Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Pare Anom adalah sebuah panji Kasultanan. Itu berarti keberadaannya dalam sebuah upacara adalah untuk memberi komando kepada seluruh penduduk yang tinggal di wilayah Ngayogyakarta.
Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Pare Anom
Selain bermakna bendera, kata “tunggul” berarti juga pemimpin ‘unggulan’ atau terkemuka. Sedang kata “wulung” berarti kecenderungan bawaan tersembunyi. Adapun kata “pare” bermakna tekad kesungguh-sungguhan dan kata “anom” merujuk pada angkatan muda.
Secara keseluruhan, simbol dua panji yang dikirabkan bermakna perintah menjalankan reorientasi total cara hidup yang disokong dengan semangat muda yang tak kenal menyerah. Sebagai sebuah simbol kerajaan Islam, pesan orientasi hidup yang harus dituju ada pada lafadh syahadat, Surah al-Kautsar, dan Asma ul-Husna dalam Panji Tunggul Wulung serta kalimat tauhid pada Panji Pare Anom sebagai bentuk ketakwaan yang melahirkan jalan keluar atas pertolongan Allah.
Karena itu, selama kirab pada setiap persimpangan yang ditemui dikumandangkan adzan untuk mengingatkan semua orang agar tidak meninggalkan shalat sehingga pertolongan Allah segera datang.
Penyembelihan Kebo Bule
Dalam penyembelihan Kebo Bule, penggunaan tempurung penyu, tempurung kura-kura, mimi dan mintuno, juga merupakan simbol yang memiliki arti. Tempurung kura-kura dan penyu adalah simbol jagad alit (mikrokosmos) dan jagad ageng (makrokosmos) yang harus disadari keberadaannya setiap saat sehingga manusia tetap bisa memahami jati dirinya sebagai ‘abdullah dan khalifatullah di alam semesta ini.
Adapun sepasang Mimi dan Mintuno adalah simbol manunggaling kawula gusti di mana antara raja dan rakyat harus bahu membahu dengan tekad yang sama dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah untuk hamemayu hayuning bawana.
Sementara makna penyembelihan Kebo Bule, menurut KRT Jatiningrat, ialah ajakan untuk bersedekah dengan barang yang sangat berharga dalam hidupnya untuk kemaslahatan banyak orang. Namun, terhadap hal ini saya pun menyampaikan makna lain. Karena setahu saya, hubungan Kebo Bule dengan Kraton Mataram itu bermula pada masa Sinuwun Pakubuwana II, sehingga pemaknaannya bisa di sekitar asal mula itu, sebagaimana konsep dumadine sangkan paran.
Kebo Bule yang merupakan hewan kesayangan Sunan Paku Buwana II tersebut menurut pujangga Yasadipura adalah pemberian dari Kiai Muhammad Besari yang merupakan kakek dari Kiai Hasan Besari (menantu Sinuwun PB III). Pemberian itu setelah Sinuwun PB II diselamatkan oleh Kiai Muhammadi Besari dari Geger Pecinan dan membangun kembali Kratonnya.
Kebo Bule yang diberikan itu sesungguhnya adalah simbol restu sang Kiai pada Sunan PB II untuk bekerjasama dengan “Bangsa Bule” (VOC) demi menyelamatkan tahtanya. Pada masa Sinuwun PB II itulah, dominasi Bangsa Bule di Kraton Mataram menjadi sangat kuat.
Kiai Slamet Bukan Kebo Bule
Simbol hubungan Kraton Kartasura (lalu Surakarta) dengan Bangsa Bule itu direkam dengan prosesi upacara yang diadakan setiap malam pergantian tahun Hijriyah (1 Suro). Kebo Bule tersebut dijadikan cucuk lampah (yang mencarikan jalan) kirab Pusaka Kiai Slamet.
Karena berhubungan dengan Pusaka Kiai Slamet itu sehingga muncul salah kaprah menamai Kebo Bule itu dengan Kiai Slamet. Mungkin karena pihak Kusunanan juga tidak pernah secara terbuka menjelaskan apa bentuk sesungguhnya Pusaka Kiai Slamet itu.
Maka berdasar awal mula simbol itu saya sampaikan, “apakah itu bukan berarti Sinuwun HB VIII yang mengupacarai dengan penyembelihan Kebo Bule itu sudah mendapat isyarat gaib bahwa kekuasaan Bangsa Bule di tanah Jawa ini segera berakhir?”
Terbukti, 8 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1940, Bangsa Bule tersebut benar-benar hengkang dari tanah Jawa akibat dikalahkan Jepang. Pesan gaib seperti itu juga diterima oleh Sinuwun HB IX sebelum naik tahta. Dipilihnya Kebo Bule betina dalam upacara karena Bangsa Bule itu dipimpin oleh seorang Ratu (Wilhelmina). Terhadap yang saya sampaikan itu, KRT Jatiningrat hanya tersenyum dan bilang, “bisa juga begitu.”
Perlukah Kirab Saat Ini?
Sekarang masyarakat Yogyakarta bersama warga dunia tengah dilanda musibah berjangkitnya wabah penyakit Virus Corona. Mungkin ada yang bertanya, apakah perlu dilakukan kembali kirab Kiai Tunggul Wulung bersama Kiai Pare Anom?
Tentu semua kembali kepada Sri Sultan selaku pemegang kendali di Keraton sebagai pemilik dua pusaka tersebut. Namun, melihat jenis dan cara penyebaran Virus Corona ini yang tidak memungkinkan kerumunan orang, maka penyelenggaraan kirab yang mengumpulkan banyak orang tentu menjadi masalah tersendiri.
Lebih-lebih Sri Sultan selaku gubernur DIY juga telah menghimbau pemberlakuan protokol pencegahan virus Corona itu yang antara lain pentingnya Social dan Physical Distancing, tidak mungkin dilanggar sendiri dengan untuk menyelenggarakan kirab tersebut. Saya kira dengan kebijaksanaannya Sri Sultan selaku Gubernur akan lebih menggunakan sumber daya di Pemerintah Provinsi untuk menangani Covid-19 ini dengan sepenuh tenaga. (Habis)
Editor: Arif