapa di perpustakaan, saya malah meminjam majalah, bukan buku-buku agama yang membuat setiap pembaca semakin saleh.
.
Editor: Yahya FR